SOLOPOS.COM - Muthia Sayekti/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Untuk urusan bercinta dan berkembang biak, manusia memang (di)beda(kan) dengan hewan. Pembedaan tersebut dilegitimasi melalui beragam norma, adat, dan konstruksi sosial yang berlaku. Negara melalui aparatur tidak absen ikut campur.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, berencana mewajibkan sistem sertifikasi bagi calon pengantin atau pasangan lelaki dan perempuan yang hendak menikah. Proses sertifikasi ini diberlakukan melalui mekanisme pendidikan pra-nikah yang harus ditempuh selama tiga bulan dengan kurikulum materi ekonomi keluarga dan kesehatan reproduksi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rencana ini tentu tidak sepenuhnya keliru. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Menteri Agama menilai rancangan program ini sangat diperlukan untuk menekan angka perceraian yang kian hari kian meningkat.

Bila program ini diterapkan tanpa dilandasi riset yang jelas, bukan tidak mungkin pelaksanaannya akan berubah menjadi program yang ambisius, agresif, dan terburu-buru. Bagaimana tidak? Sistem ini akan berlaku di negara yang mayoritas penduduknya masih menganggap pendidikan seksual kepada anak sebagai sesuatu yang tabu.

Belum selesai para calon pengantin pusing dengan sistem sertifikasi, banyak hal yang sebenarnya menunggu untuk mereka pusingkan pula. Sebagai bentuk imajinasi yang disepakati bersama, ”menikah” berharapan bisa membawa rasa ”bahagia selamanya”. Hal ini persis seperti lirik lagu yang dipopulerkan Java Jive pada 1997.

Egaliter

Sayangnya, dalam lagu tersebut indikator bahagia dinarasikan secara subtil dan subjektif. Pada bait demi bait yang ada dalam lagu Menikah tersebut tertulis bahwa pusat kebahagiaan dalam relasi pernikahan masih berorientasi pada aspek ketubuhan perempuan.

Hal ini menunjukkan tubuh, peran, dan kehadiran istri menjadi tonggak utama kebahagiaan dalam berumah tangga. Tidak ada ”beban” yang sama beratnya untuk membentuk dan menghadirkan kebahagiaan yang ditujukan kepada laki-laki atau suami.

Tidak seperti Java Jive, Payung Teduh lebih egaliter dalam menarasikan fantasi kebahagiaan dalam pernikahan. Lirik dalam lagu mereka yang berjudul Akad lebih menonjolkan beragam aktivitas yang dilakukan oleh dua belah pihak.

Aktivitas seperti ”berlarian”, ”bercanda”, dan ”menari” digambarkan secara seimbang tanpa menonjolkan salah satu peran secara dominan dari sepasang manusia. Lagu ini juga tidak terlalu utopis dalam mendeskripsikan kebahagiaan pernikahan.

Hal ini bisa dilihat dari selipan kata ”perpisahan” dan metafora ”terik dan hujan” sebagai bagian yang tidak mungkin lepas dari kehidupan berumah tangga. Fantasi tentang pernikahan memang sulit dibawa sebagai sebuah candaan dan bahan untuk tertawa. Tidak seperti imajinasi tentang “kawin” yang dibentuk oleh kelompok musik PMR dalam lagu yang berjudul Judul-judulan.

Bila tak dibuat sebagai bahan untuk bercanda, penggunaan kata ”kawin” lebih jamak muncul melalui teks-teks media dalam konotasi yang negatif, contohnya kawin muda, kawin lari, kawin kontrak, dan seterusnya. Di ranah hukum, kata ”kawin” menjadi sebuah judul perundang-undangan yang dibahas secara serius oleh para pemangku kebijakan.

Indonesia memiliki UU Perkawinan yang terbilang cukup mapan dari revisi sejak 1974. Baru beberapa waktu lalu undang-undang ini mengalami sedikit perubahan pada Pasal 7 ayat (1) tentang usia minimal calon pengantin. Pemerintah menyepakati menaikkan batas minimal usia calon pengantin pria dari 19 tahun menjadi 21 tahun dan usia calon pengantin perempuan yang semula 16 tahun menjadi 19 tahun.

Dikotomis

Pengesahan revisi bagian UU Perkawinan ini mendapat beragam apresiasi yang menjurus pada glorifikasi. Mereka seolah-olah lalai mengamati bahwa pasal-pasal lain yang mungkin sudah usang cum bermasalah untuk tetap diterapkan dalam pola perkawinan hari ini. Pada pasal 31 ayat (3),  misalnya, tentang pembagian peran dan tugas suami istri, dalam undang-undang tersebut masih saja bersifat dikotomis dan tidak fleksibel.

Dalam pasal tersebut tertulis bahwa suami masih ”diwajibkan” untuk bekerja di ruang publik dan istri mendapat peran di ruang domestik. Belum lagi tentang pasal yang mengatur urusan poligami pada Pasal 3-5. Tidak ada redaksional yang disampaikan secara jelas untuk menjamin bahwa poligami baru benar-benar bisa dilakukan ketika istri pertama tidak lagi mampu memenuhi kewajiban dan peran.

Belum lagi penjelasan tentang ”adil” yang terbaca masih sangat mengambang untuk menjadi syarat diperbolehkannya laki-laki beristri lebih dari satu. Peraturan-peraturan ini akhirnya tetap mapan tanpa perlawanan hingga undang-undang ini sah dinyatakan telah direvisi.

Dengan demikian, UU Perkawinan yang telah direvisi ini kelak akan menghapuskan imajinasi rakyat Indonesia tentang sinetron Pernikahan Dini yang sempat menjadi tontonan publik pada 2002. Mereka kini akan lebih banyak menemui pengantin yang sudah cukup ”dewasa” secara usia.

Tentu saja UU Perkawinan ini tidak lantas menghapus imajinasi dalam pikiran masyarakat tentang konsep ”bapak berangkat kerja ke kantor” dan ”ibu memasak sayur di dapur” seperti yang diajarkan oleh guru-guru SD ketika kita kali pertama belajar mengenal kalimat.

Melalui UU Perkawinan ini, fantasi tentang perkawinan yang digambarkan dalam film Ayat-ayat Cinta pada akhirnya semakin mapan dan mudah ditemukan dalam realitas. Mungkin isi dari UU Perkawinan itulah yang selanjutnya akan kembali direproduksi melalui program sertifikasi pra-nikah. Barang siapa merasa keberatan dan tak sepakat, jangan harap dipermudah untuk sekadar mendapat kata,”Sah!”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya