SOLOPOS.COM - Hotel Maliyawan (Espos/Ayu Prawitasari/dok)

Hotel Maliyawan (Espos/Ayu Prawitasari/dok)

SOLO--Mantan Plt Sekda Solo, Supradi Kartamenawi, menduga ada praktik kongkalikong antara oknum pegawai Pemkot Solo dengan Pemprov Jateng dalam pengambilalihan tanah Hotel Maliyawan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dugaan tersebut menguat menyusul tarik-ulur pelepasan tanah Maliyawan sudah terjadi sejak dirinya menjabat yakni sejak 2010 lalu. Menurut Pradi, sapaan akrabnya, apapun kebijakan Pemprov atas Maliyawan selalu melibatkan Pemkot sebagai pengelola tanah sejak 1960 silam.

”Tarik ulur tanah Maliyawan itu kejadian lama, sejak saya menjabat sudah terjadi. Saya tahu persis Pemprov tidak akan berani bertindak sendiri sebelum berkoordinasi dengan Pemkot,” ujarnya, Senin (30/4/2012).

Saat masih menjabat sebagai Plt Sekda, menurut Pradi, beberapa kali Pemprov yang diwakili Perusahaan Daerah Citra Mandiri Jateng (PD CMJT) mengeluhkan sikap Pemkot yang seakan masih nggondeli tanah Maliyawan. PD CMJT menilai Pemkot tak ingin melepas Hotel Maliyawan namun juga tidak mau meneruskan kontrak sewa. Semua, menurut Pradi, serba diambangkan.

”Beberapa kali PD CMJT berkirim surat meminta kejelasan keberlangsungan Hotel Maliyawan. Mereka mengatakan ingin melepas tanah itu namun sebelumnya Pemkot harus menghapus dulu asetnya. Tanpa penghapusan aset, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Nah kan jadi aneh kalau tiba-tiba Sekda bilang pihak ketiga dalam hal ini Pak Lukminto hanya berhubungan dengan Pemprov,” tegasnya.

Terkait harga yang dilepas Pemprov untuk tanah Maliyawan Rp 4,7 miliar, menurut Pradi, sudah muncul sejak 2010. ”Itu harga lama. Namun bisa jadi harga beli oleh pihak ketiga lebih dari itu karena harga pasaran tanah di Tawangmangu tergolong tinggi,” paparnya.

Bukan hanya mekanisme jual-beli tanah yang keliru, namun menurut Pradi, justru saat ini yang perlu diselidiki pihak berwajib adalah ke mana larinya uang minimal Rp 4,7 miliar itu. Apakah uang tersebut ada di tangan Pemprov ataukah ada di tangan Pemkot.

Sementara itu, DPRD Kota Solo bersikukuh mempertahankan Hotel Maliyawan, Tawangmangu. Hal tersebut ditegaskan Wakil Ketua DPRD, Supriyanto, Senin (30/4). Menurut dia, dengan mempertimbangkan faktor hukum maupun ekonomi, Hotel Maliyawan akan tetap dipertahankan sebagai milik Pemkot.

”Catatan kami sudah dua kali Sekda mengajukan permohonan pelepasan Hotel Maliyawan dan selalu kami tolak. Apabila nanti Sekda mengajukan permohonan kembali, jawaban kami tetap sama yaitu menolak permohonan itu. Bagaimanapun sikap kami sudah tertuang dalam dokumen rekomendasi atas LKPj Walikota tahun anggaran 2010 sehingga tidak mungkin bisa berubah-ubah,” jelas Supriyanto.

Meski tanah Hotel Maliyawan sudah beralih tangan, sambung Supriyanto namun legislator tak akan berubah sikap. ”Biar saja begitu. Tidak akan ada negosiasi. Intinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 38/2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Negara, aset Pemkot berupa bangunan yang berada di atas tanah milik Pemprov apabila hendak dialihtangankan harus mendapat persetujuan DPRD. Tanpa adanya persetujuan dari kami secara otomatis ya tidak akan ada penghapusan aset. Dengan demikian apabila ada transaksi jual-beli, maka hal itu jelas melanggar aturan,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya