Hukuman mati terhadap 10 terpidana mati urung dieksekusi. Jaksa Agung memberikan penjelasan, namun menampik semata karena surat Habibie.
Solopos.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) akhirnya membuka suara soal mengapa hanya empat terpidana mati narkoba yang dieksekusi. Sebelumnya, jumlah terpidana mati yang rencananya dieksekusi sebanyak 14 orang.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Jaksa Agung, HM Prasetyo, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (29/7/2016) pagi, tidak menyampaikan alasan detail penundaan eksekusi kesepuluh orang tersebut.
“Ternyata, tadi pagi menjelang eksekusi, Jaksa Agung Muda Pidana Umum [Jampidum] selaku penanggung jawab lapangan, melaporkan setelah pembahasan bersama unsur terkait di daerah, ada kapolda dan konsulat luar negeri, hanya 4 orang yang perlu dieksekusi dini hari tadi,” kata Prasetyo.
Sementara kesepuluh orang lainnya yang belum dieksekusi, masih akan dikaji ulang semua aspeknya, baik hukum maupun nonhukum. “Yang 10 lainnya kita tentukan kemudian. Penangguhan ini tentunya melalui pengkajian untuk menghindari kesalahan,” ujarnya.
Prasetyo hanya mengatakan pihaknya belajar dari batalnya eksekusi Mary Jane Velosso menjelang eksekusi mata tahap dua beberapa waktu lalu. Saat itu, pemerintah Filipina meminta penundaan eksekusi karena yang bersangkutan dibutuhkan kesaksiannya dalam kasus trafficking sebagai korban.
Meski demikian, Prasetyo menampik penundaan ini terkait surat BJ Habibie terhadap Presiden Jokowi untuk menunda eksekusi mati Zulfiqar Ali, terpidana mati asal Pakistan.
“Saya katakan tadi, semua hal yuridis dan non yuridis kita pertimbanhkan. Kita tidak boleh spesifik [hanya mempertimbangkan surat Habibie] seperti itu,” katanya.
Prasetyo juga membantah ada tekanan diplomatik dari luar negeri. “Kalau imbauan ada, kalau tekanan tidak. Ini kan kita lakukan di wilayah hukum kita sendiri.”