SOLOPOS.COM - Hotel Maliyawan, aset Pemkot Solo yang terletak di Tawangmangu, Karanganyar. (JIBI/SOLOPOS/Ayu Prawitasari)

Hotel Maliyawan, aset Pemkot Solo yang terletak di Tawangmangu, Karanganyar. (JIBI/SOLOPOS/Ayu Prawitasari)

SOLO – Panitia khusus (Pansus) persetujuan pelepasan aset Maliyawan menduga ada ketidakberesan dalam proses pelepasan aset Hotel Maliyawan. Hal tersebut terungkap setelah sebagian anggota Pansus mendatangi Badan Pertanahan Negara (BPN) Karanganyar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah satu anggota pansus, Reny Widyawati, menyampaikan anggota pansus mendatangi BPN Karanganyar guna menanyakan status hak persil tanah Maliyawan. “Memang berkas tidak bisa kami kopi. Tetapi setidaknya kami bisa melihat berkas tersebut. Disitu, saya sebagai anggota pansus melihat adanya ketidakberesan,” jelasnya, Selasa (11/9/2012).

Dikatakannya, melihat alur dari permohonan yang disampaikan pemkot kepada DPRD sudah sangat jauh rentang waktunya. Menurut kronologis, lanjutnya, pada 10 Juni 2011, ada surat Walikota Solo yang menyetujui adanya penyerahan aset kepada Direktur PT Citra Mandiri. Setelah itu, terdapat pengajuan sertifikat atas nama pihak swasta untuk dibangun hotel.

Pada 23 Juni terjadi pembayaran pembelian tanah ke PT Citra Mandiri senilai Rp4,81 miliar dari pihak swasta tersebut. Pada 28 Juli 2011 terdapat pajak yang dibayarkan pihak swasta tersebut terkait Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pajak penghasilan. “Kemudian ada surat pelepasan dari PT Citra Mandiri nomor 640-004 surat atas tanah seluas 7.962 meter2 Yang disahkan oleh PPAT Tawangmangu dalam hal ini Camat Tawangmangu,” ungkapnya. Pada 3 September 2011, BPN menerima berkas permohonan pengukuran tanah dari pihak swasta tersebut untuk izin pembangunan hotel. “Saat ini prosesnya sudah sampai ke BPN pusat tinggal menunggu turunnya SK,” tambahnya.

Dari kronologi tersebut, Reny menyatakan permit sangat naif jika diberikan oleh DPRD. Pasalnya, pengajuan permit baru disampaikan setelah satu tahun pelepasan aset tersebut oleh walikota. “Dari konologi saya melihat ada hal yang tidak wajar. Saya tidak tahu itu dilakukan oleh siapa. Tapi intinya permit dimintakan setelah satu tahun pelepasan aset. Sangat naif kalau DPRD memberikan permit itu,” paparnya. Hal ini lantaran, sebenarnya hal itu sudah dilakukan oleh walikota pada 10 Juni lalu. Kejanggalan lainnya yakni terkait nilai pembelian tanah. Nilai lahan Maliyawan seharusnya bisa lebih tinggi.

“Kenapa dari perseorangan bisa membeli? Kalau saya lihat nilai aset tanah tersebut diatas Rp4,8 miliar. Harga itu lebih dari Rp4,8 miliar. Yang membeli saat ini dari swasta, seharusnya bisa lebih tinggi,” ungkapnya. Lebih lanjut, Reny mengatakan mestinya ada sosialisasi jika memang tanah tersebut sudah dibeli. Selain itu, Reny juga mempertanyakan Pemkot yang menilai Hotel Maliyawan tidak ekonomis. “Yang perlu saya tekankan di sini pihak swasta membeli tanah tersebut untuk dibangun hotel. Tetapi kenapa pemkot menganggap di sana tidak ekonomis?” tegasnya. Proses pelepansan tanah yang terkesan mudah dan cepat pun menjadi sorotan. “Hanya berselang sebentar, prosesnya sebegitu lancar,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Pansus Persetujuan Pelepasan Aset Maliyawan, Dedy Purnomo, membenarkan adanya pengecekan ke BPN Karanganyar. “Kami sudah kesana. Hanya saja, dokumen yang ada boleh dilihat tetapi tidak boleh dikopi,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya