SOLOPOS.COM - Harso Suprapto, 87, saksi mata penyerbuan dan penyiksaan oleh tentara KNIL di Pertigaan Ngasem, Colomadu, 8 Februari 1949. (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos)

Solopos.com, KARANGANYAR — Tak banyak yang tahu Pertigaan Ngasem, perbatasan Kecamatan Colomadu (Karanganyar) dan Kartasura (Sukoharjo), di  jalan Solo-Semarang, menyimpan cerita berdarah saat pendudukan Belanda lebih dari setengah abad lalu. Tak jauh dari tempat itu, setiap 17 Agustus, puluhan orang menggelar upacara ziarah untuk menghormati mereka yang gugur namun nyaris tak tercatat dalam sejarah.

Satu di antara pejuang yang gugur di tempat itu adalah S. Siswo Martoyo. Namanya mungkin tidak setenar para pejuang lain yang dimakamkan di berbagai taman makam pahlawan. Jenazah Siswo hanya dimakamkan secara sederhana di pojok belakang pekarangan rumahnya, Dusun Sidorejo, Desa Ngasem, Colomadu, Karanganyar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menelusuri kisah yang terjadi saat itu memang tidak mudah. Masyarakat di kampung itu hanya tahu Siswo Martoyo gugur pada 8 Februari 1949. Selebihnya, tak banyak yang tahu persis karena hampir semua saksi mata telah meninggal dunia.

Adalah Harso Suprapto, 87, satu-satunya saksi mata peristiwa berdarah itu yang masih tersisa. Saat itu, Harso bersama dengan ratusan orang lainnya ditangkap pasukan Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL ) di Pertigaan Ngasem. Harso adalah mantan anggota Seinendan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

“Hari itu sekitar pukul 03.00 WIB, saya ditangkap di rumah dan dibawa ke pertigaan [Ngasem]. Belanda [KNIL] membuat pagar betis dari Pertigaan Ngasem sampai Kali Pepe di utara. Pukul 06.00 WIB, ada ratusan orang yang dikumpulkan di Pertigaan Ngasem,” tutur Harso, Minggu (17/8/2014).

Di antara ratusan orang yang ditangkap itu, satu di antaranya adalah Siswo Martoyo. Waktu itu, pasukan KNIL menyerbu kawasan yang kini menjadi jalur menuju Terminal Kartasura tersebut untuk menangkap anggota-anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kebetulan Siswo adalah anggota Tentara Pelajar (TP) yang berdomisili di kawasan itu.

Ratusan orang yang kebanyakan masih bercelana pendek dan bertelanjang dada dikumpulkan di jalan besar. Mereka ditanyai, ditendang, dan dianiaya, untuk menunjukkan siapa yang menjadi anggota pejuang. Siswo yang menjadi satu-satunya anggota tentara resmi di tempat itu menjadi sasaran empuk.

“Pak Sis [Siswo Martoyo] disiksa, diklewang [disabet pedang], ditendang, lalu ditembak. Jenazahnya ditinggal begitu saja karena tidak ada yang berani memberi hormat kepada dia,” kata Harso.

Bersambung Hal. 2: Penyiksaan

Penyiksaan

Seusai membunuh Siswo, pasukan KNIL membawa ratusan orang lainnya ke sebuah asrama militer di Bangak, Boyolali. Di sana, Harso dan rekan-rekannya mengalami berbagai penyiksaan. “Ada yang disetrum, ada yang diinjak-injak lututnya, dan ada yang kerja paksa. Kebetulan, saya disuruh menjalani kerja paksa. Misalnya membersihkan ilalang dengan tangan kosong,” kisah Harso yangs saat itu masih berusia 22 tahun.

Harso Suprapto, 87, saksi mata penyerbuan dan penyiksaan oleh tentara KNIL di Pertigaan Ngasem, Colomadu, 8 Februari 1949. (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos)

Harso Suprapto, 87, saksi mata penyerbuan dan penyiksaan oleh tentara KNIL di Pertigaan Ngasem, Colomadu, 8 Februari 1949. (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos)

Beruntung Harso dan sebagian rekan-rekannya bisa melarikan diri setelah beberapa waktu menjalani kerja paksa. Selanjutnya, Harso mengungsi ke Sambi, Boyolali, sebelum kembali ke Ngasem saat situasi kembali normal. “Di sini, semua rumah sudah dibakar. Jenazah Pak Sis sudah dimakamkan di belakang rumah itu.”

Siswo gugur meninggalkan lima anak dan seorang istri yang akhirnya menikah lagi. Saat tragedi itu terjadi, anak-anak dan istri Siswo mengungsi dan menyelamatkan diri ke Sawit, Boyolali. Kini, hanya Subandari, 72, putri ketiga Siswo yang merawat makam Siswo di belakang rumahnya.

“Waktu itu saya masih kecil, baru berusia tujuh tahun. Bahkan saya sudah tidak ingat lagi wajah Bapak [Siswo Martoyo] karena dia tidak pernah di rumah. Tahu-tahu dia sudah meninggal dibunuh Belanda,” kata Subandari di rumahnya, Minggu.

Meskipun tragedi di Ngasem itu hampir tak tercatat buku sejarah, jasa Siswo Martoyo diakui pemerintah. Beberapa kali ada usulan untuk memindahkan jasad Siswo ke TMP Kusuma Bakti, Jebres, Solo, namun pihak keluarga masih mempertahankannya.

Sepeti tahun-tahun sebelumnya, Senin, pekarangan di belakang rumah Subandari kembali menjadi tempat sebuah upacara resmi semi militer. Dalam upacara ziarah itu, Danramil, Kapolsek, Camat, dan para kepala desa se-Kecamatan Colomadu, selalu ikut serta.

Upacara kecil namun khidmat itu hanya berlangsung selama 15-an menit yang diakhiri dengan tabur bunga ke makam Siswo. Meski resmi, upacara itu memang sederhana, sesederhana hidup Siswo Martoyo yang ikut mengawal kemerdekaan RI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya