SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Minggu ini akan dibahas mengenai perubahan iklim (climate change) dengan Nur Hidayati. Dia adalah Greenpeace Country Representative, Indonesia. Sebelumnya pernah menjadi Coordinator – Civil Society Forum for Climate Justice (April 2008-February 2009), Climate & Energy Campaigner – Greenpeace Southeast Asia (2006-2008), Campaign Advisor – Sawit Watch (2005-2006).

Dia mengatakan Indonesia tergolong negara ketiga terbesar setelah Amerika Serikat dan China sebagai penghasil karbon yang menyebabkan perubahan iklim. Karbon terbesar Indonesia bukan dari sektor pabrik, mobil, dan lain-lain, tapi dari sektor kehutanan akibat deforestasi. Laju deforestasi di Indonesia tercepat di dunia akibat pola pembangunan yang masih eksploitatif dan merusak kekayaan alam kita yang sangat berharga yaitu hutan. Untuk mengetahui bagaimana kondisi hutan kita, berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Nur Hidayati;

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Bagaimana sikap Greenpeace terhadap perubahan iklim?
Kalau kita lihat perubahan iklim seolah-olah di awang-awang, tidak kelihatan. Padahal dampaknya sudah kita rasakan sehari-hari. Misalnya, cuaca sangat panas sekali lalu tiba-tiba hujan deras, dan itu semakin sering terjadi. Lalu pergeseran musim antara kemarau dan musim hujan tidak bisa lagi diprediksi. Jadi dampaknya sangat terasa terutama kepada petani, nelayan dan mereka yang sangat bergantung kepada kondisi alam, iklim, dan lain-lain.

Saat ini, banyak yang harus dilakukan terutama mulai dari tingkat kebijakan pemerintah, walaupun secara tingkat ekonomi Indonesia belum masuk kategori negara industri yang berkewajiban menurunkan emisi seperti negara yang masuk Annex 1 atau negara-negara maju yang berkontribusi awal dalam menghasilkan karbon penyebab perubahan iklim. Itu terkait pola pembangunan Indonesia dalam beberapa dekade selama ini yaitu sangat eksploitatif dan merusak. Itu yang harus diubah dari sisi kebijakan.

Apakah bisa dibayangkan beban terburuk masyarakat akibat climate change pada masa depan?

Pertama, kekeringan. Sekarang masyarakat marjinal susah untuk mendapat air bersih. Lalu, kenaikan permukaan air laut. Indonesia negara kepulauan. Kita mempunyai garis pantai yang paling panjang di seluruh dunia dan ada jutaan orang yang tinggal di sepanjang garis pantai tersebut. Kemudian penyakit tropis akibat pemanasan global seperti malaria dan demam berdarah akan makin meningkat tingkat kejadiannya. Masyarakat kecil juga yang akan terkena dan itu terkait ke biaya pengobatan dan lain-lain.

Apa penyebabnya di Indonesia?
Kita tergolong negara ketiga terbesar setelah Amerika Serikat dan China sebagai penghasil gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Itu bukan dari sektor pabrik, mobil, dan lain-lain, tapi dari sektor kehutanan akibat deforestasi. Laju deforestasi di Indonesia tercepat di dunia. Itu sudah kita daftarkan di Guinness Book of World Record.
Seperti yang saya sampaikan tadi pola pembangunannya masih eksploitatif dan merusak kekayaan alam kita yang sangat berharga yaitu hutan. Itu terutama sekali penggundulan hutan dan kebakaran hutan lahan gambut untuk konversi hutan ke perkebunan skala besar seperti kelapa sawit atau hutan tanaman industri untuk pabrik kertas.

Mengapa lahan gambut ditonjolkan dan apa bahayanya?
Lahan gambut memiliki kandungan karbon sangat besar di dalam tanahnya. Kalau hutan di lahan  biasa ditebang, karbon atau gas rumah kaca yang terlepas hanya dari pohon yang digunduli. Kalau di lahan gambut, karbon yang terlepas dari pohon yang ditebang dan juga dari terjadi proses oksidasi gambut itu sendiri. Jadi karena pohonnya hilang maka gambutnya beroksidasi sehingga karbonnya lepas ke udara. Indonesia memiliki kandungan gambut yang sangat kaya. Sebanyak 80% kandungan gambut di Asia Tenggara ada di Indonesia, seperti di Kalimantan Tengah.

Soal mengambil kayu, saya ingin bertanya sebab saya mendengar di seminar-seminar bahwa masyarakat adat penting untuk pelestarian hutan, tapi bukankah mereka suka ambil kayu juga?
Kita bicara skala lagi. Kalau masyarakat adat atau lokal di situ maka dia mengambil untuk kebutuhan sendiri. Ini kita bicara soal clear cutting yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang skalanya masif sekali. Lahan gambut yang sudah terbuka akan menghasilkan emisi semakin besar karena sudah hilang kelembapannya, sehingga sangat mudah terbakar dengan sendirinya. Gambut itu disebut juga batu bara muda yang lama-lama akan berubah menjadi batu bara. Jadi ketika gambut itu terkena sinar matahari maka bisa terjadi auto combustion.

Katakanlah otoritas yang berwenang atau pemerintah sudah melihat itu, tapi mengapa sulit untuk menghentikan semua itu?
Itu terutama sekali karena banyak peraturan yang tumpang tindih. Misalnya, presiden kita sudah membuat komitmen seperti saat di Hokaido, Jepang pada 2008 sesudah pertemuan di Bali, tapi kemudian di dalam negeri tidak diikuti oleh peraturan-peraturan yang mendukung komitmen tersebut. Menteri pertanian justru mengeluarkan surat keputusan yang memperbolehkan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Padahal ada keputusan presiden yang menyatakan lahan gambut yang lebih dalam dari tiga meter harus dilindungi.

Apakah peraturan menteri pertanian itu masih ada sekarang?
Masih ada, kita merekomendasikan peraturan itu dicabut segera.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II memiliki kebijakan lebih tegas dan di luar negeri juga sudah mendapat apresiasi, betulkah?
Ya, terutama setelah pertemuan di Pittsburg, AS. Di Pittsburg, presiden memasang target 26% penurunan emisi dari gas rumah kaca dan bisa 41% bila ada bantuan internasional.

Di situs Greenpeace, saya melihat Greenpeace mengirim bunga untuk SBY karena pelantikannya sebagai presiden?
Sebetulnya kita tidak hanya ingin memberi selamat atas pelantikan SBY, tapi juga ingin mengingatkan kembali bahwa pidatonya di depan para pemimpin dunia adalah komitmen kenegaraan yang tentu saja akan memberikan pengaruh pada citra Indonesia di percaturan global. Pernyataan presiden di Pittsburg terlihat sangat optimis Indonesia bisa mencapai penurunan emisi karena emisinya sebagian besar dari deforestasi. Greenpeace sepakat dengan itu. Emisi Indonesia bisa dengan cepat dan efektif diturunkan kalau ada political will yang kuat, ada peraturan dan regulasi yang mendukung komitmen presiden tersebut.

Jadi pengumuman yang dilakukan Presiden SBY sebenarnya sangat penting. Awalnya, sudah lempar sana-sini tidak ada yang mau mengalah. Indonesia mengajukan diri secara sukarela untuk menurunkan emisi, walaupun Indonesia tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi. Itu sebagai wujud tanggung jawab Indonesia terhadap upaya mengurangi dampak perubahan iklim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya