SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (8/1/2019). Esai ini karya Khaolil Mudlaafar, mahasiswa Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah kholilmudlofar@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Menjadi mahasiswa yang merasa tidak cukup kuliah di dalam kelas membuat saya mencari kesibukan lain dengan bergabung di organisasi kemahasiswaan (ormawa) dan unit kegiatan mahasiswa (UKM), baik di tingkat program studi, fakultas, maupun universitas.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Dalam bahasa Jawa bisa dibilang manut umume wong (mahasiswa). Mumpung masih menjadi mahasiswa, golongan pemuda yang kata Tan Malaka satu-satunya pemilik idealisme sebagai kemewahan terakhir. Saya mendapat pengalaman berkecimpung di dunia seperti ini, menjadi anggota melalui segala alur seleksin, lalu magang, dan dilanjutkan menjadi pengurus.

Katanya dengan begitu bisa menambah pengalaman dan memperluas jaringan yang berdampak kelak sebagai modal setelah lulus. Tentu dari sana pula banyak hal yang bisa saya ketahui, mungkin juga sama dialami oleh mahasiswa lainnya yang aktif berorganisasi.

Masyarakat umum beranggapan mahasiswa identik dengan demonstrasi, bahkan tetangga saya di desa terkadang karena perhatian berpesan agar saya tidak ikut berdemonstrasi. Cerita seperti ini pernah saya dengar juga dari mahasiswa lainnya.

Demonstrasi sesungguhnya bukanlah sebuah masalah, kampus merupakan mimbar bebas, sebagai sarana menyuarakan pendapat yang pada akhirnya juga membela rakyat dari tindakan penguasa yang terkadang semena-mena. Mahasiswa memang harus menentang kezaliman dan penyelewengan.

Seharusnya dengan begitu mahasiswa menjadi pahlawan pembela rakyat bukan? Tunggu dulu. Benarkah tindakan-tindakan mahasiswa sudah sepenuhnya benar? Mari kita renungkan! Mahasiswa yang lantang menentang kezaliman ternyata berbuat zalim sendiri, terlebih yang tergabung dalam ormawa atau UKM, tidak memandang ranah gerak organisasinya.

Kita tengok saja kondisi pada akhir tahun, saat pengurus ormawa dan UKM bersiap menyerahkan estafet kepengurusan. Saat itulah banyak penyelewengan terjadi. Mereka dituntut membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ) sebagai bahan evaluasi organisasi.

Sering kali apa yang sudah direncanakan pada awal kepengurusan kurang sesuai dengan pelaksanan atau lebih parah dari itu. Mau tidak mau mahasiswa yang aktif dalam kepengurusan itu harus memodifikasi LPJ agar diterima biro kemahasiswaan di kampus.

Prosedur

Semua presensi kegiatan harus dipenuhi. Tanda tangan harus ada. Bukti bahwa kegiatan terlaksana. Faktanya yang datang dalam kegiatan tidak sebanyak daftar presensi itu. Satu bukti idealisme mahasiswa telah luntur, ditaklukan oleh prosedur.

LPJ demikian ini juga berlaku untuk lembaga kampus lainnya. Mulai tingkatan program studi, fakultas, sampai universitas semua wajib membuat LPJ. Ini sistem yang melibatkan dosen, petugas administrasi, hingga petinggi kampus.

Jangan berpikir sekelas mereka terbebas dari tindakan menyeleweng. Beberapa waktu lalu saya bersama kawan-akwan saya sedang berkumpul berdiskusi tentang rencana praktikum lapangan untuk tugas kuliah.

Sedang asyik-asyiknya berbincang, ada dosen yang datang dan memberikan setumpuk kertas berisi nama-nama mahasiswa, padahal ada yang sudah keluar alias bukan mahasiswa lagi.

Secara iseng saya membaca kop kertas itu yang ternyata presensi kehadiran dalam kegiatan program studi. Di kertas itu tertulis waktu pelaksanaan kegiatan yang sudah jauh dari seharusnya, yaitu sekitar sepuluh bulan sebelumnya.

Dosen yang notabene merupakan pengajar mahasiswa ternyata juga melakukan kezaliman. Wajar saja karena mereka bukan lagi golongan pemuda, jika bertolak pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) tentang Kepemudaan. Usia maksimal 30 tahun dan minimal 16 tahun, sementara mayoritas usia dosen tidak sesuai dengan kriteria itu.

Hal yang sama juga dilakukan oleh petugas administrasi kampus. Bisa dibilang mereka yang melatih melakukan itu. Mungkin agar tugas mereka segera selesai. Ketika mengetahui kondisi tersebut terlintas di pikiran saya jangan-jangan petinggi kampus  juga terbiasa dengan hal seperti itu, secara logika mereka juga berangkat dari kelas di bawahnya, tidak ujug-ujug menjadi petinggi kampus.

Kegiatan Siluman

Akhir tahun adalah surga bagi mahasiswa pemburu sertifikat, baik sebagai panitia atau sekadar peserta. Pada waktu itu banyak kegiatan di kampus, setiap pekan pasti ada kegiatan, bahkan dalam satu hari bisa terdapat tiga kegiatan berbeda semacam seminar, perlombaan/kompetisi, workshop, dan training.

Penyelenggaranya bermacam-macam, mulai dari himpunan mahasiswa, ormawa dan UKM fakultas maupun universitas, program studi, fakultas, sampai universitas. Semua menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bahkan tidak sesuai dengan ranahnya.

Seolah-olah semua berlomba-lomba mengadakan kegiatan, yang tidak perlu tetap diada-adakan, sehingga muncul istilah ”kegiatan siluman”. Dana tidak menjadi masalah, jor-joran dana seperti panen berkah. Alasannya adalah semua dana yang diperoleh harus habis untuk pemenuhan LPJ akhir tahun.

Banyak yang khawatir apabila dana tidak habis dan LPJ tidak terpenuhi, pada tahun berikutnya dana untuk ormawa, UKM, maupun lembaga kampus dikurangi. Apabila mau sedikit berpikir, dana di perguruan tinggi, terutama yang belum berstatus badan hukum, berasal dari pemerintah.

Pemerintah mendapatkan dana dari pajak yang dibayarkan rakyat. Berarti ada campur tangan rakyat di setiap kegiatan yang diselenggarakan kampus termasuk ormawa dan UKM.

Sejauh ini tidak ada yang protes bahwa mahasiswa melakukan tindakan seperti itu sama saja berbuat zalim terhadap rakyat, tidak ada bedanya dengan pejabat yang berbuat menyeleweng. Alangkah lebih baik kegiatan yang tidak perlu itu dialihkan untuk pengabdian kepada masyarakat.



Mahasiswa dan dosen serta komponen kampus lainnya bisa terlibat menunaikan tujuan suci tridarma perguruan tinggi yang salah satu hal penting di dalamnya adalah pengabdian kepada masyarakat. Semestinya mahasiswa sebagai pemuda tetap menjaga idealisme.

Seharusnya mahasiswa tidak terpengaruh unsur-unsur yang membuat idealisme luntur, termasuk sistem dan prosedur di kampus. Jangan sampai Tan Malaka bersedih karena kemewahan terakhir itu telah luntur di setiap jiwa mahasiswa.

Dosen dan seluruh unsur kampus harus bisa menjamin iklim bagi tumbuh dan berkembangnya idealisme mahasiswa, bukan malah menjadi racun bagi mereka. Idealisme mahasiswa bukanlah tanaman musiman yang indah pada awal tahun dan luntur pada akhir tahun. Suara lantang menentang kezaliman tidak seharusnya menjadi senjata makan tuan: berbuat zalim sendiri.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya