SOLOPOS.COM - Penari mementaskan tari kolosal Adeging Kutha Solo di Jl. Jendral Sudirman, Solo, Sabtu (18/2). (M. Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

HUT ke-272 Kota Solo dimeriahkan tarian kolosal yang menggambarkan sejarah berdirinya Kota Solo.

Solopos.com, SOLO — Kirab Boyong Kedhaton dengan lakon Adeging Kutha Sala menjadi puncak peringatan hari jadi ke-272 Kota Solo, Sabtu (18/2/2017) sore. Pertunjukan di Jl. Jenderal Sudirman ini menghadirkan 135 penari, 35 musisi profesional, dan 755 pendukung kirab Boyong Kedhaton.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Di tengah pertunjukan itu, Kiyai Khalifah Buyut yang diperankan Hanindawan, mendongeng kepada belasan anak-anak. “Kraton Kartasura kui mobat mabit diobrak abrik karo londo. Kanjeng Sinuhun [Paku Buwono II] ngutus Pangeran Mijil golek sisik melik kanggo mbangun kraton meneh. Pangeran Mijil mlaku ngetan, ngetan terus tekan gone Pak Rudy [Wali Kota Solo FX. Hadi Rudyatmo], mbalek meneh,” ujarnya berkelakar disambut tawa ribuan penonton yang memadati Jl. Jenderal Sudirman.

“Tekan Desa Sala. Pengen ngerti Desa Sala?” “Pengen,” sahut anak-anak. “Ayo tak critani ning ora neng kene. Neng ngisor wit ringin kuwi,” mereka lalu bergeser.

Ekspedisi Mudik 2024

Di sekeliling mereka, enam penari mempertontonkan Tari Sapu, disusul delapan penari tenggok dan sembilan penari caping. Babak itu mempertontonkan cerita bagaimana proses gotong royong membangun Keraton Surakarta Hadiningrat.

Namun, jerih payah itu mengalami kebuntuan. Desa Sala merupakan wilayah rawa yang sulit dikeringkan. Bahkan, air semakin membesar. Lalu, Kyai Khalifah Buyut menemui Ki Gedhe Sala.

“Kene ki bakal dadi kutha sing gedhe, kutha sing tentrem, kutha sing aman. Nduwure lampion, ngisore budaya Jawa. Lampion kuwi seko budaya manca sing nyawiji karo budaya Jawa. Sukerta ilang kabeh,” kata Ki Gedhe Sala yang diperankan Wijanarko.

“Ning ana syarat sarana sing kudu lakoni. Sepisan, gong sekar delima. Pindho, sirah tledhek, dan kaping telu ron lumbu,” kata Ki Gedhe Sala.

Oleh Kyai Khalifah Buyut dipenuhilah ketiga syarat tersebut. Dalam pertunjukkan sore itu, Ki Gedhe Sala mengundang Wali Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, ke tengah panggung aspal Jl. Jenderal Sudirman, depan Gedung Bank Indonesia (BI) Solo. “Kutha Sala bakal dadi punjering kabudayan, punjering nusantara,” kata Rudy, panggilan akrabnya.

Rudy menjelaskan makna syarat Ki Gedhe Sala merupakan perlambang. “Gong kui suanten artine nek ngendikan ya sing apik. Sing laras. Nek sekar kui wangi supaya gandane arum. Lajeng Sirah tledhek. Kui tontonan. Dudu sirah tledheke dipamerke. Nek jaman ndisik kui wayange dicepake,” terang Rudy.

Wali Kota yang berpakaian beskap landung warna hitam menuturkan untuk membangun Kota Solo yang menjadi pusat kebudayaan dan pusat Nusantara warga harus membangun budaya hidup gotong royong. “Pramila saged handayani adeging kutha Sala saged lestantun. Mangga syarat sarana niku wau kita lampahi sareng-sareng,” ajak Rudy kepada penonton.

Pertunjukan dilanjutkan dengan tari kolosal seluruh penari melambangkan kemeriahan menyambut berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tari kolosal sejarah berdirinya Kota Solo diakhiri hadirnya Paku Buwono II yang diperankan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (K.G.P.H.) Puger, Plt. Raja Keraton Kasunanan Solo, mendeklarasikan Desa Sala sebagai pusat pemerintahan dengan nama Surakarta Hadiningrat pada 17 Februari 1745.

“Pertunjukan ini adalah persembahan untuk warga Kota Solo sehingga segala lapisan masyarakat bisa menikmati dan menangkap makna dan pesan pertunjukan ini,” kata Fafa Utami, produser kirab Boyong Kedhaton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya