SOLOPOS.COM - Ilustrasi Ramadan. (Istimewa)

Solopos.com--Ibnu Rusyd (1126-1198) dalam kitab Faslul Maqâl mengkritik teologi Asy’ariyah tentang kebebasan akal yang dikekang. Dia mengusulkan agar sains dan filsafat diberi kebebasan.

Mudhofir Abdullah
Mudhofir Abdullah

Ibnu Rusyd atau Averroes, yang karya-karyanya dipakai di universitas-universitas Eropa selama berabad-abad, dianggap sebagai pelopor sekularisme modern. Karya-karyanya dianggap membangkitkan intelektualitas Eropa sejak kejatuhan emperium Romawi.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Ernest Renan (1823-1892), filsuf terkemuka Prancis, sangat mengagumi Ihnu Rusyd. Ibnu Ruysd, tentu saja, tidak sendirian. Tokoh-tokoh lain yang karya-karya mereka berdasar riset dan eksperimen sangat banyak. Ada Ibnu Shina (Avicena), Alkindi, Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.

Pada abad pertengahan, kejayaan Islam sangat diakui, tetapi pada saat yang sama banyak penentang. Ulama-saintis ini, misalnya, dianggap sesat oleh Imam Al Ghazali seperti tercatat dalam Tahafut al Falasifah (Kekacauan Para Filsuf).

Ibnu Rusyd membantahnya dengan karya Tahafutut Tahafut (Kekeliruan Karya Tahafut). Polemik dua intelektual beda pendekatan ini menggambarkan perseteruan dua kubu yang dalam bentuk berbeda terus berlangsung hingga hari ini.

Era Tanpa Batas

Kehidupan modern yang tanpa batas menjadi dunia yang sangat lain dilihat dari ukuran-ukuran doktrinal. Sejak sekularisme modern memisahkan wilayah agama dan wilayah duniawi, peradaban modern berkembang dengan pesat.

Belenggu doktrin tak lagi menghalangi temuan demi temuan, tapi di dunia muslim keadaannya berbeda. Sekularisasi ditentang di mana-mana dan terus berlanjut tanpa ujung. Sekularisasi yang menyertai modernisme sering dimaknai sebagai kolonialisme budaya, sosial, ekonomi, maupun politik dengan penuh curiga.

Dari sinilah hambatan-hambatan pendidikan, pembangunan, dan transformasi sosial budaya di dunia muslim terjadi secara masif. Kesiapan dan kesigapan dunia muslim tidak terlatih atas kejutan, kecepatan, dan perpindahan mendadak dunia modern ini akibat revolusi demi revolusi di bidang sains dan teknologi.

Sementara dunia terus berlari, elite-elite politik muslim terpecah-pecah dan lalai mengurus peta jalan peradaban. Di berbagai belahan dunia, umat Islam mengalami kesulitan untuk menemukan jalan keluar.

Menanggapi situasi ini, Malek Bennabi (1905-1973), intelektual muslim asal Aljazairm menyebut dalam Islam in History and Society bahwa dunia Islam sedang mengalami kebangkrutan peradaban dan telah tiba pada fase pascaperadaban.

Dalam fase ini, masyarakat muslim terperangkap pada stagnasi sambil berkata,”Kami muslim, karenanya kami sempurna.” Doktrin ”Islam telah sempurna” ini, menurut Bennabi, melemahkan upaya-upaya muslim dalam merespons tantangan demi tantangan.

Teori challenges and response sebagaimana didalilkan Arnold Toynbe menyatakan makin keras tantangan, maka makin keras pula tanggapan yang harus diberikan.

Jatuh bangunnya peradaban pada masa lalu dan masa depan ditentukan oleh tanggapan-tanggapan akurat yang disiapkan oleh para elite masyarakat, kualitas lembaga-lembaga pendidikan, dan kesadaran moral serta intelektual individu-individu. Dewasa ini, dunia telah memasuki era tanpa batas yang terhubung dalam telepon pintar.

Berkat Internet of things, semua yang terdigitalisasi dan terhubung oleh sensor, jaringan, dan bigdata dapat berinteraksi dengan mudahnya. Link web browser, misalnya, memungkinkan pencarian informasi, yang mengarah ke ledakan penyebaran data yang tidak terkendali. Domain luas dunia maya ini tidak hanya memalsukan "komunitas online" yang dibangun di atas minat bersama, tetapi juga memfasilitasi pertukaran informasi yang belum pernah ada sebelumnya.

Revitalisasi Peradaban

Tentu saja kemajuan digital ini menjungkirbalikkan definisi-definisi tradisional tentang batas. Era ini menuntut respons-respons yang tepat dan merupakan tantangan sekaligus peluang tersendiri. Menghadapi era digital dan tanpa batas ini, pilihannya bukanlah kembali ke doktrin secara tunggal.

Pilihannya adalah pada berbagai pembangunan suprastruktur-infrastruktur modern yang dibutuhkan untuk revitalisasi peradaban. Hal ini dilakukan karena secara faktual era digital telah melahirkan umat digital dan lembaga-lembaga keagamaan digital dengan tantangan tersendiri.

Munculnya radikalisme di kalangan anak muda muslim, tak jarang, lahir dari komunikasi digital, pelajaran digital, dan indoktrinasi secara digital. Perlu literasi digital di kalangan generasi muda muslim sehingga mereka tetap kritis, selektif, dan memanfaatkan informasi-informasi digital untuk peningkatan kualitas hidup mereka serta memperluas jaringan global untuk tujuan-tujuan kerja sama yang positif-konstruktif.

Tantangan era digital dan tanpa batas ini, sesungguhnya, bukan saja menjadi tantangan bagi dunia Islam, tetapi juga menjadi tantangan bagi agama-agama, lingkungan hidup, dan masa depan kemanusiaan. Semua orang beragama, termasuk umat Islam, harus melakukan respons yang tepat.

Jika tidak, kita akan terdisrupsi oleh perubahan-perubahan yang cepat tersebut. Kaum muslim diajarkan untuk selalu optimistis dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.

Ayat Al-Qur’an Surat Al-Insyirah menyatakan yang artinya, “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS Al-Insyirah: 6). Namun demikian, ayat ini tidak mengandung arti bahwa kita bersikap menunggu dan pasrah. Syarat-syarat untuk berhasil tetap harus dipenuhi sesuai sunatullah.

Mudhofir Abdullah
Guru Besar Pengkajian Islam
Rektor IAIN Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya