SOLOPOS.COM - Ilustrasi Ramadan. (Istimewa)

Solopos.com--Manusia pernah hidup dalam masa eksperimentasi yang bermacam-macam dari para tiran. Mereka meraba-raba cara dan prosedur untuk menjangkau kemakmuran. Untuk itu dikembangkanlah sejumlah paham atau isme yang diharapkan mampu memandu mereka mencapai kesejahteraan itu.

Dian Nafi’

Sejarah mencatat ada beragam paham dan isme. Ada yang berangkat dari kesadaran rasional manusia. Ada pula yang berdasarkan sentimen primordial tertentu. Sebagian memberikan keberhasilan yang sederhana dan banyak yang berakhir dengan pertikaian dan kesengsaraan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pemikiran tentang kesejahteraan itu menjadi perhatian para pemikir dan cerdik pandai sejak zaman dahulu sampai dewasa ini. Pokok persoalannya bisa ditunjuk pada perihal aneka kebutuhan manusia dan cara-cara untuk memenuhi.

Kebutuhan manusia itu bermacam-macam. Sebagian dapat dipenuhi oleh usaha manusia itu sendiri. sebagian yang lain tidak bisa dijangkau manusia meskipun sudah berusaha karena hal yang dibutuhkan itu berada di luar jangkauan.

Sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia juga ada yang berada di dalam kendali manusia sendiri, misalnya adalah kebutuhan beras bagi petani. Petani dapat bercocok tanam padi dan menyimpan hasil panen.

Banyak sumber daya yang dibutuhkan oleh manusia yang berada di luar kendali mereka, misalnya udara yang bersih dan sinar ultraviolet, yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia di suatu kota, karena akan dipengaruhi oleh kota-kota bahkan negara-negara lainnya.

Termasuk yang dapat diusahakan oleh manusia misalnya adalah perihal makan, minum, berkawan, memilih rumah, dan sebagainya. Itupun terbatas saja adanya, karena tetap saja manusia tidak bisa mengendalikan keseluruhannya.

Misalnya adalah menghidupkan benih, menjaga kesehatan tanaman 24 jam sehari, dan sebagainya. Apalagi, jika kebutuhan itu sudah berkaitan dengan kebenaran, kebahagiaan, dan keselamatan maka manusia membutuhkan lebih dari sekadar sandaran duniawi belaka.

Dari membaca kitab Mausu’ah al Fiqh al Islami, juz terakhir dari lima juz karya Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, kita memahami adanya tingkat-tingkat kemakhlukan manusia.

Pertama, makhluk hayati sebagaimana pepohonan dan tumbuhan yang membutuhkan pangan, lingkungan yang mendukung, tempat tinggal, dan rasa aman. Kedua, makhluk bernaluri seperti halnya binatang yang membutuhkan itu semua ditambah dengan kebutuhan seksual, penguasaan teritori, dan dominasi.

Ketiga, makhluk berakal yang membutuhkan semua hal tersebut di atas ditambah dengan ilmu pengetahuan, petunjuk untuk memahami dunia dan isinya, dan cara hidup yang terlembaga untuk menjaga keteraturan.

Keempat, makhluk rohani yang membutuhkan kesemuanya itu dan masih ditambah lagi dengan ihwal kebenaran, kebahagiaan, dan keselamatan sampai di kehidupan setelah kehidupan duniawi ini.

Dalam kelengkapan lapis-lapis kemakhlukan itulah manusia menjadi lebih bernilai sebagai pelaku kehidupan. Dan karena itulah semakin berbahagia. Kecemasan dapat ditekan sampai ke tingkat yang minimal.

Al-Qur’an memuat petunjuk bagi manusia untuk menjalani hidup sebagai makhluk hayati yang bernaluri, berakal, dan juga makhluk rohani. Sebagai makhluk hayati manusia dibimbing untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib (baik).

Sebagai makhluk bernaluri manusia diarahkan untuk menghindari semua bentuk kerusakan. Manusia juga dimampukan untuk memilih cara-cara membawakan diri secara wajar agar tidak menjadi musuh bersama bagi makhluk-makhluk Allah yang lain yang juga hidup di bumi-Nya ini.

Sebagai makhluk berakal manusia mendapatkan anugerah untuk membangun peradaban yang baik. Peradaban yang baik itu adalah ruang hidup bersama yang menjamin keamanan dan kesejahteraan yang dapat diperbaiki dengan partisipasi kreatif warganya.

Sebagai makhluk rohani dibimbing lebih jauh lagi untuk menggali potensi-potensi keluhuran dirinya agar dapat mencapai derajat sebagai manusia yang beriman. Dengan bekal iman itu manusia dapat berperilaku sesuai dengan tuntunan ilahi, mereguk kenikmatan spiritual, dan mengembangkan kebajikan untuk meratakan kasih sayang-Nya bagi kehidupan bersama.

Tanpa petunjuk wahyu manusia akan hidup di dalam eksperimentasi yang spekulatif. Cara-cara hidup yang bersifat coba-coba itu sudah terbukti membawa kesengsaraan jutaan manusia sejak masa kuno, misalnya era Namrudz dan Fir’aun; hingga era modern dengan kemunculan rezim Nazi dan Khmer Merah.

Jutaan manusia mati sia-sia karena ketiadaan petunjuk ilahi yang diyakini dan dijadikan rujukan nilai-nilai luhur. Kiranya manusia modern sekarang haruslah belajar untuk lebih rendah hati.

Keberanian manusia modern untuk hidup bersama risiko tiba waktunya untuk diimbangi dengan cara hidup yang lebih beradab dan lebih bertanggung jawab. Otonomi pribadi yang diagung-agungkan oleh manusia modern perlu diendapkan menjadi bentuk tanggung jawab pribadi yang semakin besar untuk menyumbang kebaikan dalam kehidupan bersama hamba-hamba Allah SWT.

Momentum untuk itu kita peroleh salah satunya melalui Nuzulul Qur’an atau turunnya Al-Qur’an. Turunnya Al-Qur’an itu merupakan peristiwa besar dalam sejarah manusia. Justru semakin modern manusia, maka semakin membutuhkan petunjuk-petunjuk berdasarkan wahyu Allah SWT.

K.H. M. Dian Nafi’
Pengasuh Pesantren Mahasiswa
Al-Muayyad di Windan, Makamhaji,
Kartasura, Sukoharjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya