SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Wah, Mbak Husna ini baik sekali ya… jarang hlo ada tetangga sebaik dia,” ucap ibu-ibu anggota pengajian ketika sore itu mereka berkumpul dalam acara pengajian di rumahku. Aku hanya menoleh sekilas.

Lalu kembali sibuk dengan barang-barang yang ada di tanganku. Memberikannya kepada para ibu yang mengantre di depan pintu. Mulutku komat-kamit memuji nama-Nya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Suara azan Magrib berkumandang. Segera kuambil air wudu. Membasuh wajahku untuk menghadap Sang Khalik. Tidak lama kemudian aku kembali sibuk di haribaan-Nya.

 

***

 

Ekspedisi Mudik 2024

Di rumah kulihat mobil suamiku diparkir di garasi. Kenapa jam segini dia sudah pulang? Batinku bertanya. Aku menuju ke pintu belakang. Aku tak ingin suamiku tahu aku baru saja menangis.

Deg… kulihat suamiku sedang asyik memberi makan kucing kami. “Dik Husna. Dari mana saja?” Mas Fajar menghampiriku.

“Kau… menangis. Kenapa? Apa yang membuatmu menangis, Dik?”

Aku segera menghambur ke pelukan Mas Fajar dengan air mata bercucuran.

“Aku… aku bukan wanita yang sempurna bagimu. Aku tak layak menjadi istrimu. Kamu begitu sempurna, sedangkan aku penuh kepalsuan dan hinaan.”

“Ssstt….” telunjuk Mas Fajar segera mendarat di bibirku.

“Tak baik mengucapkan itu. Aku hanya manusia biasa sepertimu Dik Husna. Sebelum menikah aku sudah bilang kepadamu, semua kekuranganmu dan kelebihanmu akan kuterima dengan lapang dada. Seorang lelaki itu harus bisa dipegang kata-katanya. Ayo masuk. Tenangkan pikiranmu,” Mas Fajar segera menuntunku masuk ke dalam.

 

***

Assalamu’alaikum,” ucapku sambil mengetuk pintu rumah tetanggaku itu. Tak terdengar suara dari dalam rumah. Kuulangi sekali lagi. Tiba-tiba pintu terbuka.

Seorang lelaki berumur sekitar 35 tahun muncul di hadapanku. Berkaus singlet, dengan memakai celana kolor pendek berwarna coklat tua. Aku tersentak. Dia pun juga.

“Kau…,” ucapku perlahan. Kakiku mundur beberapa langkah.

“Husna…” ucap lelaki itu dengan mulut hampir membentuk huruf O.

Sekantong buah mangga yang berada di genggamanku terjatuh tanpa aku sadari. Tanpa pikir panjang aku segera ambil langkah seribu. Menghindar dari tatapan lelaki itu secepatnya.

Aku berhenti sejenak ketika tiba di teras rumah. Nafasku ngos-ngosan. Tak percaya dengan apa yang kulihat barusan. Setelah merasa agak lebih baik aku segera masuk ke dalam. Mengambil air putih dan meneguknya.

Ya Allah… mimpi apa aku semalam? Kenapa aku bisa bertemu dengan lelaki itu lagi. Aku hanya ingin kembali ke jalan-Mu ya Allah. Jalan yang Engkau ridai. Bantulah hambamu ini ya Allah, doaku dalam tangis yang terisak-isak. Rupanya dialah tetangga baru yang dikatakan suamiku kemarin.

 

***

Aku berdandan secantik mungkin. Kuoleskan bedak tipis-tipis, menyisir rambutku dan yang terakhir lipstik warna merah muda singgah sejenak di bibirku. Tak berapa lama terdengar suara pintu diketuk seseorang.

“Ah itu pasti Mas Fajar,” aku segera menuju ke ruang tamu untuk membukakan pintu dengan langkah yang sumringah.

“Mas Fajar…” seketika tenggorokanku tercekat. “Kau… untuk apa kau datang ke sini?” tanyaku dengan nada menahan amarah.

“Kamu sengaja kaget atau pura-pura?” tanya lelaki yang bernama Rudi itu.

“Maksud kamu apa?” aku melangkah mundur dua langkah.

Dia tertawa terkekeh. Matanya memandang sekitar. Tak ada orang. Perasaanku tak karuan.

“Ayo sayang. Kita bersenang-senang. Mumpung suamimu belum datang. Kenangan itu begitu indah dan takkan pernah kulupakan. Dan aku ingin mengulanginya lagi…” Rudi berusaha mendekatiku dan mencoba menyentuh pipiku.

Plakk..!

Rudi kaget dengan tindakanku barusan. “Wanita jalang. Dasar tak tahu diuntung. Berani-beraninya kamu menampar bosmu sendiri…” Rudi mencengkeram erat lenganku. Aku kesakitan.



Kudengar suara deru mobil berhenti tepat di depan rumahku. Aku mencoba melongok ke depan rumah siapa yang datang. Ah Mas Fajar, syukurlah kau segera datang. Rudi segera melepaskan tangannya. Wajahnya berusaha menjadi merah padam.

Segera dia berpura-pura duduk di kursi sofa sambil berbisik kepadaku, “Ingat, jika kamu mengadu kepada suamimu, aku tak segan-segan membongkar kebusukanmu kepada orang-orang di sekitar sini. Terutama kepada suamimu. Ingat itu… bersikaplah seolah-olah tak terjadi apa-apa. Anggaplah aku tamu sore ini.”

Aku mengangguk cepat. Kuseka air mataku yang tadi sempat menetes. Kubenahi kerudungku. “Assalamu’alaikum, Mas,” kataku sambil menyalami tangan mas Fajar.

Wala’alaikum salam, Dik. Kenapa wajahmu mendadak jadi pucat begitu? Ada apa?” Mas Fajar segera masuk ke dalam rumah.

“Oh, ada tamu rupanya. Tetangga baru rupanya,” ucap Mas Fajar sambil menyalami Rudi.

“Iya, Pak. Saya ingin memperkenalkan diri kepada keluarga Bapak sekalian. Tadi Mbak Husna yang menerima saya. Ternyata keluarga yang harmonis ya, Pak. Saya iri kepada bapak,” kata Rudi dengan senyum yang dibuat-buat.

“Ah, Pak Rudi ini bisa saja. Mari silakan duduk lagi,” ucap Mas Fajar kemudian.

“Eh anu Pak, saya mau pamitan dulu. Soalnya ada hal yang perlu saya kerjakan. Lain kali saya ke sini lagi. Permisi, Pak,” Rudi segera menyalami suamiku. Aku mengurut dada lega.

 



****

 

Pagi itu, aku sedang sibuk menjemur di teras rumah. Mas Fajar sudah berangkat ke kantor dari tadi. Seseorang membuka pintu pagar, aku menoleh sekilas.

“Rudi, kenapa kamu datang lagi ke sini?” tanyaku cemas.

Dia menghampiriku, “Kemarin aku sudah berjanji pada suamimu untuk kembali lagi bukan? Dan aku menepati janjiku. Suamimu tidak ada kan? Sudah lama aku mencarimu, tapi kamu seperti menghilang dalam perut bumi. Apa kamu sudah tidak kangen lagi padaku sayang? Aku ingin kembali menikmati nostalgia itu. Kemarilah…”

“Aku sudah bersuami. Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang. Kalau tidak aku akan berteriak sekencang-kencangnya agar para tetangga tahu bahwa kamu pria biadab.”

“Oh itu yang kamu mau. Oke. Baiklah. Sekarang keputusan ada di tanganmu,” Rudi melepaskan cengkeraman tanganku.

“Kamu mau berteriak silakan. Atau aku akan membongkar kedokmu. Siapa sesungguhnya wanita yang sok alim dan sok suci ini. Pilihlah…!”

Aku terhenyak, air mataku menetes perlahan, “Lebih baik aku dikucilkan warga sini daripada harus melayani manusia bejat sepertimu. Sekarang pergi dari rumahku,” bentakku keras.



“Baiklah. Aku akan segera keluar dari rumah kotormu ini. Tapi ingat, suatu saat aku akan melihatmu menangis mengeluarkan air mata darah karena keangkuhanmu itu. Ingat…” Rudi segera keluar dengan menahan amarah. Aku bernapas lega. Semoga saja pria itu hanya mengancamku saja.

 

***

 

“Kenapa jam segini belum ada yang datang? Ini kan sudah hampir jam lima sore,” aku berjalan mondar-mandir di teras. Biasanya hari Sabtu sore aku mengadakan acara pengajian di tempat ini. Tak biasanya.

Aku segera berjalan keluar rumah. Sepi. Kulihat di kejauhan berkerumun banyak orang. Aku segera mendekat. Beberapa orang mencaci-maki dan menunjuk-nunjuk sesuatu yang tertempel di papan informasi.

“Memalukan. Ternyata selama ini orang yang kita anggap suci dan terhormat tak lebib dari anjing kurap. Bah…” seseorang meludah di hadapanku.

Aku segera mendekat, melihat sebenarnya apa yang terpasang di papan itu.

Deg…. Astaghfirullahaladzim! Benar-benar keterlaluan. “Ini pasti perbuatan…” belum sempat aku meneruskan kata-kataku para warga berteriak-teriak histeris.



“Usir saja dia. Usir dari sini…”

Tampak ibu-ibu yang seharusnya menghadiri pengajian di rumahku ini berbalik menentangku. Mereka menunjukkan kemarahan padaku.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat. Wanita yang selama ini kalian hormati dan sanjung itu tak lebih dari seorang pelacur. Memamerkan kemolekan tubuhnya kepada semua orang. Berkedok seorang muslimah sejati tapi apa nyatanya. Bah… mencoreng nama baik agama Islam. Benar tidak bapak-bapak dan ibu-ibu…?” kata Rudi yang tiba-tiba datang dengan suara penuh kemenangan.

“Betul… betul… usir saja dia… usir. Jangan sampai kampung kita lebih tercemar lagi karena dia. Usir…” suara salah seorang warga mengompori.

“Sebentar, sebentar… ada lagi yang ingin aku beritahukan kepada kalian semua. Lihat kenapa perempuan ini menikah hampir lima tahun tapi belum dikarunia anak seorang pun? Dulu, dia sering melakukan aborsi. Menggugurkan anak kandungnya. Darah dagingnya sendiri. Benar-benar tega sekali dia. Karena itu sekarang Tuhan menghukum dia mandul selama-lamanya. Kasihan suaminya. Apa bapak-bapak dan ibu-ibu ingin para anak meniru kelakuan wanita jalang ini?” Rudi melirik sambil tersenyum puas ke arahku.

“Tidak… tidak… kita usir saja dia,” beberapa warga mulai melempariku dengan segala macam benda yang ada di sekitarnya.

“Ayo kita lempari saja dia. Biar kapok…” sahut salah seorang warga.

“Ah… ah… tolong hentikan. Tolong… aduh…” sebuah batu mengenai kepalaku. Aku jatuh tersungkur.

“Tolong… tolong aku…”

Rudi datang menghampiriku, dia mengayunkan kakinya ke arah tubuhku, “Rasakan ini wanita jalang. Hiatt…”

“Hentikan. Hentikan semuanya!” teriak seseorang dari kejauhan.

Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Samar-samar kulihat bayangan suamiku.

“Kalian benar-benar manusia tak tahu diuntung. Kenapa kalian main hakim sendiri? Apa tidak ada keadilan di negara ini?” kata Mas Fajar dengan suara lantang.

Rudi angkat bicara, Pak Fajar, Bapak tahu apa yang telah dilakukan istri Bapak? Sayang sekali Bapak itu terlalu polos dan mudah mempercayai orang. Lihat foto itu? Itu foto istri Bapak, kan? Masak seorang istri ustaz tidur dengan lelaki lain. Apa itu contoh teladan? Menjijikkan!” ucap Rudi sambil menunjuk foto di papan itu.

“Benar itu foto istriku,” jawab Mas Fajar mantap, “Memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan foto itu?” Mas Fajar segera mendekati foto itu dan menyobeknya lalu dibuang ke dalam selokan.

Salah seorang warga menyahut, “Apa Bapak tidak bisa melihat foto itu. Menjijikkan,” dia berkata sambil bergidik.

Mas Fajar mengatur napas sejenak, lalu berbicara “Maaf para warga sekalian. Memang benar itu foto istriku. Dulu dia memang wanita malam. Tapi sekarang dia sudah benar-benar tobat dan kembali ke jalan yang benar.”

“Ah tidak percaya. Mana mungkin. Bohong itu,” ibu-ibu menyahut.

“Aku bersaksi demi Allah atas nama istriku. Dia sudah kembali ke jalan yang benar. Sekarang saya tanya kepada para warga sekalian. Apabila ada seorang muslimah walaupun dulu dia kotor sekali bahkan lebih kotor dari pelacur, ingin tobat setobat-tobatnya dan ingin kembali ke jalan yang benar apa kalian diam saja?”

“Tidak!” jawab warga serempak.

“Nah, begitulah dengan istriku. Ketika muda Husna memang seorang pelacur. Hidupnya dalam bayang-bayang hitam. Dia ingin insyaf. Dan kebetulan bertemu dengan saya. Dia ingin menjalankan syariat agama dengan benar karena selama melacur hidupnya sangat gersang dan tidak tenang. Dia kuambil istri agar bisa menuntunnya kembali. Sekarang dia telah kembali ke jalan-Nya. Tapi, kalian malah menyakitinya, menghardiknya dan mendustakannya bahkan melemparinya. Apa itu seorang ciri muslim sejati? Apakah seseorang bila telanjur salah akan dianggap salah selamanya. Tak ada waktu baginya untuk membenahi dirinya?” suara Mas Fajar menggelegar di antara para warga.

“Dia memang memiliki masa lalu kelam tapi itu dulu. Allah saja Maha Pengampun, tapi kalian yang hanya sebagai manusia biasa, sok merasa lebih baik dari yang lain dan sok segalanya. Astagfirullahaladzim. Istigfarlah,” ucap Mas Fajar lantang.

Pak RT maju ke depan, “Maafkan kami, Mas. Kami percaya omongan orang begitu saja. Mudah terhasut dan termakan emosi. Atas nama warga aku minta maaf. Dan sebagai permintaan maaf kami, setelah Salat Magrib kami akan datang ke acara pengajian Mbak Husna seperti biasanya.”

Mas Fajar menepuk bahu Pak RT dengan lembut, “Alhamdulillah. Ternyata pikiran Bapak sudah mulai terbuka. Dengan sangat senang hati, pintu maaf ini kami buka lebar-lebar. Bukan begitu, Dik Husna?” Mas Fajar segera membantuku berdiri.

Kulihat Rudi segera bersembunyi di antara kerumunan orang-orang. Ya Allah bukalah pintu hati Rudi seperti Engkau membuka pintu hatiku. Seseorang membuyarkan lamunanku.

“Mari Mbak, lukanya kami bersihkan,” ucap salah seorang ibu  angggota pengajian. Kami segera berjalan beriringan menuju ke rumah.

Suara azan Maghrib berkumandang dengan merdunya, semerdu hatiku yang sedang bersenandung sore ini. Semerdu kasih sayang Allah yang diberikan kepada para hamba-Nya yang bertakwa.

 

Yuli Arini

Tinggal di Dregan RT 003/RW 006,

Pabelan, Kartasura, Sukoharjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya