SOLOPOS.COM - Ilustrasi tambang timah (foe.co.uk)

ICW menemukan indikasi kerugian negara dalam ekspor timah dan nikel dalam kurun waktu 2007-2015.

Solopos.com, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan indikasi kerugian negara hingga triliunan rupiah dalam proses ekspor timah dan bijih nikel selama 2007-2015.

Promosi Pelaku Usaha Wanita Ini Akui Manfaat Nyata Pinjaman Ultra Mikro BRI Group

Koordinator Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan pihaknya telah menyelesaikan penelitian mengenai ekspor kedua komoditas tersebut selama empat bulan. Hasilnya, pihaknya menemukan ada indikasi kerugian negara dari ekspor bijih nikel karena kurang catat harga pada 2007-2015 sebesar Rp5,800 triliun.

“Perinciannya, ada kekurangan bayar pada royalti sebesar Rp2,843 triliun dan kewajiban pajak penghasilan badan sebesar Rp2,957 triliun,” ujarnya saat mengunjungi Kantor Bisnis Indonesia, Senin (12/6/2017).

Sementara itu, indikasi kerugian negara dari ekspor timah ilegak (HS 8001 HS 8003) pada 2004-2015 sebesar Rp6,520 triliun dengan perincian kewajiban royalti Rp2,371 triliun dan kewajiban pajak penghasilan badan sebesar Rp4,149 triliun.

Dalam mengembangkan penyelidikan ini, ICW menggunakan metode pengumpulan data hub to hub antara yang dicatat di penjual dan yang diterima pihak pembeli. ICW kemudian membandingkan data realisasi ekspor nikel dan timah antara yang dicatat oleh Indonesia (Kemendag, BPS dan ESDM) dengan realisasi impoir bijih nikel dari Indonesia pada masing-masing negara pembeli.

Selain itu, penelitian juga diarahkan untuk melakukan perbandingan, yaitu analisis keajaran dari sisi volume maupun harga ekspor dan menelusuri rantai bisnis untuk mengetahui struktur pembentuk harga.

“Kami juga melakukan analisis kewajaran kewajibabn kepada negara pada pembayaran PNBP dan pembayaran pajak, kewajiban pajak penghasilan. Sumber data kami permintaan data langsung pada Kemendag dan ESDM, publikasi BPS, statistik perdagangan, publikasi UN Contrade dan Trademap, data statistik perdagangan negara dan data kepabeanan,” terangnya.

Dia mengatakan, persoalan pencatatan data antarinstansi menjadi salah satu penyebab tidak terdeteksinya indikasi kerugian negara akibat kekuranganbayaran dalam proses ekspor timah dan nikel. Pihaknya menemukan adanya perbedaan data volume ekspor bijih nikel (HS 2604) di antara instansi pemerintah yakni neraca ekspor BPS/Kemendag berbeda dengan relaisasi ekspor dan Kementerian ESDM.

“Kondisi yang sama juga terjadi antara data volume ekspor pada Kemendag berbeda dengan data pada negara pembeli,” ujarnya .

Berdasarkan kajian ICW, dari 2007-2015, total realisasi ekspor bijih nikel yang tercatat pada Kementerian ESDM adalah 158,15 juta ton. Sementara menurut data BPS dan Kemendag adalah 205,8 juta ton. Sementara jika dicek pada statistik dan kepabeanan negara-negara pengimpor bijih nikel dari Indonesia dalam periode yang sama, total nikel yang mereka terima adalah 168,006 juta ton.

Perbedaan pencatatan ini, lanjutnya, menimbulkan indikasi kerugian negara meskipun memang tidak serta merta korupsi. Tapi kerugian negara ini bisa menjadi catatan bagi pemerintah terutama untuk mengecek celah penyebab indikasi tersebut. “Apakah di pelabuhan atau bahakan dari hulunya di Kementerian ESDM,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya