SOLOPOS.COM - Aksi suporter Pasoepati saat mendukung Persis Solo melawan Persekap Pasuruan dalam laga Divisi Utama LPIS di Stadion Manahan, Solo. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

HUT Pasoepati jatuh pada 9 Februari.

Solopos.com, SOLO – Jarum jam menunjukkan pukul 23.00 WIB ketika telepon genggam milik Mayor Haristanto berdering. Di ujung telepon, suara Wali Kota Solo, Slamet Suryanto, terdengar tegas dan mengajukan sebuah permintaan kepada pria yang saat itu menjadi koordinator umum Pasoepati, kelompok suporter Pelita Solo.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

“Pak Slamet minta saya agar bisa menenteramkan Pasoepati yang marah dan nyegat [pendukung PSIS Semarang] di seputaran Stadion Manahan,” ujar Mayor ketika berbincang dengan Solopos.com, di kediamannya di Griya Reka Grupe Mayor di Jl. Kolonel Sugiyono No. 37, Solo, Senin (6/2/2017).

Suasana chaos memang sedang terjadi di sekitar Stadion Manahan, Solo, saat itu. Padahal hari sudah sangat larut malam. Bahkan massa masih bergerombol di jalan-jalan sekitar stadion hingga dini hari. Mayor pun belum bisa melupakan peristiwa itu meski telah terjadi 17 tahun silam, tepatnya pada

11 Juni 2000.

“Sekitar 2000 suporter masih tertahan di dalam stadion hingga tengah malam. Sekitar pukul 24.00 WIB, seluruh suporter Semarang baru bisa dievakuasi dengan truk Dalmas,” kisah pria kelahiran Wonogiri, 15 Mei 1959 ini.

Insiden bentrok suporter Pelita Solo dan PSIS Semarang tak bisa terhindarkan pada pertandingan Liga Indonesia (Ligina) 2000 di Stadion Manahan kala itu. Ini merupakan pertandingan hidup-mati PSIS untuk bertahan di Ligina. PSIS harus menang atas Pelita jika tidak ingin terdegradasi ke kasta kedua. Sementara nasib Pelita sudah dinyatakan aman.

Meski demikian, pendukung Pelita tetap berbondong-bondong memenuhi Stadion Manahan karena mereka ingin memastikan tidak ada kasus “sepak bola” gajah dan menginginkan pertandingan berjalan fair di laga tersebut. Sekitar 50.000 suporter menyesaki stadion yang berkapasitas 25.000 penonton itu. Tak heran apabila penonton membeludak hingga seattle ban.

Bentrok suporter pun pecah ketika babak kedua baru berjalan sekitar 24 menit. Insiden ini dipicu karena ketidakpuasan suporter dengan kualitas pertandingan. Kericuhan terus terjadi dan sempat memaksa anggota Brimob melepaskan beberapa kali tembakan peringatan. Di luar stadion,  aksi anarkitis membakar lima motor dan dua mobil terjadi.

Dalam ingatan Mayor, itu menjadi insiden kericuhan pertama yang melibatkan Pasoepati di Stadion Manahan. Sepekan sebelumnya, Pasoepati juga mengalami gesekan dengan pendukung PSIM Jogjakarta, namun pada pertandingan away.

Pada 4 Juni 2000, lebih dar 10.000 anggota Pasoepati melawat ke Stadion Mandala Krida, Jogja, untuk menyaksikan laga Pelita Solo melawan PSIM. Hasil pertandingan sudah tidak berpengaruh bagi tuan rumah yang telah dipastikan terdegradasi. Namun, bentrok suporter nyatanya tetap tak bisa dihindari. Kericuhan diduga karena pendukung PSIM, Paguyuban Tresna Laskar Mataram (PTLM) kecewa karena markas kebesaran mereka “dikuasai” belasan ribu Pasoepati dan merasa terusir dari kandang sendiri.

“Saya pikir laga itu akan aman, karena PSIM sudah pasti degradasi. Saya sampai mengajak anak dan istri menonton ke Jogja. Namun baru beberapa menit pertandingan, kami mendapat lemparan batu dari luar stadion. Terpaksa kami turun ke lapangan untuk menyelamatkan diri,” jelas Presiden DPP Pasoepati 2000-2001 itu.

Mayor mengaku masih merinding ketika mengingat detik-detik evakuasi anggota Pasoepati dari Mandala Krida saat kerusuhan itu terjadi. “Kami harus jalan satu kilometer menuju  tempat parkir bus yang membawa rombongan. Suasananya mencekam. Sudah sangat malam. Semua lampu mati. Di mana-mana gelap. Sampai di sana [parkir bus], kaca jendela bus-bus sudah pecah, rusak semua, dan puluhan sepeda motor rusak parah,” ujar penggagas dan salah satu pendiri Pasoepati itu.

Berbagai insiden memang pernah dilewati Pasoepati sejak kelompok suporter yang berdiri pada 9 Februari 2000, baik ketika menjadi pendukung Pelita Solo, Persijatim, hingga Persis. Pada 2010 ke atas, pemberitaan mengenai suporter belum berhenti bahkan semakin memanas. Salah satu insiden yang masih membekas yakni kejadian di markas PSS Sleman, Stadion Maguwoharjo, Sleman, 21 April 2014.

Semula, Pasoepati yang berada di tribune timur saling lempar dengan Slemania yang menduduki tribune selatan. Polisi kurang sigap mencegah aksi tersebut. Akibatnya, aksi saling lempar semakin meluas. Tak berselang lama, giliran Brigata Curva Sud (BCS) yang menduduki tribune utara terlibat aksi saling lempar dengan Pasoepati.

“Kami jadinya terkepung di antara dua suporter Sleman. Banyak teman-teman yang ketakutan, mereka bersembunyi di belakang saya, termasuk para wartawan. Kondisi sudah benar-benar tidak aman. Begitu bisa keluar stadion, banyak sepeda motor yang sudah dirusak, jumlahnya bisa satu kontainer,” jelas pendukung Persis yang akrab disapa Bona Pasoepati.

Benih Dendam

Gesekan suporter di Maguwoharjo sepertinya masih menyisakan benih-benih dendam. Terbukti, dua setengah pekan kemudian, kerusuhan antarkelompok suporter tim sepak bola yang bertetangga ini kembali pecah Persis menjamu PSS di Stadion Manahan, 4 September 2014.

“Laga Divisi Utama di Manahan saat itu memang sebenarnya sudah tak dapat izin [kepolisian]. Namun kami tetap menggelar pertandingan ini. Bukan apa-apa, karena tujuan utama kami saat itu hanya satu, menggalang dana dengan tiket penonton untuk pemain yang saat itu gajinya belum dibayar,” ungkap Sekjen DPP Pasoepati, Anwar Sanoesi.

Tepat Kamis (9/2/2017) ini, Pasoepati pun genap berusia 17 tahun. Seluruh elemen anggota yang pernah mengalami berbagai insiden kerusuhan yang menyebabkan korban berjatuhan tidak kembali terulang. “Tidak perlu saling menyalahkan, dan mencari-cari siapa yang benar, sudah lupakan zaman batu [aksi lempar batu antarsuporter] itu, apa untungnya? Kalah bukan berarti harus ngamuk. Militansi, fanatisme, dan loyalitas tetap diperlukan, namun hanya untuk mendukung tim tanpa menghilangkan nila-nilai kemanusiaan,” jelas Mayor.

Senada, Anwar juga berharap Pasoepati lebih dewasa di usia yang ke-17 tahun ini. “Usia segini, mestinya sudah lebih dewasa. Saatnya kita menjadi suporter yang lebih baik lagi. Dan semoga dukungan Pasoepati bisa memicu Persis untuk berprestasi di musim baru ini,” jelas Anwar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya