SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo, Wartawan SOLOPOS (FOTO/Istimewa)

Mulyanto Utomo, Wartawan SOLOPOS (FOTO/Istimewa)

Sudah hampir 15 tahun terakhir ini saya tidak pernah lagi mendengar kalimat yang kata orang ”Orde Baru (Orba) banget”, yaitu ”pembangunan berkesinambungan”. Karena itu, saya sedikit terhenyak ketika Raden Mas Suloyo, tetangga saya, pada Sabtu (23/6) malam Minggu lalu kembali mengemukakan kalimat itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

 

”Saya kok merasakan sekarang ini tidak ada lagi pembangunan yang berkesinambungan, seperti zaman Orde Baru dulu. Pembangunan sekarang ini sepertinya dilakukan hanya sepotong-sepotong… ora tuntas blas… malah sering bikin rakyat kecewa karena hanya moncer di awalnya, semacam proyek mercusuar, selanjutnya mboh ra weruh,” papar Denmas Suloyo di News Café, warung hik di kampung kami.

 

”Contohnya apa Denmas? Kalau berbicara itu ya harus tuntas, berkesinambungan… harus jelas, konkret, ada faktanya…,” timpal Mas Wartonegoro, pasangan diskusi tetapnya di warung sederhana dengan nama mentereng itu.

”Walah, kalau mau contoh banyak, Mas. Tidak usah jauh-jauh dari kota kita tercinta ini. Banyak sekali proyek yang heboh di muka, tapi kelanjutannya gak pernah jelas. Kapan selesainya, kapan terealisasinya…,” jawab Denmas Suloyo lugas.

Denmas Suloyo, lagi-lagi (karena dia sudah menyebut berkali-kali), mencotohkan proyek pembangunan kereta wisata kuno, pengadaan railbus, pengadaan bus kota model Batik Solo Trans serta pembangunan gapura penanda batas kota, Gapura Makutha, dan sejumlah proyek lainnya.

 

”Semuanya serba tertunda, atau malah tidak jelas tindak lanjutnya, tidak jelas kesinambungannya karena semakin lama semakin meredup,” tambah Denmas Suloyo.

”Menurut saya, semuanya kan harus lewat proses ta, Denmas. Sampeyan tidak bisa asal menyimpulkan bahwa proyek-proyek itu tidak jelas. Toh semuanya masih berjalan, belum selesai dan terus diupayakan,” sanggah Mas Wartonegoro memberi argumen.

”Nah itulah masalahnya. Semua itu terjadi akibat tidak ada ketegasan, tidak ada komitmen dari pembuat kebijakan. Kalau sejak awal sudah diatur secara detail, dirancang dengan manajemen yang baik, tentunya semua akan berjalan sesuai dengan rencana dan rancangan. Tidak seperti sekarang ini, semuanya macet,” timpal Denmas Suloyo.

Saya yang sejak tadi menyimak, ya sebatas bisa manggut-manggut. Apa yang disampaikan Denmas Suloyo bisa jadi benar, tetapi memang bisa jadi juga keliru. Namun, jika disimak secara umum, saya khawatir apa-apa yang selama ini telah dilaksanakan jangan-jangan memang tidak dirancang secara matang. Jangan-jangan itu hanya sebuah proyek pencitraan, hanya dibuat tanpa mau merawat, hanya tampilan di permukaan… Semoga saja tidak.

Citra

Sebab kalau hal itu sengaja dilakukan, betapa naifnya pemimpin kita. Seolah menganggap rakyatnya tidak tahu apa-apa, mudah dininabobokan dan cukup dibuat senang dengan tampilan di permukaan. Kata dosen saya, tampilan itu sejatinya sama dengan citra. ”Tampak baik adalah citra, bukan kebaikan itu sendiri,” begitu kata dosen saya, Pak Mursito.

Kata beliau, yang tampak sebagai dermawan misalnya, belum tentu dia seorang dermawan yang sungguh-sungguh. Kedermawanan adalah soal perilaku yang dilandasi sikap tulus, ikhlas tanpa pamrih serta tidak membedakan orang yang didermawani.

Jadi, kesimpulan saya, seorang yang tampak sebagai pekerja keras itu belum tentu dia adalah pekerja keras. Hanya citra. Citra sesungguhnya tidak ada ketulusan di dalamnya. Kata guru saya lagi, citra adalah soal bangunan realitas seseorang. Ia sengaja didesain, direkayasa, dibangun untuk memberi kesan tertentu kepada publik. Seseorang yang sebenarnya kurang peduli, dibuat tampak sangat peduli kepada siapa pun.

Yang lebih gawat lagi, jika apa-apa yang dilakukan elite kita selama ini adalah kesengajaan demi meraih kekuasaan. Kalau mengutip tulisan Pak Mursito beberapa waktu lalu, para elite itu tengah melakukan simulakra politik. Orang Jawa awam menyebutnya sebagai lamis, nggo abang-abang lambe, hanya manis di bibir.

 

Difinisi yang agak njlimet, soal simulakra politik adalah bias realitas yang sengaja diciptakan oleh seorang politisi. Sebuah perbuatan yang dilakukan, namun sejatinya di sana ada jarak, ada sesuatu yang terputus bahkan ada kontradiksi antara realitas sesungguhnya dengan realitas baru yang tercipta atau sengaja diciptakan itu.

Jika kita kaitkan dengan perihal pembangunan berkesinambungan tadi, pejabat atau politisi yang melakukan simulakra politik adalah orang yang tidak sungguh-sungguh ingin membangun daerahnya kecuali semua hanya dilakukan untuk meraih kekuasaan (politik) yang lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.

“Pembangunan berkesinambungan” mungkin istilah klise dan bisa jadi sudah ketinggalan zaman, tidak up to date lagi di era reformasi ini. Namun, bagi saya istilah tersebut menjadi sangat penting tatkala dikaitkan dengan kesungguhan, komitmen dan visi misi seorang pemimpin dalam melaksanakan kebijakan dan program-program pembangunan di daerah.

Jangan sampai masalah pembangunan berkesinambungan terputus di tengah jalan, setelah kehendak atau tindakan yang dilakukan mencapai tujuan. Bukan tujuan demi menyejahterakan rakyat atau tujuan untuk kepentingan rakyat namun tujuan guna kepentingan golongan atau pribadi sang pemimpin itu sendiri…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya