SOLOPOS.COM - Terpidana mati kasus narkotika Freddy Budiman (tengah), mendapatkan pengawalan saat akan menjalani sidang peninjauan kembali di PN Cilacap, Jateng, Rabu (25/5/2016). Freddy mengajukan peninjauan kembali terhadap vonis hukuman mati yang diterimanya menjelang kabar akan dilaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba tahap ketiga. (JIBI/Antara Foto/Idhad Zakaria)

Hukuman mati terhadap Freddy Budiman dinilai memutus penyelidikan kasus narkoba yang disebutnya melibatkan setoran miliaran ke polisi.

Solopos.com, JAKARTA — Terpidana mati yang dikenal sebagai gembong narkoba khususnya ekstasi, Freddy Budiman, mencurahkan pengakuannya soal bisnis haramnya. Dia menyebut hal-hal–yang jika benar–sangat mengerikan. Dia menceritakan keterlibatan aparat hukum, termasuk anggota Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN), dalam peredaran narkoba yang dia impor dari China.

Promosi Kisah Agen Mitra UMi di Karawang: Penghasilan Bertambah dan Bantu Ekonomi Warga

Cerita itu disampaikan Freddy kepada Koordinator Kontras, Haris Azhar, di LP isolasi Nusakambangan, sehari sebelum eksekusi mati dilakukan. Freddy meminta dipertemukan dengan Haris dan membuka dugaan-dugaan itu. Berikut cerita Freddy Budiman dalam percakapan itu seperti dituliskan Haris Azhar di akun Twitter Kontras, Kamis (29/7/2016).

“Saya bukan bandar, saya adalah operator penyelundupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos) ada di Cina. Kalau saya ingin menyelundupkan narkoba, saya tentunya acarain itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai, dan orang-orang yang saya telepon itu semuanya nitip (harg). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000-300.000 itu?” kata Freddy.
Haris menjawab, “Rp50.000.”

Ekspedisi Mudik 2024

Freddy langsung menjawab. “Salah. Harganya hanya 5.000 perak keluar dari pabrik di Cina, makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu ada yang nitip Rp10.000 per butir, ada yang ditip Rp30.000 perbutir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak, selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris? Karena saya bisa dapat per butir 200.000, jadi kalau hanya membagi rezeki Rp10.000-30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 miliar barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”

“Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas, saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya [yang di China]. Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?”

“Saya tahu Pak [kepada bosnya], setiap pabrik yang bikin narkoba, dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira Rp1 miliar dari harga yang disepakati Rp2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi.
Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

Menurut Haris, Freddy mengaku kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba, yang justru dihukum. Tapi petinggi-petinggi aparat yang melindungi bebas dari jeratan. Haris pun bertanya bagaimana cerita ini bisa didapatkan dan mengapa bukan Freddy sendiri yang membongkarnya.

“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas, saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana,” kata Freddy.

Namun, tulis Haris, dia tidak menemukan pledoi Freddy Budiman di website Mahkamah Agung. “Yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya,” tulis Haris.

Humas BNN, Kombes Pol. Slamet Riyadi, menanggapi cerita Freddy tersebut dengan santai. Slamet tidak menyampaikan bantahannya, namun dia meminta Haris untuk menyampaikan bukti-bukti keterlibatan aparat hukum, termasuk BNN.

“Kalau ini berlanjut ke pidana, hukum memerlukan barang bukti, siapa berbuat apa, kapan, dan buktinya. Kami memberi apresiasi ke rekan Haris, kalau mau membuktikan silakan,” katanya di Studio TV One, Jumat (29/7/2016).

Slamet pun sudah menyampaikan cerita Freddy ke Kepala BNN, Komjen Pol. Budi Waseso. “Kepala BNN menyampaikan tiga hal. Pertama, segera bikin rilis, sampaikan apa adanya. Kedua, saya lakukan tugas saya sebagai pemberantas narkoba. Ketiga, bahwa hal ini harus bisa dibuktikan,” katanya menyebutkan perintah Budi Waseso.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya