SOLOPOS.COM - Artidjo Alkostar (Istimewa)

Solopos.com, JAKARTA— Nama Hakim Agung Artidjo Alkostar berada di balik putusan Mahkamah Agung atas hukuman yang semakin berat terhadap Angelina Patricia Pingkan Sondakh.

Majelis hakim yang dipimpin Artidjo Alkostar memperberat hukuman Angelina Sondakh, dari 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 12 tahun penjara terkait kasus korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Selain menambah masa pidana penjara, MA dalam putusan kasasinya juga mewajibkan Angelina Sondakh mengembalikan uang suap Rp12,58 miliar ditambah 2.350 juta dolar AS yang sudah diterimanya, jika tidak dibayar maka harus diganti dengan kurungan selama lima tahun.

“Terdakwa ini aktif meminta imbalan uang ataupun fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar tujuh persen dari nilai proyek dan disepakati lima persen. Harusnya sudah diberikan ke terdakwa 50 persen pada saat pembahasan anggaran, dan 50 persen setelah Dipa turun. Itu aktifnya dia, untuk membedakan antara pasal 11 dengan pasal 12 a. Kami ini menerapkan pasal 12 A,” kata hakim Artidjo Alkostar.

Ekspedisi Mudik 2024

Artidjo Alkostar dikenal sebagai hakim yang bersih. Sebelum memperberat hukuman Angelina Sondakh, Artidjo Alkostar yang dikenal sebagai hakim sederhana berdarah Madura ini, juga memperberat hukuman gembong narkoba.

Dia menjatuhkan pidana mati kepada Giam Hwei Liang alias Hartoni Jaya Buana. Hartoni mengendalikan peredaran narkoba di wilayah Banjarmasin dari dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Putusan MA ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Cilacap yang menghukum Hartoni dengan 20 tahun penjara.

Naik Bajaj

Artidjo Alkostar disebut-sebut sebagai pendekar hukum sekelas Baharuddin Lopa. Dikenal tegas dan tidak bertoleransi pada pelaku tindak kriminal dan korupsi, pria ini dikenal sebagai seorang hakim agung yang jauh dari hidup mewah.

Sebelum mendapat fasilitas rumah dinas dari MA dia mengontrak rumah di kawasan Kwitang Jakarta Pusat, tak jauh dari bengkel las. Dia juga naik bajaj atau taksi ke kantornya.

Artidjo Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur, ayah dan ibunya berasal dari  Sumenep. Artidjo Alkostar mengenyam pendidikan hingga SMA di Asem Bagus, Situbondo. Kemudian, masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Menempuh pendidikan di FH UII merupakan suatu kebetulan. Seperti dikabarkan hukumonline.com semasa SMA Artidjo Alkostar mengambil jurusan eksakta dan ingin masuk Fakultas Pertanian.

Alasannya sederhana saja, karena ayahnya seorang petani yang juga guru agama. Demi menghemat ongkos, Artidjo Alkostar menitipkan pada seorang kenalannya di Asem Bagus yang kuliah di Yogyakarta untuk mendaftarkannya di Fakultas Pertanian. Rencananya pada saat tes, dia akan datang ke Yogyakarta.

Ternyata, pendaftaran untuk Fakultas Pertanian sudah ditutup. Akhirnya dia masuk ke Fakultas Hukum UII, merasa betah dan tidak berminat lagi mendaftar di Fakultas Pertanian.

Pernah Jadi Pengacara

Selama menjadi mahasiswa, Artidjo aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga Dewan Mahasiwa (Dema). Ketika aktif di Dema dia sering berdemonstrasi memprotes kegiatan belajar mengajar di UII, yang menurutnya masih banyak masalah.

Seorang profesor di UII mengatakan pada Artidjo: “Kamu jangan hanya protes, tunjukkan juga bahwa kamu juga punya dedikasi sama UII,” kata Artidjo menirukan. “Akhirnya saya termakan sama ucapan sendiri. Saya memberikan sebagian ilmu saya sampai saat ini,” ujar Artidjo.

Lulus dari FH UII pada 1976, Artidjo mengajar di FH UII. Tahun 1981, dia menjadi wakil direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sampai 1983. Selanjutnya, 1983 sampai 1989 dia menjadi orang nomor satu di LBH Yogyakarta.

Artidjo Alkostar juga mencicipi pendidikan di luar negeri. Dia berada di New York Amerika Serikat untuk mengikuti pelatihan untuk lawyer mengenai Hak Asasi Manusia di Columbia University selama enam bulan. Saat yang bersamaan, dia juga bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun.

Pulang dari Negeri Paman Sam, AS, Artidjo Alkostar mendirikan kantor hukumnya yang bernama Artidjo Alkostar and Associates hingga tahun 2000.

Pada tahun itu juga dia harus menutup kantor hukumnya karena terpilih sebagai hakim agung. Sebenarnya, pertama kali ditawari oleh Menkeh HAM saat itu Yusril Ihza Mahendra untuk menjadi calon hakim agung, Artidjo Alkostar menolak.

“Karena saya tahu dunia peradilan itu hitam, di mata saya. Karena sering ada suap-menyuap. Itu dari pengalaman saya sebagai pengacara,” ujar Artidjo Alkostar tentang alasannya menolak tawaran itu.



Tapi, Yusril meyakinkan bahwa Artidjo Alkostar dicalonkan oleh banyak orang di Jakarta , seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara, Asmara Nababan, dan Bismar Siregar.

Sebelum memutuskan, Artidjo Alkostar berkonsultasi dengan kyai dari Madura. Kyai Madura menyatakan bahwa amanat itu harus diterima. Akhirnya, Artidjo bersedia dan kemudian mengikuti fit and proper test sampai kemudian terpilih menjadi hakim agung.

Waktu pun berlalu, dan hingga kini Artidjo Alkostar dikenal sebagai hakim yang bersih. Seperti yang dikatakan anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat bahwa Artidjo Alkostar adalah contoh seorang hakim yang idealistis dan memiliki keberanian luar biasa dalam menjalankan tugasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya