SOLOPOS.COM - Bambang Ari (Solopos/Istimewa)

Masyarakat Soloraya saat ini sedang membicarakan perusakan bangunan cagar budaya berupa benteng bekas Keraton Kartasura. Jika merujuk pada UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya jelas diatur sanksi pidana terkait perusakan tersebut. Pasal 66 ayat (1) UU Cagar Budaya mengatur “Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.” Terhadap pelanggaran pasal tersebut diancam hukuman pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 15 tahun dan/atau denda minimal Rp500 juta hingga Rp5 miliar (Pasal 105 UU Cagar Budaya).

Bagi penulis bukan terkait adanya sanksi perusakan saja, melainkan di balik kasus perusakan tersebut muncul adanya kepemilikan sertifikat dengan status hak milik pada tanah tersebut. Pengamatan penulis menunjukkan bahwa di perkampungan bekas Keraton Kartasura sendiri sudah banyak bangunan-bangunan baru yang didirikan tanpa mengindahkan batas-batas bangunan Keraton Kartasura dahulu. Ada dugaan juga terjadi perpindahakan kepemilikan tanah eks Swaparaja tersebut.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Keraton Kartasura adalah bekas kerajaan dan ibu kota Kesultanan Mataram pada 1680–1745, setelah Keraton Plered jatuh. Pada 1745 era Paku Buwono II dilakukan “boyong kedaton” perpindahan ke Keraton Surakarta yang sekarang ini.

Sejak itulah kondisi Keraton Kartasura seperti tidak bertuan pascaperpindahan ke Keraton Surakarta. Saat masih berdiri, Keraton Kartasura sendiri pernah dihuni lebih dari 20.000 orang. Menjadi pertanyaan apakah setelah kekosongan wilayah tersebut, juga masih didiami oleh mereka yang menjadi cikal-bakal kampung tersebut hingga sekarang. Ataukah malah sebaliknya sudah berganti kepemilikan atas tanah bekas Keraton Kartasura tersebut.

Memahami Undang-Undang

Tulisan ini lebih fokus pada penerapan UU Cagar Budaya serta UU Nomor 5/1960 tentang Agraria. Kenapa UU Agraria dikaitkan dengan UU Cagar Budaya? Hal ini terkait dalam diktum IV UU Agraria dengan tegas menyatakan penghapusan tanah-tanah bekas Swapraja. Tanpa disadari ada hubungan antara UU Cagar Budaya dan UU Agraria yang saling terikat.

Adapun yang menjadi perhatian adalah bangunan cagar budaya; struktur cagar budaya; situs cagar budaya; dan kawasan cagar budaya. Jika merujuk pada Pasal 1 tentang ketentuan umum sebagaimana tersebut di atas, jelas bahwa baik bangunan, struktur, situs maupun kawasan sebagian besar tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan tanah sebagai bagian dari cagar budaya tersebut. Karena itu, terbukti bahwa antara UU cagar budaya dan UU Agraria saling melengkapi.

UU Agraria sendiri terutama Pasal 16 ayat (1) terdapat beberapa hak atas tanah, di antaranya hak pakai; hak guna usaha; hak guna bangunan; dan hak milik. Guna mendapatkan hak atas tanah tersebut langkah yang harus dilakukan adalah melakukan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU Agraria. Salah satu persyaratan dalam pendaftaran awal peningkatan status hak atas tanah adalah surat keterangan asal tanah yang diterbitkan oleh kelurahan/desa.

Mengambil kasus di tanah bekas Keraton Kartasura, diperlukan surat keterangan asal tanah saat mengajukan pertama kali sertifikasi tanah. Hal ini dkarenakan status tanah yang bekas Keraton Kartasura sehingga menjadi tanah negara jika merujuk UU Agraria diktum IV. Surat keterangan asal tanah bisa digantikan surat keterangan dari Keraton Kasunanan Surakarta jika tanah tersebut dikuasai oleh pihak keraton. Dalam kasus perusakan tembok bekas keraton tersebut perlu juga ditelusuri siapa yang berwenang mengeluarkan surat keterangan asal tanah saat permohonan diajukan.

Harmonisasi Hukum

Persoalan tanah yang di atasnya berdiri bangunan cagar budaya atau sejenisnya, perlu kecermatan dan kehati-hatian. Penulis ambil contoh status hukum tanah di Baluwarti Keraton Kasunanan Surakarta. Saat ini lingkungan Keraton Kasunanan sendiri sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional dengan nomor Registrasi Nasional RNCB.20160907.05.001239 tahun 2017. Apakah dengan status kawasan cagar budaya nasional kemudian warga harus dipindahkan seluruhnya? Tentu saja dampak sosial yang ditimbulkan cukup besar jika hal tersebut dilakukan.

Lalu bagimana untuk mencegah terjadinya perusakan bangunan, struktur, situs cagar budaya terkait keberadaan masyarakat yang menempatinya? Tentu saja harmonisasi hukum antara UU Cagar Budaya dan UU Agraria perlu dijalankan.

Salah satu usulan penulis terkait harmonisasi UU Cagar Budaya dan UU Agraria, terutama di kawasan bekas Swaparaja adalah dengan pemberian hak pengelolaan lahan (HPL). Hak pengelolaan lahan adalah sebuah kewenangan yang diberikan oleh negara kepada badan hukum tertentu untuk mengelola lahan milik negara. Badan yang paling umum memiliki HPL dari pemerintah antara lain adalah badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) atau pemerintah daerah.

Semuanya diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 64 ayat (1). Setelah mendapatkan HPL, pengelola lahan mendapatkan beberapa kewenangan seperti merencanakan penggunaan lahan; menyerahkan tanah kepada pihak ketiga dengan hak pakai atau hak guna bangunan dengan jangka waktu tertentu; menerima pemasukan, ganti rugi, uang wajib tahunan dari tanah yang diserahkan kepada pihak lain. Selain itu, juga dapat dibuat aturan bagi warga yang tinggal di situs atau kawasan cagar budaya misalnya aturan bentuk bangunan, warna bangunan, tinggi bangunan, ciri khas ornamen dan lain sebagainya. Sehingga pelestarian cagar budaya menjadi kian massif dan dapat dipertahankan.

Masyarakat Hukum Adat

Terkait perolehan hak milik di atas tanah bekas Keraton Kartasura, salah satu rujukannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Dimungkinkan tanah bekas Keraton Kartasura tersebut diberikan izin kepemilikan bagi masyarakat.

Yang menjadi pertanyaan apakah memang ganti rugi sudah diberikan kepada pemilik tanah bekas Swaparaja tersebut. Yang lebih penting lagi bahwa Indonesia sudah meratifikasi Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People) pada 2007 yang disingkat dengan Undrip.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengatur  negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sayangnya hingga saat ini RUU Masyarakat Hukum Adat belum disahkan. Harus diingat bahwa perkembangan sosial masyarakat juga menjadi perhatian dalam penanganan persoalan yang terkait dengan pelaksanaan pengelolaan cagar budaya.

Jangan sampai muncul sengketa terkait dalam pengelolaan cagar budaya seperti saat ini. Tentu penguatan aspek yuridis menjadi salah satu pilar yang penting tanpa meninggalkan aspek sosial kemasyarakatan. Diperlukan pengaturan hukum yang responsif, yaitu sebuah aturan hukum dikatakan responsif apabila hukum bertmdak sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik sesuai dengan sifatnya yang terbuka.

Artikel ini telah dimuat di HU Solopos, Kamis (28/4/2022), ditulis oleh Bambang Ary Wibowo, pendiri Firma Hukum Bambang Ary Wibowo, SH & Associates.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya