SOLOPOS.COM - Ilustrasi Ramadan. (Istimewa)

Solopos.com--Motivasi beribadah itu berjenjang dan terbangun melalui pembiasaan sepanjang hayat. Penghayatan kepada ibadah juga bertingkat; bermula dari mencari keuntungan sesaat, atau terpaksa karena serba takut, sampai akhirnya dapat mencapai kecintaan agung yang sulit untuk digambarkan.

Dian Nafi’

Adalah Ibnu Sina yang sering dikutip untuk topik ini. Filsuf ini membagi motivasi beribadah dalam tiga jenjang. Pertama, motivasi pedagang. Seseorang beribadah karena didorong mendapat keuntungan tertentu.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Pedagang kagum kepada Allah dan juga sekaligus penuh harap kepada balasan-Nya. Kisah-kisah orang yang beruntung yang dituturkan oleh para guru dan orang tua diterima sebagai pendorong dalam diri agar dapat meniru jalan peruntungan itu.

Ia menyeru sesamanya untuk beribadah juga dengan iming-iming keuntungan itu. Tidak salah memang asalkan ia dapat menjaga keikhlasan. Ikhlas berarti tidak menganggap ibadah sebagai semacam investasi.

Jika ibadah dianggap sebagai investasi, akan terbayang semakin banyak modal yang disertakan akan semakin banyak pula kembalian yang diterima. Tahap demi tahap periode beribadah di dalam kurun hidup tergambar laksana siklus perniagaan.

Kreativitas

Itu bermula dari tahap memulai berniaga, merawat, dan akhirnya memetik hasil yang didapat dirasakan. Sayang sekali jika orang semacam ini sampai usia 40 tahun masih menyamakan pahala dan berkah sebagai akumulasi keuntungan duniawi yang ia bayangkan terus-menerus bertambah.

Mengapa dikaitkan dengan usia 40 tahun? Karena pada usia itu seharusnya orang dapat mengendapkan hasrat duniawi di dalam menjalankan tuntunan agama. Penegasannya ada dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahqaf [46]: 15.

Orang baik pada usia itu memohon,"Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."

Kedua, kelas budak. Orang dari jenis ini berbuat sesuatu karena didorong rasa takut. Ia rajin karena takut, jika tidak demikian akan mendapatkan hukuman. Banyak hal dilakukan karena didorong oleh keterpaksaan.

Kreativitas sulit diharapkan berkembang dari orang semacam ini. Jika ia mengajak orang lain beribadah juga dengan cara menakut-nakuti. Kepatuhannya seperti proses mekanis. Agama terasa kurang teduh dan menyejukkan.

Jika dibiarkan bisa-bisa berkembang menjadi berlebihan-lebihan dalam beragama atau ghuluw karena dari waktu ke waktu ketakutan semakin menebal dalam sanubarinya. Di kawasan Mina, saat di dekat Jumrah Aqabah pagi hari, Nabi Muhammad SAW memperingatkan hal itu.

Saat itu beliau masih dalam posisi duduk di pelana unta tunggangan beliau dan bersabda,”Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam beragama karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadi celaka karena berlebih-lebihan di dalam beragama” (HR Imam Bukhari dari Ibnu Abbas RA).

Anugerah Indah

Dorongan rasa takut yang tidak diendapkan bisa berubah menjadi motivasi berlebih-lebihan dalam beragama. Hal itu perlu dicermati sejak awal. Takut dalam kerangka takwa itu bagus. Jangan sampai menjadi ghuluw.

Ketiga, kelas muhibbin, yaitu orang-orang yang mencintai Allah dan memandang kehidupan dengan penuh kecintaan. Orang seperti ini terbiasa berpikir positif. Di dalam benaknya tak ada yang sia-sia dari ciptaan Allah SWT.

Hidupnya ceria. Pikirannya terbuka kepada kebaikan. Senang dengan kreativitas. Memandang sesama manusia sebagai saudara setara yang sama-sama menempuh perjalanan menuju kepada rida-Nya.

Orang seperti ini bertegur sapa dengan saudara, tetangga, kawan, dan warga masyarakat dengan tenang. Ada kewaspadaan, juga ada kepedulian. Ada saatnya menjaga haknya, juga ada saatnya berbagi.

Bagi orang ini, hidup bersama merupakan anugerah yang indah. Ia bisa belajar dari beragam orang, memperluas pengetahuan, mengasah keterampilan, dan menambah kekayaan batin.

Bagi orang di jenjang ketiga ini ibadah sungguh terasa sebagai kenikmatan luar biasa. Saat membaca Al-Qur’an ia rasakan itulah cara yang dimungkinkan baginya untuk berkomunikasi dengan Sang Khalik.

Saat menjalani ibadah puasa, ia rasakan betul Allah SWT tidak membutuhkan makan, minum, dan selera-selera duniawi; puasa terasa indah karena ia boleh meningkatkan sinyal-sinyal spiritualnya.

Pada saat salat ia menikmati, itulah kesempatan yang anggun, yang seorang hamba boleh berbisik-bisik kepada Sang Mahakekasih. Rakaat demi rakaat dinikmati dengan bacaan Al-Qur’an dan zikir salat yang terjaga irama dan tata aturannya.

Saat ia membaca ayat-ayat tentang siksa neraka, terbayang di situlah keadilan-Nya. Ia memohon perlindungan darinya. Jika ia menemukan ayat-ayat tentang pahala surga dengan kenikmatan yang tak terkira, itulah rahmat-Nya. Ia memohon dimasukkan ke dalamnya dengan penuh keridaan.

Kehidupan orang ini jadi teratur. Napas bersyukur memenuhi hari-harinya. Dan sebagaimana Allah SWT menciptakan segala sesuatu tidak ada yang sia-sia, maka ia berbuat juga berhati-hati agar karyanya benar, baik, dan berguna. Jiwanya tenang bersama kebaikan.

”Hai jiwa yang tenang; kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya, maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku” (QS Al-Fajr [89]: 27-30).

K.H. M. Dian Nafi’
Pengajar di Pondok Pesantren
Mahasiswa Al-Muayyad di Windan,
Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya