SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta–Bagi para penggemar astronomi, kehadiran hujan meteor alias meteor shower pasti dinanti-nanti. Nah, di hari-hari menjelang pergantian tahun, hujan meteor akan kembali ‘mengguyur’ Bumi. Hujan meteor Ursids akan menjadi hujan meteor terakhir di 2010.

“Ini memang hujan meteor tahunan. Bisa dikatakan hujan meteor terakhir tahun ini,” ujar Profesor Riset Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, Selasa (21/12).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurutnya, hujan meteor ini relatif kecil lantaran rata-rata hanya ada 10 meteor per jam. Fenomena ini merupakan debu Komet Tuttle. Jumlah meteor sedikit lantaran jumlah debu dari komet ini juga sedikit sehingga tidak rapat.

Puncak hujan meteor Ursids adalah 22 hingga 23 Desember. Karena sedikit meteor yang dihasilkan, fenomena ini kurang terkenal. Meski begitu, para penggemar astronomi umumnya tidak akan melewatkan hujan meteor ini. Saat terjadi, meteor terpancar ke segala arah, seperti kembang api.

“Sebenarnya tidak perlu alat bantu untuk melihatnya. Namun persoalannya, saat ini purnama sehingga agak sulit melihatnya karena terganggu cahaya bulan,” sambung pria berkacamata ini.

Hujan meteor ini bisa dilihat di langit utara, dan tampak keluar dari rasi bintang Ursa Mayor. Rasi bintang ini sering dijadikan sebagai penunjuk arah. Hujan meteor Ursids terlihat pada sekitar dini hari, sejak terbit pukul 01.00 WIB hingga waktu subuh.

Bila Anda ingin melihat hujan meteor yang lebih menarik, jangan khawatir. Karena di tahun baru mendatang, akan terjadi hujan meteor Quadrantid. Produksi meteornya cukup banyak, yakni sekitar 100 meteor per jam. “Ini diduga asalnya dari debu komet baru bernomor katalog 1490 Y1 atau 1385 U1,” ucap Djamaluddin.

Hujan meteor Quadrantid bisa dilihat di belahan langit utara, dari rasi bintang Bootes. “Bisa dibilang ini sebagai hujan meteor awal tahun,” tambahnya.

Gerhana bulan total

Pada Selasa (21/12) ini gerhana bulan akan terjadi. Karena terjadi pukul 13.33-17.01 WIB, maka peristiwa itu tidak dapat teramati di wilayah Indonesia bagian barat. Djamaluddin mengatakan, hanya wilayah sekitar Jayapura dan Maluku yang dapat melihat akhir gerhana bulan. Meski begitu kesempatan untuk melihat hanya sebentar, yakni dari pukul 17.53 WIT hingga 19.01 WIT.

“Kalau dari wilayah timur Indonesia, yang terlihat hanya gerhana sebagiannya saja. Wilayah Sulawesi ke barat tidak kebagian. Sedangkan gerhana bulan total bisa dilihat dari Amerika,” sambung alumnus Universitas Kyoto, Jepang, ini.

Dia menjelaskan, secara umum gerhana bulan dipengaruhi kualitas atmosfer. Banyaknya debu vulkanik di atmosfer akibat letusan sejumlah gunung api, misalnya saja Gunung Merapi, Gunung Bromo dan Eyjafjallajokull di Islandia ditengarai membuat debu vulkanik banyak bertebaran di atmosfer dan membuat fenomena bulan merah.

“Kalau banyak debu vulkanik di atmosfer, maka bulan terlihat sangat merah bahkan gelap. Seperti saat letusan Gunung Tambora 1915, karena debu ke seluruh dunia, gerhana bulannya jadi sangat gelap,” tutur Djamaluddin.

Diterangkan pria yang juga menjadi dosen tidak tetap di IAIN Semarang ini, sesaat setelah gerhana bulan, yakni pada 22 Desember, terjadi titik balik matahari. Yang terjadi kali ini adalah titik balik selatan, di mana matahari berada di titil paling selatan.

“Bagi belahan utara, ini menjadi awal musim dingin. Sedangkan bagi belahan selatan menjadi awal musim panas. Di Indonesia secara rata-rata adalah awal musim hujan,” imbuhnya.

dtc/tiw

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya