SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tempo hari, di arena dunia maya, seorang penulis buku yang masih muda dan produktif membagikan cerita pengalaman bersama guru bahasa Indonesianya semasa SMA. Kebiasaan sang guru membacakan cerita pendek atau cerpen pada setiap awal pelajaran di kelasnya menjadi kenangan tersendiri. “Seluruh teman saya sangat menikmati momen-momen ketika Pak Guru (tentu saja namanya disebut!) membacakan cerpen dari Kompas walaupun motivasinya berbeda–ada yang sekedar menikmati, ada pula yang merasa nyaman karena tidak harus mengerjakan apapun kecuali mendengarkan atau melamun”, demikian  tulisnya.

Satu lagi tentang gurunya, si penulis muda menuliskan, “Suatu siang, Pak Guru mengedarkan kartun sepakbola dari tabloid BOLA. Ada empat kolom: (1) dua pemain dari tim kesebelasan yang berbeda sedang berebut bola, (2) yang satu menjegal yang lain sampai terjungkal, (3) pemain kesakitan, wasit pun datang. Sebuah kartu diacungkan ke atas, dan (4) si penjegal segera bersiul–memberi kode ke arah seseorang. Orang itu pun datang mengendarai motor, si penjegal pun naik di motor itu, lantas pergi. Semua murid wajib membuat karangan untuk menceritakan ulang kartun itu dalam bentuk tulisan yang lebih utuh.”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di mata sang guru, hanya satu tulisan yang dianggapnya ”benar”. Semua siswa bercerita bahwa kartu yang diacungkan wasit diterjemahkan sebagai kartu merah, dan si penjegal terusir dari lapangan–meskipun dengan akhir yang dramatis dan tidak umum; naik motor. Nah, oknum yang dianggap benar, yang mendapat nilai bagus, mempunyai pendapat beda. Kartu itu bukan kartu merah tapi uang. Dan, si wasit memerintahkan si penjegal untuk mencari obat dengan uang itu. Si penjegal lantas memanggil temannya dan bergegas ke apotik terdekat. Jadi, satu gambar yang sama, ceritanya bisa beda!

Jika kisah di atas ditanyakan kepada sang guru yang dimaksud, pastilah akan terjawab bahwa pelajaran yang diberikan dulu kini telah berbuah, sekurang-kurangnya turut andil sepersekian persen mengasah imajinasi muridnya, sehingga menjadi penulis produktif. Menjadi penulis, apalagi yang produktif akan selalu mengandalkan imajinasi. Baik menyimak cerpen maupun membahasakan kartun tanpa kata-kata, hanyalah sarana untuk mengasah imajinasi murid. Imajinasi liar – wasit pegang uang bukan kartu merah– , berani beda, apalagi orisinal, hanyalah milik mereka yang terus mengasah imajinasinya. Hal itu harus dihargai dan diapresiasi.

Buku lawas yang berjudul Sekolah Rakjat Pantjasila (1956) memberikan inspirasi bahwa dalam sejarah pendidikan di negeri ini selalu ada kesempatan yang menempatkan imajinasi sebagai aspek penting dalam diri anak-anak kita yang harus dikembangkan. Dalam pelajaran bercerita, guru memanfaatkan cerita sederhana atau dongeng untuk perkembangan dan penghalusan fantasi anak-anak. Cerita-cerita yang disukai pastilah cerita yang sesuai dengan umurnya, sehingga menggembirakan jiwanya. Dalam kehidupan sehari-hari pun, para ibu masih setia mendongengkan anaknya sebelum tidur.

Jika arus zaman menggerus kebiasaan para ibu mendongeng, maka andalan untuk urusan imajinasi anak hanyalah pada guru. Tanpa harus meradang pada kurikulum yang tidak memberikan ruang untuk urusan kreatif–imajinatif, guru bisa memanfaatkan berbagai kisah dan fiksi di koran untuk pembelajaran di kelas.

Betapa sebagai guru saya harus membongkar tulisan-tulisan atau karangan-karangan siswa yang seragam idenya, tidak jauh dari pengaruh tontonan di televisi. Para musikus dan sineas muda yang pernah dituduh bahwa karyanya plagiat atau jiplakan, tak lain akarnya karena kemampatan kreativitas, kekeringan imajinasi, dan keterbatasan ide. Jadi, imajinasi anak-anak kita jangan diabaikan perkembangannya!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya