SOLOPOS.COM - Ilustrasi beras impor (JIBI/Bisnis/Dok.)

Impor beras dinilai terlambat dibandingkan negara lain sehingga Indonesia sulit mendapat beras Vietnam dengan harga bagus.

Solopos.com, JAKARTA — Keterlambatan impor beras menyebabkan pemerintah kesulitan mendapatkan pasokan cadangan beras sebagai antisipasi kekurangan stok hingga akhir tahun. Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan keterlambatan impor beras menyebabkan volume beras impor dari Vietnam dan Thailand tidak sesuai harapan dan harganya yang tinggi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Karena kita menunda [impor beras] akhirnya Filipina yang masuk duluan ke pasar dan membeli dalam volume yang besar,” kata Thomas Lembong di Jakarta, Rabu (11/11/2015).

Thomas Lembong menyebutkan Filipina yang biasanya hanya membeli antara 500.000–700.000 ton, pada tahun ini mengagetkan pasar dengan membeli 1,5 juta ton. Besarnya jumlah permintaan Filipina yang diminta sebelum Indonesia menyebabkan Indonesia hanya mendapatkan sisa beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 1 juta ton.

Di sisi lain, ketika impor beras mulai diwacanakan pada awal kuartal kedua harga beras di pasar global masih di kisaran US$340/ton. Sedangkan sampai akhirnya Indonesia mendapat kesepakatan impor, harga telah naik sampai di atas US$400/ton. “Keterlambatan kita punya dampak juga terhadap jumlah stok dan harga yang didapatkan.”

Dengan kelangkaan stok beras di regional, mulai dari Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja, menurut Thomas akan cukup sulit untuk mencapai target 1,5 juta ton impor beras sampai 31 Desember 2015 nanti. Kendati demikian Thomas mengatakan pemerintah masih bekerja keras untuk memerkuat stok beras di dalam negeri.

Menurutnya ada dua hal yang dua solusi, selain dari Vietnam dan Filipina pemerintah masih akan mengupayakan impor dari beberapa negara lainnya seperti Pakistan atau bahkan Brasil. Menurutnya pemerintah juga tengah bersiap untuk melakukan perencanaan untuk tahun depan.

Solusi kedua, lanjut Thomas, pemerintah kini tengah menyiapkan konversi beras komersial Bulog kepada beras PSO (public service obligation) yang digunakan untuk keperluan beras sejahtera (rastra) serta operasi pasar.

Kendati demikian, konversi beras komersil ke PSO tersebut memerlukan tambahan subsidi karena menggunakan beras premium yang harganya lebih tinggi dibanding harga beras medium. Thomas mengatakan saat ini tim ekonomi sedang melaksanakan proses dan memenuhi prosedur untuk menjalankan tambahan subsidi yang memungkinkan pergeseran stok beras komersial ke beras PSO.

Direktur Keuangan Perum Bulog Iryanto Hutagaol menyebutkan konversi tersebut akan dilakukan antara 600.000 ton – 700.000 ton. Dengan selisih harga beras premium dan beras medium, setidaknya pemerintah harus mengeluarkan tambahan subsidi untuk biaya konversi tersebut mencapai Rp1,4 triliun.

“Tetapi itu masih indikatif dan akan diaudit oleh BPK. Finalnya setelah audit BPK. Nanti tahu berapa yang harus dibayar pemerintah. Begitu sudah diaudit BPK, nanti kita minta sesuai hasil audit,” kata Iryanto.

Dengan adanya konversi beras komersial kita ke PSO menurutnya, stok cadangan beras pemerintah akan lebih kuat dan bisa memadai untuk tahun depan. Sementara itu, dirinya mengakui bahwa untuk mencari beras dari luar negeri tidak lagi semudah dulu, terutama dengan volume yang besar.

Impor beras, lanjutnya, harus lebih banyak dicari ke tempat-tempat baru. Tetapi saat ini pemerintah masih fokus untuk mendatangkan beras dari kawasan Asia, salah satunya adalah Pakistan.

“Kalau India sudah jelas dia tidak jual lagi. Myanmar, Kamboja, Brasil, itu beberapa negara yang mengekspor barang-barang biji-bijian.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya