Hikmah-ramadhan
Jumat, 15 Mei 2020 - 16:05 WIB

Hikmah Ramadan: Berkata Baik atau Diam

Redaksi Solopos  /  Ivan Indrakesuma  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Ramadan. (Istimewa)

Solopos.com--Menjelang Ramadan lalu media sosial dihebohkan dengan beredarnya ”hadis” yang menyeramkan. Kabar tersebut pada intinya menjelaska tentang akan terjadinya suara yang dahsyat pada Jumat pertengahan Ramadan, lalu terjadi huru-hara dan pembuhuan.

Muhsin Al-Jufri

Para ustaz cukup banyak yang menanggapi, bahkan mungkin karena ”meresahkan” Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut memberi penjelasan. Wajar umat heboh dan khawatir karena kabar tersebut menyandarkan kutipan pada sabda Nabi Muhammad SAW.

Advertisement

Dalam kabar tersebut disebutkan suara keras yang terjadi di pertengahan bulan Ramadan, pada malam Jumat. Suara dahsyat itu mengagetkan orang-orang yang sedang tertidur, orang yang berdiri terjatuh, para perempuan terempas keluar dari kamarnya. Pada malam Jumat tahun tersebut banyak terjadi gempa bumi. Setelah semua itu, akan terjadi huru-hara, pembunuhan, dan akhirnya kiamat.

Lepas dari masalah keabsahan hadis tersebut, yang pasti malam Jumat pertengahan Ramadan telah terlewati dan tidak terjadi apa pun. Kasus ini hanya satu contoh tentang sangat mudahnya sebuah informasi menyebar di kalangan umat.

Advertisement

Lepas dari masalah keabsahan hadis tersebut, yang pasti malam Jumat pertengahan Ramadan telah terlewati dan tidak terjadi apa pun. Kasus ini hanya satu contoh tentang sangat mudahnya sebuah informasi menyebar di kalangan umat.

Dari satu orang  dalam hitungan menit dapat menyebar ke ribuan orang, bahkan puluhan ribu orang. Bila yang diinformasikan sesuatu yang benar, sudah sepantasnya penyebar berita berpikir tentang plus dan minusnya informasi yang disampaikan.

Menghindari Kerugian

Bila belum tentu benar, apalagi tidak benar, tidak disangsikan lagi bahwa ia telah berbuat dusta yang dilarang agama, apalagi menyangkut nama Nabi Muhammad SAW. Imam Syafii dalam masalah berbicara, termasuk juga menyampaikan berita, berkata, “Bila seseorang akan berbicara, ia harus berpikir terlebih dahulu. Bila jelas tidak akan membawa mudharat (kerugian), maka bicaralah. Tetapi, bila jelas akan membawa mudharat, atau ia ragu tentang bahayanya, maka diamlah.”

Advertisement

Bila seseorang dalam menyampaikan informasi berpedoman dengan nasihat Imam Syafii ini saja niscaya sudah cukup, tetapi yang sangat sulit dan tidak ada penyelesaiannya adalah seseorang yang menyampaikan berita yang tidak benar, tidak bermanfaat, lebih banyak negatif ketimbang positifnya, namun ia beranggapan hal tersebut benar, perlu disebarluaskan, bahkan mungkin juga menganggap sebagai suatu amal.

Yang demikian inilah yang konon membuat para ilmuwan ”putus asa” karena sampai sekarang belum ditemukan obat atau serum yang mampu menjadikan orang pandir menjadi pandai. Al-Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk mengajarkan kepada kita untuk kritis terhadap suatu berita yang datang.

Sedang untuk meyakinkan, seseorang diperintahkan untuk memeriksa dengan teliti, mengklarifikasi (QS Al-Hujuraat: 6). Bila tidak dapat memastikan kebenarannya, Al-Qur’an melarang seseorang menyampaikan kepada yang lain apalagi menyebarkannya.
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabannya” (QS Al-Isra’: 36).

Advertisement

Selain itu, dalam Al-Qur’an juga menjelaskan tentang larangan untuk mengolok-olok, memanggil dengan julukan yang jelek, berprasangka buruk, mencari kesalahan orang lain, dan menggunjing (QS 49: 11-12). Larangan ini tentu saja tidak sebatas yang keluar dari lisan, tetapi termasuk dalam bentuk tulisan.

Sebagai muslim, wajib bagi kita untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, termasuk dalam bertutur kata dan menyebarkan informasi. Bila melanggar pasti akan menimbulkan kerugian bagi pelakunya dan tercatat sebagai dosa.

Cukuplah bukti iman seorang muslim, seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW,“Siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” Walaupun tidak mudah untuk  dilaksanakan, kita harus berusaha untuk melaksanakan.

Advertisement

Ustaz Muhsin Al-Jufri
Mubalig dan salah seorang
pemrakarsa Forum Silaturahmi
Minggu Legi (Fosmil) di Solo

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif