SOLOPOS.COM - Ilustrasi Ramadan (Freepik)

Solopos.com--Pribadi yang tangguh lahir dan dilahirkan. Ia lahir karena kehidupan yang dijalani menempa menjadi tangguh. Kesulitan-kesulitan membimbingnya menghadapi masalah demi masalah.

Dian Nafi’

Contoh abadi pribadi yang tangguh adalah para nabi dan rasul. Kita bisa menempa anak-anak kita menjadi pribadi yang tangguh. Cara pokoknya adalah jangan memanjakan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tempaan diskenario bertahap dan berjenjang. Jangan lupa segi akhlak mulia. Dengan cara itu anak-anak kita “dilahirkan” sebagai pribadi yang tangguh.

Aneka kesulitan dihadapi oleh manusia terpilih, sebelum pada akhirnya menjadi nabi, rasul, pemimpin, imam, tokoh, atau pribadi yang diandalkan. Dengan menghadapi kesulitan demi kesulitan itubanyak talenta dikenali dan terasah.

Ekspedisi Mudik 2024

Butuh Proses

Butuh proses. Tidak ada yang tiba-tiba dalam kehidupan manusiawi. Semua butuh proses. Juga yang berkaitan dengan penempaan untuk melahirkan pribadi yang tangguh ini. Puasa yang kita jalani sebulan pada Ramadan juga memiliki hikmah untuk menguatkan ketangguhan kita.

Pertama, tangguh karena dapat menghadapi tantangan biologis seperti lapar, haus, dan kebutuhan manusiawi lainnya. Kedua, tangguh secara sosial karena dengan berpuasa kita melatih solidaritas kepada sesama.

Ketiga, ketangguhan spiritual karena di dalam kondisi dan situasi yang pasang surut, bahkan sangat terbatas pun, kita tetap menjadi manusia yang beriman, menjalankan tuntunan agama, dan menjauhi semua larangan-Nya.

Keempat, secara eksistensial kita semakin dewasa, semakin sadar akan kewajiban dan hak kita sebagai pelaku kehidupan. Ketangguhan pribadi manusia ternyata dinamis adanya. Ada semacam siklus.

Saat di dalam kandungan sampai masa kanak-kanak kita lemah. Berangsur-angsur kita menjadi kuat. Jasad, akal, kalbu, roh, dan nafsu kita diperkuat oleh Sang Khalik.

Kita jadi semakin tahu diri dan dapat mencari solusi, dapat menjadi pelaku kehidupan yang wajar, memiliki karier, pengaruh, dan dapat hidup mapan. Perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia, kita surut, tanda-tanda ketuaan menyertai kita, hingga kita kembali menjadi lemah.

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa” (QS A-Rum [30]: 54).

Karena masa ketangguhan manusia itu terbatas, maka di situlah pentingnya bersiap-siap agar kita tetap terjaga baik sampai pada hari tua. Caranya? Perbanyak kebaikan di tingkat keluarga, di antara karib kerabat, masyarakat, dan bersyukur di lingkup bangsa kita.

Perihal investasi juga menjadi penting diperhatikan. Kebiasaan hidup boros harus disetop sejak dini. Perilaku hidup bersih dan sehat juga menjadi keniscayaan. Menjaga harta tetap produktif merupakan cara hidup yang bijaksana.

Bergabung ke dalam komunitas yang positif sudah tentu menjadi kebutuhan pokok kita. Imam Ghazali memiliki cara ringkas yang jitu. Itu diabadikan di dalam kitab Kimia Kebahagiaan atau Kimiya-is-Sa’adah. Kita mudah menirunya.

Menjaga Diri

Pribadi yang tangguh adalah pribadi yang menjaga diri di dalam jalur kebahagiaan. Untuk itu ada empat rambu-rambu yang setiap saat perlu kita ingat.

Pertama, siapakah kita? Kita bisa menjawab dengan apapun status diri kita, dan setiap jawaban akan melahirkan urusan. Silakan dijawab dan selesaikan urusan yang muncul dari jawaban kita.

Misal, kita menjawab “saya adalah guru”, maka akan ada urusan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi guru yang harus kita selesaikan setiap hari. Saya adalah suami, saya adalah anak, saya adalah sahabat, saya adalah pemimpin, saya adalah anggota tim kerja, saya adalah rakyat, saya adalah orang beriman, dan sebagainya. Semua memiliki konsekuensi.

Jika ada orang yang memilih serba mudah di dalam hidup ini dengan menjawab “saya adalah diri saya”, bisa saja. Hanya konsekuensi akhirnya, mungkin ia tidak akan diperhitungkan karena semakin lama semakin sulit ditempatkan di dalam status dan peranan tertentu.

Kedua, dari manakah kita? Kita bisa juga menjawab dengan aneka kalimat. Dan setiap jawaban akan memunculkan urusan yang harus ditanggung. Pertanyaan ini, kata Imam Ghazali, sejatinya membimbing kita untuk menyadari bahwa kita adalah makhluk ciptaan yang niscaya harus mengenal Sang Pencipta untuk menjadi berbahagia.

Ketiga, sedang dimanakah kita? Di dunia, itu betul. Di Indonesia, juga betul. Di rumah, itu betul juga. Pertanyaan ini menyadarkan kita untuk tetap berperilaku dan berperanan yang baik dimanapun kita berada agar berguna, dihargai, tidak merepotkan, layak diberi tugas, dan patut untuk memiliki kedudukan tertentu dalam kehidupan.

Keempat, akan kemanakah kita? Sama, inipun boleh dijawab bermacam-macam, namun yang akan membuat kita bahagia adalah kita akan menuju ke Hari Akhir, tempat kitamempertanggungjawabkan segala yang ada pada kita. Tanpa kesadaran ini akan rapuh pribadi seseorang.

K.H. M. Dian Nafi’
Pengasuh Pesantren Mahasiswa
Al-Mu’ayyah di Windan, Makamhaji,
Kartasura, Sukoharjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya