SOLOPOS.COM - Ilustrasi atraksi seni di Dusun Berut, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jateng. (JIBI/Solopos/Antara/Hari Atmoko)

HUT ke-71 RI dijadikan momentum mengenang pahlawan desa oleh warga Lereng Merapi.

Semaangpos.com, MAGELANG — Warga Dusun Berut, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng) memanfaatkan hari ulang tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) sebagai momentum mengenang jasa dua pejuang kemerdekaan yang gugur dan dimakamkan di desa di lereng Gunung Merapi itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kedua makam dengan nisan sederhana di tempat permakaman umum Dusun Berut, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang—sekitar 10 km di barat daya puncak Gunung Merapi—dicatat Kantor Berita Antara, tidak dikenal luas. Tanda-tanda makam pahlawan juga tidak tersematkan pada nisan kedua pusara itu

Kendati kedua makam itu hanya serupa dengan pusara-pusara lain di permakaman umum Dusun Berut, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, namun warga setempat meyakini bahwa dua jasad dalam kubur itu adalah jasad pejuang kemerdekaan. Keyakinan itu turun dari generasi ke generasi berikutnya berdasarkan cerita dari mulut ke mulut.

Satu makam yang ditandai tatanan lempengan batu berukuran panjang sekitar 2 m dengan tinggi dan lebar sekitar setengah meter itu hanya bertuliskan nama Kamsin dengan catatan tanggal wafat 25 Agustus 1947. Ia gugur saat Agresi Militer I Belanda dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Srondol, Kota Semarang. “Saya masih ingat karena ikut melihat saat jenazahnya tiba untuk dimakamkan di sini. Kira-kira usianya 19 tahun,” kata pemuka masyarakat Desa Sumber Soekar, 80.

Satu makam pejuang lainnya dari desa setempat bernama Suyoto, disebut Soekar yang juga Ketua Badan Perwakilan Desa Sumber itu, berada di permakaman umum Dusun Sumber. Suyoto gugur karena penggerebekan pasukan Belanda saat Agresi Militer II, dalam kurun waktu 1948-1949, di Desa Ketunggeng, Kecamatan Dukun, setelah diketahui keberadaannya oleh seorang mata-mata.

Ketika itu, kisah Soekar, Suyoto hendak pulang dari Muntilan ke Sumber setelah melakukan penyerangan bersama pejuang kemerdekaan lainnya terhadap posisi pasukan Belanda di Muntilan. “Ia lalu dimakamkan di kampung halamannya di desa ini. Kira-kira umurnya 22 tahun,” ujar Soekar yang juga mantan Kepala SMP Kanisius Sumber itu.

Ia bercerita panjang lebar tentang Desa Sumber yang pada masa perang kemerdekaan menjadi markas pejuang dan sempat diserang dengan senjata kanon oleh pasukan Belanda dari Muntilan. Tidak diketahui oleh Soekar apakah nama kedua pejuang kemerdekaan dari desa tercatat pemerintah dalam deretan pejuang lainnya. Akan tetapi, cerita tentang keduanya hingga saat ini turun-temurun seakan merayap dalam ingatan warga setempat.

Soekar pun bersama ratusan warga memanfaatkan momentum HUT ke-71 RI di Desa Sumber yang dipelopori pemerintah desa setempat dipimpin Sumaryono (kepala desa) untuk mengenang semangat juang dua warganya pada masa lalu, sebagai pejuang kemerdekaan.

Berbahasa Jawa
Perayaan dalam warna kental seni budaya itu pada Rabu (17/8/2016) siang, antara lain berupa upacara bendera dalam bahasa Jawa untuk memperingati HUT Ke-71 RI, kirab budaya, dan pementasan berbagai kesenian rakyat setempat. Perayaan itu digarap oleh para petani seniman Padepokan Tjipto Boedoyo Dusun Tutup Ngisor dan Sanggar Bangun Budaya Dusun Sumber. Para peserta perayaan memakai pakaian adat Jawa dan berbagai kostum kesenian tradisional, seperti kuda lumping, reog, soreng, wayang orang, krincing manis, selawatan, topeng ireng, campur, jatilan, drum band, dan grasak.

Para petugas upacara yang adalah sejumlah pemuda setempat juga mengenakan pakaian adat Jawa motif lurik, tiga orang bertugas sebagai pengibar bendera Merah Putih, sedangkan Kades Sumaryono pada kesempatan itu mengenakan pakaian adat Jawa bernuansa sebagai raja diiringi satu orang pembawa songsong. Suasana langit di kawasan Gunung Merapi terlihat cerah dengan halaman balai desa setempat dipenuhi masyarakat, baik tua, muda, anak-anak, laki-laki, maupun perempuan.

Mereka memulai rangkaian perayaan HUT ke-71 RI di desa itu dengan tabur bunga di makam Kamsin dipimpin Kades Sumaryono. Pojok batu makamnya ditancapi tiang bambu warna putih dengan kibaran bendera Merah Putih, sedangkan ratusan orang lainnya dari berbagai kelompok kesenian tradisional di desa setempat menunggu di jalan desa di luar pemakaman umum setempat.

Sumangga kita manengku puja, kangge warga Sumber ingkang dados pahlawaning bangsa, ingkang gugur lantaran mbelani kamardikan bangsa kita [mari kita berdoa untuk arwah pahlawan yang warga Desa Sumber, yang gugur karena membela bangsa dan mempertahankan kemerdekaan bangsa kita],” begitu diucapkan Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan Tjipto Boedoyo Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumbaer saat memimpin ziarah makam itu.

Semua tokoh masyarakat yang berada di dalam makam itu pun termasuk Kades Sumaryono menundukkan kepala masing-masing. Selama beberapa saat suasana makam terkesan hening ketika mereka berdoa untuk pahlawan dari desa setempat.

Mereka kemudian satu per satu menaburkan bunga mawar warna merah dan putih di pusara Kamsin dan melanjutkan dengan kirab budaya melewati jalan-jalan desa sejauh 1 km itu hingga halaman Balai Desa Sumber untuk upacara bendera secara khidmat.

Berbagai tabuhan alat musik pengiring tari-tarian tradisional berkumandang selama kirab yang dipimpin pengelola Sanggar Bangun Budaya Dusun Sumber Untung Pribadi dengan mengenakan pakaian tarian topeng ireng.

Di antara peserta kirab, juga ada mereka yang mengenakan kostum sebagai pejuang kemerdekaan dan membawa bambu runcing. Sejumlah orang lainnya dengan pakaian model petani mendorong properti berbentuk tank dengan dua moncong petasan bambu yang disulut selama kirab.

Traktor Tangan
Kades Sumaryono secara khusus berdiri di atas traktor tangan yang telah dihiasi dengan berbagai instalasi dari bahan alam pertanian, empat orang mengusung tandu berupa gunungan terbuat dari berbagai hasil bumi kawasan Gunung Merapi, sedangkan belasan orang lain yang mengenakan pakaian motif lurik dan beriket sebagai barisan pembawa bendera Merah Putih.

Masyarakat menyaksikan kirab itu dari tepi kanan dan kiri jalan. Dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi tampak semarak dengan hiasan umbul-umbul berwarna-warni, sedangkan di halaman setiap rumah warga berkibar bendera Merah Putih.

Para perempuan yang berseragam kebaya warna putih dan bersanggul, menyemarakkan perayaan itu dengan lantunan tembang berbahasa Jawa berjudul Empat Lima. “Galo kae genderane kumlebet angawa awe. Abang Putih Sang Dwi Warna. Iku lambang sejatine. Negara kita wus merdika. Kang adhedhasar Pancasila. Dumadi rikalaning tanggal 17 Agustus sasine. Nuju tahun sewu sangang atus patang puluh lima. Rambate ratahayu, kolobis kontul baris. Rambate ratahayu, kolobis kontul baris. Lumangkah bareng maju. Nindake dirgahayu. Merdeka, merdeka, merdeka. Bumi kelahiranku, merdeka, merdeka, merdeka,” begitu syair tembang itu.

Maksud syair tembang itu kurang lebih bahwa bendera Merah Putih sudah berkibar menjadi lambang kemerdekaan sebagai negara dengan dasar Pancasila. Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Semua masyarakat harus bersatu membangun kemakmuran Ibu Pertiwi.

Suka Cita
Semarak Hari Kemerdekaan RI nampaknya bukan semata-mata mereka wujudkan melalui suka cita atas perayaan, melainkan juga menjadi momentum mengabarkan kepada publik yang lebih luas tentang kesadaran mereka bahwa desa setempat memiliki pejuang kemerdekaan. Mereka memiliki Kamsin dan Suyoto yang semangatnya juangnya patut menjadi teladan atas perjuangan generasi saat ini dalam mengarungi tantangan aktual dan peluang mencapai kesejahteraan hidup di alam kemerdekaan.

“Kemerdekaan bukan pemberian, melainkan hasil perjuangan dengan pengorbanan harta dan nyawa para pejuang kita. Kita harus selalu ingat pejuang yang telah gugur di medan perang. Kita mendoakan mereka supaya diterima di sisi Tuhan di surga,” kata Kades Sumaryono dalam pidato bahasa Jawa saat upacara HUT Ke-71 RI.

Usaha para pejuang kemerdekaan sebagaimana Kamsin dan Sutono lakukan hingga tetes darah terakhirnya, harus dilanjutkan oleh generasi penerus bangsa karena kemerdekaan yang telah dicapai hanyalah pintu mewujudkan cita-cita bersama membangun masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Ia mencontohkan perjuangan yang perlu dilakukan terutama oleh generasi muda saat ini, antara lain, melalui pendidikan agar pandai, terampil, dan bermartabat, bekerja keras dan tekun sesuai kemampuan, peduli kepada mereka yang kesusahan, melestarikan seni budaya sebagai jati diri bangsa, serta memperkuat semangat gotong royong.

Tidak semua pahlawan dan pejuang kemerdekaan disemayamkan di berbagai taman makam pahlawan. Banyak pula mereka yang kembali dan dikebumikan di pemakaman umum di kampung halamannya sehingga menjadikan pancaran keteladanan perjuangannya lebih dekat dengan generasi penerus bangsa yang tinggal di desa-desa. Siapa lagi kalau bukan kita sendiri yang mengenal dengan baik setiap pahlawan pejuang kemerdekaan itu?

 

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya