SOLOPOS.COM - Slamet Sutrisno (JIBI/SOLOPOS/ist)

Slamet Sutrisno (JIBI/SOLOPOS/ist)

Setelah Bupati Karanganyar urung menutup dua sekolah swasta yang semula tak mau hormat bendera Merah Putih, Walikota Solo menduga di wilayahnya juga ada sekolah seperti itu. Kelak jika terbukti terus membangkang, dia tidak akan ragu menutup sekolah tersebut.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Sikap tegas kepala daerah seperti itu menjadi contoh positif bagaimana mengimplementasikan laku kepemimpinan untuk bersikap tegas tatkala situasi memang menghendaki begitu. Sebelumnya, salah seorang pengelola sekolah itu menyatakan “ketegasan” sikap untuk tidak mau menghormat bendera Merah Putih berdasar keyakinan keagamaan bahwa hormat bendera adalah musyrik. Tentu saja negara tidak bisa menilai suatu keyakinan, konon pula keyakinan keagamaan.

Akan tetapi proporsi masalahnya lebih terletak pada domain aturan main dari suatu negara hukum, di sisi yang lain domain ideologi sebagai negara kebangsaan dan bukan negara agama atau negara liberal. Sesuai kaidah hukum positif, hukum negara tidak pernah toleran dengan dimensi batin. Ketentuan hukum positif hanya minta ditaati oleh warga negara dan penduduk yang ditunjukkan oleh perilaku. Negara tak peduli apakah ketaatan itu tulus atau tidak.
Dalam KUHP ada pasal tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, misalnya Pasal 154a sebagai berikut: Barang siapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.

Siapa pun wajib menghormat bendera kenegaraan sebagai peserta upacara bendera, tiada peduli apakah batinnya berkata lain. Lebih dalam dibanding hukum positif adalah ranah moral etik yang merupakan akar kepatuhan warga negara dan warga bangsa terhadap ranah ketanahairan.

Dalam konsepsi Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, konsep ketanahairan mencakup trilogi, yaitu tanah air riil (teritori kenegaraan), tanah air formal (Negara) dan tanah air mental (ideologi Pancasila). Setiap warga negara yang baik memiliki bukan hanya rasa wajib yuridis melainkan wajib moral dan etis untuk selalu taat dan hormat, bahkan membela tiga dimensi ketanahairan itu.

Negara tidak hanya berperangkat konstitusi, melainkan termasuk lambang, bendera dan lagu kebangsaan. Maka itu tidak boleh ada warga negara dan penduduk di negara ini melecehkan bendera kenegaraan Merah Putih, lambang negara Garuda Pancasila dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Yang terdalam adalah ranah tanah air mental yang mengakar pada Pancasila sebagai ideologi, sebagai tempat tumbuhnya wawasan kebangsaan yang mengatasi segala paham golongan dan perseorangan, baik golongan keagamaan, kesukuan, ekonomi, profesi dan keturunan.

Ternyata latar belakang kesediaan pengelola sekolah tersebut untuk menghormat kepada bendera Merah Putih bukan terutama karena alasan hukum positif, melainkan seperti dijelaskan oleh MUI, hormat bendera kenegaraan bukanlah soal akidah melainkan soal budaya.

Filsafat kebudayaan
Penjelasan itu sesungguhnya menukik ke filsafat kebudayaan, ke dalam dimensi simbolik kehidupan manusia. Ernst Cassirer dan Susanne K Langer menegaskan bahwa manusia bukan hanya “hewan yang berpikir” melainkan terlebih-lebih “hewan yang bersimbol” (animal symbolicum).

Dalam rangka proses berpikir, manusia bisa melakukan dengan berpikir klasifikatif, berpikir logis, berpikir dialektis dan berpikir simbolik. Guna memahami mengapa orang menaruh hormat dan bangga kepada bendera, lambang dan logo, bisa ditempuh melalui berpikir simbolik.

Bendera-bendera tersebut bukanlah benda harfiah yang diserap fenomena denotatifnya yang cuma selembar kain berlukisan dan logo tertentu, bahkan bendera kebangsaan kita hanyalah terdiri atas sambungan kain merah dan putih belaka. Bendera Merah Putih milik penduduk di pelosok sering begitu lusuhnya.

Namun, kibaran bendera kebangsaan itu tak pernah lusuh, lambaiannya mengundang patriotisme, menebarkan cita rasa kebanggaan ketanahairan. Bendera adalah fakta simbolik yang memberi pemahaman dan pengakuan pada realitas di baliknya, yakni eksistensi negara-bangsa Indonesia.

Berpikir simbolik itu sifatnya konotatif. Material yang dipikirkan mampu merangsang pikiran transformatif ke arah realitas lebih tinggi. Sebagai satu-satunya makhluk yang berdimensi imajinatif, metafisik dan spiritual, berpikir simbolik justru menjadi sifat dasar manusia sebab dimensi-dimensi itulah yang diwadahi oleh simbol.
Simbol sekaligus adalah wadah bagi makna dan permaknaan kehidupan manusiawi; maka itu kehilangan kompetensi simbolik mendegradasikan manusia ke lembah harfiah kehidupan pramanusia, semisal kehewanan.

Dalam ujaran Cassirer, dengan simbol manusia mampu menapaki jalan transenden, organ simbol adalah organ roh manusiawi sendiri sedemikian rupa sehingga simbol itu sesungguhnya mewujudkan pernyataan diri. Betapa dalamnya akar simbol, yang menghunjam hingga ranah eksistensial kemanusiaan. Betapa ruginya bila manusia hanya bisa berpikir harfiah sehingga–misalnya—kecupan pipi suami-istri cuma dipersepsi sebagai interaksi jutaan sel-sel dalam kedua pipi itu.

Sayangnya, memasuki budaya modern berarti masuk ke medan modernitas yang dalam tilikan Pittirim Sorokin menghasilkan sensation culture (budaya keinderawian) yang merisik daya-daya simbolik dalam serapan manusia atas realitas hidupnya.
Dalam kerangka filsafat kebudayaan modern, kesungkanan menaruh respek kepada piranti simbolik kenegarabangsaan ikut terpicu oleh arus desimbolisasi kehidupan yang memang marak dalam zaman modern.

Slamet Sutrisno, Pengajar Filsafat Kebudayaan Universitas Gadjah Mada

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya