SOLOPOS.COM - Para nelayan Pantai Baron, Kemadang, Tanjungsari Gunungkidul. (Kusnul Isti Qomah/JIBI/Harian Jogja)

HUT Kemerdekaan RI belum dirasakan oleh para pelaku usaha maritim di Gunungkidul

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Dunia maritim Gunungkidul dianggap belum merdeka dari adanya ikatan aturan Undang-undang (UU) yang dianggap menghambat perkembangan kapasitas mereka.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Gunungkidul, Agus Priyanto pada Senin (17/8/2015) menerangkan, UU yang dimaksud ialah UU tentang Pemerintah Daerah No.23/2014 ayat 298 yang mengatur tentang hibah dan bantuan dari pemerintah harus diberikan kepada pihak berbadan hukum.

Padahal, terangnya, Kelompok Usaha Bersama (KUBe) milik para nelayan Gunungkidul tidak berbadan hukum. Sehingga pihak DKP tidak dapat memberikan bantuan baik berupa sarana maupun prasarana.

Maka, pada 2015 DKP mengupayakan beragam pengembangan kapasitas nelayan ketimbang berhenti membina nelayan akibat ganjalan UU tadi.

“Kita masih menunggu, karena itu sifatnya regulasi dari pusat, hampir semua yang berasal dari dana hibah kemudian enggak bisa jalan. Yang sudah terlanjur dibeli akhirnya disimpan untuk nanti bisa digunakan sebagai belanja modal,” papar Agus.

Ia menyebutkan, sejumlah barang yang sudah terlanjur dibeli antara lain genset, blower, fiberglass, benih. Nilai fiberglass sendiri sebesr Rp225 juta, total ada ratusan juta barang yang sudah terlanjur dibeli oleh DKP namun tak dapat dihibahkan atau diberikan kepada nelayan, karena takut apabila diserahkan justru menjadi bentuk pertanggungjawaban secara hukum.

“Namun ada yang terpaksa kita lakukan distribusi, yakni benih. Sebagian memang pembinaan yang bentuknya kegiatan fisik masih kita lakukan, tapi kalai bentuknya hibah kepada perorangan atau kelompok, tidak bisa, saat ini di tingkat pimpinan juga masih mencari solusi mengenai persoalan ini,” urainya.

Hibah sesungguhnya amat berguna bagi nelayan, dan kemudian menjadi ganjalan dengan adanya UU tadi. Di samping itu sangat menghambat ketika nanti ada evaluasi capaian kinerja bagi DKP.

Terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Gunungkidul, Rujimantoro menjelaskan bahwa UU yang mengatur mengenai distribusi bantuan sosial atau hibah memberikan permasalahan ambigu. Pasalnya KUBe nelayan sendiri merupakan program yang dibentuk oleh Dinas, yang beranggotakan minimal 10 orang.

Kalau misalnya distribusi bansos atau hibah diharuskan kepada perseorangan atau kelompok berbadan hukum, apakah akan menjadi masuk akal. Mengingat, salah satu contoh organisasi berbadan hukum yang dimiliki oleh nelayan bentuknya adalah koperasi.

“Sementara itu, koperasi nelayan yang jalan itu hanya di Baron dan Sadeng, sekarang saja sepertinya yang di Baron juga tidak seratus persen aktif. Kalau hanya koperasi yang dapat menerima bansos, berarti kelompok nelayan lainnya tidak bisa mendapatkan hibah,” urainya.

Namun, Rujimantoro mengaku tidak masalah apabila memang hal itu sudah menjadi kebijakan pemerintah asal membawa kebaikan dan tidak menghambat bagi nelayan.

Sejauh ini, meski belum berbadan hukum, nelayan sempat mendapat bantuan seperti misalnya pompa, alat tangkap. Alat-alat tadi juga sudah digunakan dan dimanfaatkan oleh nelayan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya