SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Akhir-akhir ini saya sering berpikir tentang konsep hilang. Seperti gigi anak-anak yang tanggal, teman-teman yang meninggal, kerabat yang menutup mata untuk selamanya, nomor-nomor ponsel yang kini tanpa empunya, hingga tawa yang makin sulit saya temukan.

Saya memikirkan dengan sungguh-sungguh entitas yang semula ada menjadi tidak ada, yang dalam bahasa Indonesia merujuk pada sinonim kata hilang. Jadi saya mulai berpikir bahwa saya mengalami banyak kehilangan dalam waktu yang singkat.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dari kota kelahiran, adik mengabarkan bahwa bapak sedang sakit. Bapak masuk rumah sakit karena saturasinya sangat rendah. Akhirnya Covid-19 bermukim di tubuh bapak yang renta. Kabar itu sungguh mengusik hidup saya di perantauan, mengingatkan lagi tentang banyaknya kehilangan yang saya alami sepanjang dua tahun ini. Saya benar-benar takut bapak hilang.

Doa-doa saya pergi ke langit. Banyaknya doa yang pergi tanpa jawaban yang pulang membuat saya makin gelisah. Namun, setelah hampir dua pekan, jawaban Tuhan mengetuk rumah. Adik mengabarkan bapak sembuh, saturasi normal, Covid-19 telah pergi dari tubuhnya. Bapak akhirnya pulang ke rumah, kembali ke kamarnya, kembali ke kehidupannya, dan yang terpenting kembali ke kehidupan saya.

Bertelepon dengan bapak yang sudah kembali ke rumah membuat kegelisahan saya mereda. Meski suara bapak sangat lemah, namun saya tahu bapak sangat bahagia kembali ke kamarnya. Kamar dengan dua lemari besar di dalamnya itu adalah dunia masa senjanya. Kamar tempat dia tidur, membaca, menulis, dan sesekali melihat-lihat album foto yang tersimpan rapi di lemari ibu.

Di kamar itu terdapat satu lemari bapak dan satu lemari ibu yang sudah pergi untuk selamanya. Isi lemari ibu sekarang ini masih sama seperti sebelum ibu meninggal. Ada beberapa tas, pakaian, dan banyak album foto yang merekam perjalanan keluarga kami dari masa ke masa. Ah, saya jadi bertanya-tanya, benarkah ibu hilang?

Album foto di lemari ibu juga menjadi salah satu hal paling penting dalam hidup saya. Tiap kali pulang, saya selalu mengeluarkan seluruh album foto itu dan membuka lagi lembarannya.

Ada foto ibu saat masih remaja, foto kakek, nenek, pakde, bude, dan orang-orang yang mewarnai hidup saya, baik yang masih ada maupun yang sudah pergi. Saya jadi berpikir lagi, apakah yang sudah pergi itu benar-benar menghilang? Mereka menghilang dari siapa? Dari saya? Ataukah dari semua anggota keluarga?

Mencoret

Lantas, sampai kapan mereka hilang dari pandangan saya? Apakah kehilangan itu fana atau kekal? Apakah yang hilang dari saya itu suatu saat akan kembali? Apakah kehilangan itu sementara?

Di satu titik saya menjadi kesal pada diri sendiri karena selalu memosisikan diri sebagai pusat dari segala sesuatu sementara saya jelas bukan apa-apa di putaran semesta. Jadi bagaimana saya bisa berpikir tentang saya di posisi yang awal dan yang akhir kalau saya tak tahu ujung-pangkalnya.

Saya jadi teringat tulisan kakek di salah satu album foto. Album foto itu milik saya, yang merekam masa kecil saya. Kakek menulis dengan huruf latin sangat rapi di salah satu halamannya.

“Ayu sedang bermain.” Kata Ayu dicoret. Kakek menulis ulang. “Bungsuku sedang bermain.” Saya kemudian memikirkan coretan itu, mengumpulkan lagi kenangan masa lalu, dan berhasil mengingat serta merasakan lagi betapa sayangnya kakek pada saya dibandingkan cucunya yang lain. Itu karena orang tua menitipkan saya pada kakek sejak saya masih bayi. Jadi, saya memang lebih seperti “anak bungsu” kakek dibandingkan cucu kakek.

Jejak. Saya mulai memikirkan konsep jejak yang diwariskan filsuf Prancis, Derrida, untuk menjelajah sudut pandang yang lain, pemaknaan kehilangan dengan cara yang berbeda. Saya tepikan dulu gaya hidup yang sungguh instan dan dangkal. Salah satunya akibat terlalu akrab dengan fasilitas delete di ponsel dan laptop kesayangan. Tanpa saya sadari, keakraban itu membuat saya menjadi sering kesulitan berpikir selain menerima apapun tanpa sikap kritis.

Saya tidak hendak mengatakan fasilitas delete di laptop tak berguna, justru sebaliknya. Hidup saya jauh lebih ringan dengan tombol itu. Saya kini tak perlu lagi mencoret-coret tulisan saya di kertas seperti saat saya remaja dulu. Sebaliknya, tinggal menekan tombol delete ketika ada kesalahan, maka kesalahan yang saya buat akan langsung lenyap untuk selamanya.

Jadi, jangankan berpikir tentang bagaimana kesalahan itu terjadi, merenung, menyesali, lalu lebih berhati-hati ketika menulis, sebaliknya, untuk mengingat kesalahan apa yang telah saya buat, terasa begitu sulit. Saya tak mampu mengingatnya dan memang saya tak pernah mau repot-repot mengingatnya.

Saat saya tak mampu mengingat kesalahan saya, maka proses merenung, menyesali, dan lebih berhati-hati, jelas tidak pernah lagi saya lakukan. Parahnya lagi, ketika proses-proses itu menghilang dari cara hidup saya, saya pikir kesalahan penulisan itu justru jauh lebih banyak dibandingkan saat saya masih menulis dengan pena dan selembar kertas HVS. Saya menjadi kian ceroboh.

Yang saya tahu sekarang ini, ratusan tulisan yang saya hasilkan adalah tulisan yang baik-baik saja. Tulisan yang bersih dari coretan, sangat rapi ketika dicetak maupun ketika diunggah di website sehingga saya merasa tak perlu lagi mengingat-ingat berapa kali tombol delete sudah saya tekan selama prosesnya.

Dalam kondisi hening yang kian minim, saya baru menyadari bahwa perilaku saya sekarang ini jauh lebih mirip dengan mesin ketimbang manusia, makhluk instan, pragmatis, dan abai introspeksi. Saya adalah manusia yang lebih suka memikirkan masa sekarang, mencemaskan masa depan secara berlebihan, serta cenderung berpikir sangat simpel melalui mekanisme oposisi biner.

Saya kerap membuat keputusan dan penilaian tentang identitas secara tunggal, yang salah dan benar, tanpa perlu memikirkan bahwa kedua oposisi itu mengandung unsur dari masing-masing lawannya. Selama ini saya tak pernah berpikir bahwa ketidakhadiran tulisan saya yang salah, yang saya hilangkan secara paksa itu, adalah bagian dari tulisan saya yang benar. Keduanya sama-sama penting!

Salah dan Benar Sama Pentingnya

Kenapa saya tak pernah berpikir secara serius bahwa dalam hal yang benar bukan berarti unsur yang benar adalah 100% dan dalam hal yang salah, unsur yang salah juga bukan 100%. Saya kini mulai memahami ucapan Shin do Hyun dan Yoon Na Ru saat mereka menerjemahkan ucapan dari biksu Kerajaan Shilla yang terkenal, Wonhyo. Wonhyo mengatakan sebuah hal bisa saja benar, namun selanjutnya bisa juga menjadi salah.

Hanya dalam keheningan kita bisa berpikir secara seimbang, memandang benar dan salah sama-sama penting dan karenanya sama-sama perlu dipahami. Tak seharusnya kita berpikir pragmatis, mendengar dan mengakui yang benar saja.

Keheningan memaksa kita berpikir dalam tiga dimensi, bahwa dalam sebuah kejadian yang katakanlah dinilai orang-orang salah, ada 70% yang bisa jadi memang salah, namun ada juga kebenarannya sebesar 30%. Tingkat ketidaksetujuan kita pada kesalahan itu sebesar 80%, namun dalam kesalahan tersebut masih menyisakan 20% unsur yang layak kita simak atau kita pahami.

Gaya hidup yang serbainstan saat ini membuat saya cenderung memahami sebuah kebenaran tanpa mau repot-repot memahami sebuah kesalahan. Akhirnya saya kerap terjebak dalam penilaian dua dimensi, benar versus salah. Tak mau serius berpikir bahwa dalam kasus meninggalnya orang-orang yang saya cintai itu, ketidakhadiran mereka bukan berarti ketidakadaan. Sebaliknya, harusnya saya sadar bahwa ketidakhadiran tersebut sejatinya bukti tanda hadirnya ketidakhadiran.

Saya adalah bagian dari kakek, nenek, dan ibu. Jadi kenapa saya dengan mudahnya menganggap mereka hilang, sudah tidak ada, sementara kami sejatinya selalu bertalian? Kenapa saya hanya mengandalkan pancaindra saya, terutama mata, yang sekarang ini lebih banyak terekspos pada layar ponsel dan laptop- di Instagram dan di Pinterest?



Obrolan cukup lama dengan ibu di samping rumah abadinya membuat saya akhirnya mampu melihat koneksi itu lagi. Betapa saya kerap menganggap dia tak ada padahal selalu ada. Kini, saya menyadari sekali lagi bahwa sejatinya saya tidak pernah kehilangan ibu.

Jadi apakah kehadiran dan ketidakhadiran bisa hadir dalam satu waktu? Walau menurut Aristoteles tidak bisa, namun saya lebih setuju pada pendapat Derrida bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Saya memilih tidak terjebak dalam logika identitas Aristoteles, bahwa sesuatu adalah sesuatu itu sendiri; sesuatu tidak bisa serentak menjadi ada dan tiada, dan antara ada dan tidak ada tidak boleh ada apapun. Dekonstruksi Derrida maupun penilaian tiga dimensi Wonhyo membantu saya memahami bahwa semesta ini sangatlah kompleks, tidak bisa tunggal, dan tak bisa logosentris.

Kakek, nenek, ibu, dan orang-orang yang saya cintai tidak pernah hilang. Mereka adalah sesuatu di antara ada dan tidak ada, yang senantiasa terhubung dengan saya. Jejak-jejak mereka adalah saya. Saat saya merasa mereka hilang, itu karena sayalah yang sedang menjauh dari mereka, sayalah yang tak hening merasakan mereka. Hanya dalam hening saya baru bisa merasakan kesadaran bahwa ibu selalu ada dalam ketidakadaannya.

Di permakaman yang sepi, saat hanya ada saya sendiri, kata-kata penyair Rumthe yang terbawa angin menyapa kesadaran saya. “Saat ibu pergi, pelukannya yang dulu hanya selebar pintu rumah kini menjadi seluas semesta, begitu tak terjangkau di pikiran manusia.” Ibu kini memang tidak tinggal di rumah, di kampung halaman. Namun, ibu ada di mana-mana. Air mata saya basah. Bukankah memang tidak semua hal bisa direpresentasikan dan dikomunikasikan dalam bahasa?

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya