SOLOPOS.COM - Aulia_Putri (Solopos/Istimewa)

Thrifting berasal dari kata thrive yang berarti kegiatan membeli barang bekas. Thrifting kali pertama dikenalkan oleh artis-artis terkenal luar negeri hingga para influencer dalam negeri. Jenis thrifting yang banyak digandrungi adalah fashion thrifting atau membeli baju bekas. Beberapa lokasi yang banyak didatangi untuk berburu pakaian bekas ini di antaranya Pasar Senen di Jakarta, Gedebage di Bandung, Pujha Fashion di Jogja, dan masih banyak lagi lainnya.

Dengan kondisi barang yang terbilang masih bagus atau ada kecacatan, pakaian bekas yang dijual kembali ini dibanderol dengan harga yang sangat murah. Pilihan model pakaiannya pun beragam, dari jenis crewneck, jeans, kaus, cardigan, hoodie, rok, trousers, kemeja, dan lain-lain. Kebanyakan anak muda mencari jenis crewneck. Tak jarang ditemukan banyak pakaian bermerek yang dijumpai di toko-toko thrifting dengan harga yang juga murah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Selain menjadi tren yang populer di kalangan anak muda, thrifting turut membantu menyelamatkan bumi. Ditilik dari kampanye zero waste lifestyle yaitu konsep hidup berkesadaran untuk menggunakan produk sekali pakai dengan lebih bijak dan mengutamakan produk-produk yang umur pakainya lebih panjang. Tujuan dari zero waste lifestyle ini adalah untuk mengurangi jumlah sampah di TPA dan dampak buruknya agar sumber daya alam tetap terjaga. Fast fashion industries menghasilkan produk pakaian yang “bergerak cepat” dari catwalk ke toko-toko di mall untuk memenuhi tren baru atau sesuai pergantian musim.

Dilansir dari Narasinewsroom, produksi tekstil menghasilkan 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca setiap tahunnya. Hanya kurang dari satu persen bahan pakaian didaur ulang menjadi baju baru. Sementara sekitar 20 persen pencemaran laut disebabkan oleh limbah tekstil, yaitu mikrofiber. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan perubahan iklim dengan memulai zero waste lifestyle, masyarakat mengganti pilihannya dari fast fashion ke sustainable fashion atau industri pakaian berkelanjutan dan ramah lingkungan. Bentuk dari sustainable fashion ini salah satunya adalah thrifting.

Bukan hanya anak muda, beragam alasan mengapa banyak orang memilih thrifting adalah ada yang memang peduli dengan lingkungan, mencari baju berkualitas baik dan bermerek dengan harga yang murah, atau hanya sekedar hobi. Semakin populernya tren thrifting di kalangan anak muda, ternyata memberikan dampak pada harga produk yang dijual di toko-toko thrifting. Banyak dari beberapa orang membeli baju thrifting di lokasi tertentu untuk kemudian dijual lagi secara online dengan harga yang jauh lebih mahal. Hal ini diketahui oleh supplier atau first-hand pakaian thrift yang kemudian mereka menaikkan harga. Dengan begitu, penjual second-hand atau penjual online lebih menaikkan harga lagi dan menyebabkan harga pakaian thrift melambung tinggi di pasaran. Jika biasanya pakaian thrift berkisar antara Rp.15.000 sampai dengan Rp.100.000, maka harga pakaian thrift sekarang rata-rata berkisar antara Rp.30.000 sampai dengan Rp.500.000.

Perubahan harga pakaian thrift dari murah ke mahal saat ini tidak hanya dikarenakan thrifting sedang ngetren, tetapi memang ada beberapa pakaian bermerek yang berhasil didapatkan oleh penjual second-hand dan dijual lagi dengan harga yang tinggi. Penjual second-hand ini me-rebranding pakaian bekas tersebut menjadi lebih elite dan menambah keuntungan pribadi dengan menaikkan harga jual yang tidak wajar. Cara mereka me-rebranding dan dijual secara online adalah dengan mengunggah foto produk se-estetik mungkin untuk menarik perhatian target konsumen, di-laundry supaya bersih dan wangi, dan dikemas dengan rapi.

Esensi awal dari thrifting yaitu membeli pakaian bekas berkualitas dengan harga yang murah pun mulai bergeser. Beberapa orang beranggapan jika pakaian bekas harganya menjadi mahal, mending membeli pakaian baru saja. Pergeseran esensi awal thrifting ini ditolak oleh sekelompok orang yang memang membeli pakaian thrift karena peduli dengan lingkungan dan untuk menghemat pengeluaran. Di sisi lain, kelompok masyarakat yang hanya mampu membeli pakaian bekas dengan harga terjangkau menjadi lebih sulit untuk mendapatkan pakaian bekas yang masih berkualitas bagus karena sudah diborong oleh penjual second-hand. Hal tersebut termasuk esensi lain yang telah hilang dari thrifting yaitu akses pembelian untuk semua golongan masyarakat.

Keironisan esensi awal dari thrifting dengan yang terjadi sebenarnya di masyarakat perlu disuarakan. Walaupun dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, tetapi sebaiknya penjual tidak merusak esensi awal dari thrifting. Lebih jauh, pakaian bekas pada thrifting bukanlah barang vintage yang bernilai tinggi karena latar belakang historisnya. Sejatinya thrift itu sendiri berarti hemat atau irit dalam menggunakan barang.

 

  • Penulis adalah mahasiswa Semester V Universitas Negeri Malang

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya