SOLOPOS.COM - Lahyanto Nadie, Dewan Redaksi Harian Jogja

Obrolan  soal Imlek memang mengasyikkan. Mereka teringat akan Gus Dur, nama akrab Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. “Jika Gus Dur nggak jadi Presiden, Imlek dirayakan ramai seperti ini namanya pasti bukan imlek,” kata Dul.

 

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Besok datang ke rumahku ya, makan-makan untuk merayakan Imlek,” kata Daeng kepada para sahabatnya yang biasa nongkrong di angkringan Pakde Harjo.

Sontak teman-temannya menyanggah pernyataan Daeng yang jelas-jelas orang Makassar. “Lho memang siapa yang keturunan China, ibu atau bapakmu,” Dul lebih dulu menyambar.

“Bukan keduanya, tapi HP-ku kan buatan China,” kata Daeng yang disusul derai tawa rekan-rekannya.

Bercanda model begitu memang marak menjelang perayaan Imlek. Bukan hanya di angkringan Pakde Harjo, di sosial media maupun whatsapp group berseliwerang humor yang menyegarkan.  Tahun baru Imlek adalah perayaan terpenting bagi orang Tionghoa yang dimulai di hari pertama pada bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-15. Tahun ini, Imlek jatuh pada Senin 8 Februari dan  Cap Go Meh tentunya, Senin, 22 Februari.

Ngobrol ngalor-ngidul di angkringan, bagi Daeng dan Dul yang asal Jakarta, bersama rekan Joko yang asli Ngajogjakarta Hadiningrat dan Sutan yang orang Minang dengan profesi yang berbeda, memang banyak yang diperbincangkan.

Kali ini mereka bicara soal Imlek lantaran nuansa dan suasana perayaan hari besar itu sudah marak sejak pekan lalu. Baik itu di pusat perbelanjaan, kantor, hotel maupun pusat keramaian lain tampak sudah banyak lampion warna warni yang cerah hingga barongsai menghiasi setiap sudut kota, menandai bahwa perayaan itu bukan hanya milik kaum Tionghoa saja. Di Jogjakarta, yang merupakan Indonesia kecil, dengan beragam suku bangsa dan agama, menyambut Imlek bahkan suatu keharusan.

Joko yang menjadi abdi negara sebagai pegawai negeri sipil girang bukan main karena mendapatkan hari libur panjang setelah akhir pekan mengingat Imlek jatuh pada Senin. Dul, anak Jakarta yang baru saja tinggal di Jogja sebagai pekerja media, justru senang karena makin banyak bahan liputan. Sementara itu, Daeng yang aktif di LSM, makin kritis menyikapi perkembangan Jogja dari berbagai sudut pandangnya.

Sutan yang sehari-hari sibuk berbisnis mencari peluang apa lagi yang bisa dimanfaatkan dengan momentum perayaan Imlek. Yang  jelas, ia akan menambah jumlah porsi nasi dan lauk pauk yang akan dijual di rumah makan miliknya, Salero Siapo Sajo alias SSS.

Obrolan  soal Imlek memang mengasyikkan. Mereka teringat akan Gus Dur, nama akrab Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. “Jika Gus Dur nggak jadi Presiden, Imlek dirayakan ramai seperti ini namanya pasti bukan imlek,” kata Dul.

“Jadi apa dong?” sambar Daeng penasaran.

“Ya, namanya mustahil,” jawab Dul sekenanya.

“Kok bisa begitu?” Sutan juga bingung.

“Mbok yo dijelaskan secara konseptual dan ilmiah agar obrolan kita lebih berbobot,” Joko menagih.

“Mustahil ada barongsai di mana-mana, mustahil lampion menghiasi semua sudut kampung, kota, hingga layaknya setiap derah menjadi pecinan.” Kata Dul berargumentasi. Ketiga rekannya pun manggut-manggut tanda setuju.

Sebelum menjadi presiden, kata Dul, Gus Dur datang ke Wonosobo. Ketika itu sedang ramai-ramainya era reformasi. Ya sekitar akhir 1998, saat masih menjadi Ketua Umum PBNU. Ia cerita mengenai situasi politik terbaru. Dul sendiri tidak langsung mendengar pernyataan  Gus Dur ketika itu, akan tetapi dapat dari rekannya sesama penyiar radio di Jakarta yang kemudian menjadi Kepala Biro Protokol Kepresidenan di era Gus Dur. “Memang Orde Baru tumbang, namun negeri ini sakit keras,” kata Gus Dur seperti ditirukan sang kepala biro.

Nah, sakit yang paling keras adalah baru beberapa bulan Orde Reformasi berjalan, Indonesia sudah kehilangan Timor Timur, provinsi ke-27. Bayangkan jika bertahun-tahun berkuasa, berapa provinsi yang akan hilang? Rekan tadi bercerita bahwa dari keprihatinan itulah yang membuat Gus Dur ingin menjadi presiden. Singkat cerita, jadilah Gus Dur menjadi orang nomor wahid di negeri ini.

“Dimulai dari sinilah perayaan Imlek bebas dilakukan seluruh pelosok Tanah Air,” tukas Dul.

Daeng yang memang tak mau kalah kalau berbicara, langsung bereaksi. Kali ini reaksinya positif. Ia  mendukung pernyataan Dul.

“Benar itu. Di kampungku, setiap tahun dirayakan Imlek. Tahun lalu dan bahkan beberapa tahun sebelumnya, perayaan selalu berjalan aman. Kelenteng dan vihara di kawasan pecinan, dipadati warga yang menyambut Imlek dengan penuh suka cita,” katanya bersemangat.

Gayung pun bersambut. Kali ini Sutan yang tampil bicara. “Suasana gembira berlangsung sejak malam pergantian tahun, diramaikan dengan pesta kembang api dan atraksi barongsai yang berlangsung di halaman rumah-rumah ibadah. Itu juga terjadi di kampungku di Padang.”

Dul lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil menukas “biasanya hujan yang dinantikan mengguyur saat peralihan tahun dan diyakini akan membawa kesejukan.”

Tokoh kita yang asli Betawi ini, cukup fasih bercerita karena adiknya yang perempuan menikah dengan pria Tionghoa. Sejak kecil, keponakannya, selalu diwariskan tradisi merayakan Imlek dengan berkumpul bersama keluarga, menikmati berbagai hidangan, membagi-bagikan angpao yaitu amplop berwarna merah berisikan uang.



Sebagai anggota Korpri yang memang jobdesc-nya melayani, Joko juga berargumentasi soal Imlek yang kini lebih terbuka dan biasa dirayakan di instansi tempatnya bekerja. “Beda sekali ketika zaman Orde Baru. Boro-boro libur, kantor tetap buka. Namun aku ingat, angpau tetap dikirm dari para tauke yang suka mengurus izin usaha ke kantorku,” katanya.

Kata Joko, dulu perayaan imlek dilakukan sembunyi-sembunyi dan terbatas dalam ruangan. “Ini semua memang berkat jasa Gus Dur. Sejak beliau menjadi presiden, keran kebebasan untuk warga Tionghoa itu dibuka sehingga bebas beribadah, dan menggelar aksi budaya.”

Dul yang mengawali cerita Imlek karena jasa Gus Dur mengamini saja apa yang dikatakan Joko. “Sekarang warga keturunan Tionghoa dari berbagai latar belakang agama merasa bebas, tidak hanya di lapangan usaha, akan tetapi juga bebas melakukan upacara ritual.”

Daeng, Joko dan Sutan sejenak manggut-manggut. Kemudian Dul  melanjutkan. “Sekarang Ahok bisa jadi gubernur, menteri Kwik Kian Gie sejak zaman Gus Dur. Itu jelas haram di era Soeharto.”

Kemudian Dul menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Bahkan sekarang saya dengar sudah ada pemuda Tionghoa yang jadi polisi.”

Sekonyong Dul berdiri, lalu berkata: “Imlek jan istimewa tenan.”

Kini giliran Joko yang terbengong-bengong. Sejak kapan Dul bisa berbasa Jawa dengan slenk Jogja. “Ah tenane.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya