SOLOPOS.COM - Ilustrasi Hoaks (Solopos/Whisnupaksa)

Solopos.com, SOLO – Beredarnya hoaks di media sosial menghambat penanganan dan respons dini terkait konflik keagamaan di Indonesia. Penyebaran hoaks yang cepat justru mempercepat eskalasi konflik termasuk mobilisasi massa.

Hal itu terungkap dalam hasil riset Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama terkait efektivitas respons dini konflik keagamaan di Indonesia. Dalam riset itu disebut beredarnya informasi yang belum terverifikasi kebenarannya di media sosial pada cepatnya mobilisasi massa dalam berbagai kasus konflik.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

"Yang mengakibatkan eskalasi konflik menjadi sulit diantisipasi secara tepat oleh aparat pemerintah setempat," kata peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Rudy Harisyah Alam, dkk, sebagaimana rilis kepada Solopos.com, Selasa (9/6/2020).

Ekspedisi Mudik 2024

Meski Cukup Efektif, Pemanfaatan Hasil Kelitbangan Kementerian Agama Perlu Diperkuat

Selain hoaks, respons dini konflik keagamaan juga dipengaruhi oleh jenis isu dan tingkat ancaman terhadap keamanan negara. Konflik terkait isu terorisme, misalnya, repons aparat pemerintah setempat cenderung sangat rendah.

Sebaliknya, peran kuat deteksi dini justru dilakukan oleh kepolisian melalui Densus 88/Antiteror. Deteksi ini dilakukan melalui hasil kerja intelijen dan pengembangan sejumlah kasus.

Salah satu contohnya terlihat dalam kasus Ma’had Ibnu Mas’ud di Kecamatan Tamansari, Bogor. "Meski respons dini gagal, dalam kasus ini penanganan konflik dapat dikatakan berhasil. Sebab, intervensi yang dilakukan dapat mencegah eskalasi konflik berubah menjadi kekerasan," imbuh Rudy.

Sistem Informasi Kementerian Agama: Kaya Aplikasi Tapi Belum Terintegrasi

Proaktif Aparat Pemerintah

Faktor lain yang juga menentukan efektivitas respons dini konflik keagamaan yakni sikap proaktif, ketegasan dan konsistensi tindakan aparat pemerintah setempat mulai dari desa hingga provinsi. Hal ini kerap ditemui dalam konflik komunal seperti pendirian tempat ibadah. Ada pula kasus pengggunaan rumah pribadi, ruko atau ruang di pusat perbelanjaan sebagai tempat ibadah.

Rudy menerangkan ketidaktegasan dan inkonsistensi tindakan aparat pemerintah setempat, memicu pada kegagalan respons dini dalam banyak kasus komunal terkait pendirian rumah ibadah.

Dalam riset itu juga disebutkan faktor lain yang ikut menentukan yakni kesamaan persepsi di kalangan aparatur pemerintah dalam memahami regulasi. Hal ini terlihat dalam penanganan kasus konflik terkait isu sektarianisme, misalnya kasus komunitas Ahmadiyah.

Kisah Dinamika Penerjemahan Al-Qur’an Ke-17 Bahasa Daerah

Penanganan kasus Ahmadiyah tecermin dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut Anggota dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat.

"Persepsi berlainan menimbulkan respons yang bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Dalam sebagian kasus, ketiadaan pedoman dalam penanganan konflik, melahirkan sikap dan penanganan berbeda pula di kalangan aparatur lokal," terang Rudy.

Berikutnya, keberadaan pihak ketiga juga turut mempersulit respons dini yang dilakukan aparat pemerintah setempat terkait konflik keagamaan. Dalam hal ini, ketegasan pemerintah setempat dalam mencegah atau mengintervensi masuknya pihak ketiga menjadi faktor pendukung keberhasilan penyelesaian konflik.

Hasil Riset Tematik Dibikin Bunga Rampai Agar Terindeks Global

Rekomendasi

Dalam riset yang sama juga disampaikan sejumlah rekomendasi kebijakan. Pertama, Kementerian Agama perlu menyiapkan kerangka kelembagaan, regulasi, dan anggaran untuk menopang fungsi dan sistem respons dini konflik keagamaan.

Kedua, Kementerian Agama perlu memperluas dan memperkuat fungsi satker yang berada di lini terbawah yakni KUA Kecamatan sebagai pemelihara kerukunan umat beragama.

"Ketiga, Kementerian Agama perlu menyiapkan kerangka acuan atau pedoman penanganan konflik baik antar maupun intraumat beragama sebagai rujukan aparatur pemerintah," lanjut Rudy.

Tak hanya itu, sistem peringatan dan respons dini konflik memerlukan suplai data pendukung, berupa data lembaga keagamaan, lembaga pendidikan keagaman, dan penyuluh agama.

Ini 8 Strategi Memajukan Pendidikan Keagamaan Di Wilayah 3T

Kemudian, meningkatkan kompetensi aparatur yang bertugas menghimpun informasi dalam rangka peringatan dan respons dini konflik secara berkala.

Terakhir, Kementerian Agama menggandeng instasi lain yang relevan membikin pedoman bagi aparat pemerintah lokal dalam pencegahan dan penanganan konflik keagamaan. Instasi yang relevan itu yakni Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaaan Agung, Polri.

Kerja sama juga perlu dibangun engan forum kerukunan umat beragama (FKUB) dan lembaga non pemerintah lainnya yang fokus pada isu pemeliharaan kerukunan umat beragama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya