SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Senja menggiring matahari menuju tepi barat. Semburat kuning pepaya memudar seiring usainya waktu siang. Kumandang azan Magrib yang bergema dari loud speaker musala, surau, masjid mengawali malam.

Laras menghentikan kerja tangannya. Ia rapikan kertas ulangan siswanya yang belum semuanya rampung dikoreksi dalam satu tumpukan. Laras lekas-lekas mengambil air wudu. Lantas, ia kenakan mukena di depan cermin supaya hasilnya rapi.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

“Mas, salat ke musala yuk?” seru Laras ketika kakinya menyentuh teras. Wajahnya penuh harap menghadap Pram yang tengah duduk santai.

“Badanku capai, kamu saja yang ke musala,” ujar Pram, datar. Wajah Laras seketika melayu tatkala ajakannya tak bersambut baik. Dengan wajah terlipat kesal, Laras melangkah lunglai menuju musala yang hanya berjarak tiga rumah dari rumahnya.

Sepeninggal Laras, Pram bergeming di tempat duduknya. Kepalanya yang tersandar pada bahu amben menandakan kebetahannya. Sementara kakinya yang terselonjor mengisyaratkan betapa nyamannya ia kini.

Dengingan nyamuk nakal beberapa kali menyambangi gendang telinga Pram namun laki-laki berumur 28 tahun itu tak hirau sama sekali. Pun, ketika ikamah terlantun dari arah musala dan menyapa cuping kupingnya, Pram tak menggubrisnya.

 

***

 

Bulan Oktober tiba. Wajah Laras cerah sepulang dari sekolah. Ia baru memperoleh gaji bulanan dan kini ia bersiap membelanjakannya. Di sebuah toko baju di pinggir kota, Laras memilah-milah barang.

Seusainya dari toko baju, Laras mampir ke toko buku. Pulangnya, sebelah tangan Laras menenteng plastik hitam berukuran lumayan besar. Senyum Laras tak berhenti berkembang selama perjalanan pulang. Dalam kepalanya membayangkan kejutan ulang tahun Pram yang telah ia rancang esok pagi.

Waktu teramat pelan merambat dalam hitungan Laras. Perempuan yang tengah mengandung bayi pertamanya itu tak sabar menunggu malam. Meski semua telah ia persiapkan dengan baik, hal itu tak membuatnya hilang cemas.

Menjelang tidur, Laras mengecek kembali alarm ponsel yang sore tadi sudah disetnya. Ia tak mau ketinggalan momen dalam pergantian hari pukul 00.00 WIB nanti. Saat itulah, ia akan memberikan kejutan untuk suaminya.

“Ada apa sih dari tadi ngelihatin HP melulu!” cetus Pram, heran. Dahinya berkerut melihat tingkah Laras yang tak seperti biasanya.

“Ah, nggak ada apa-apa. Cuma ngecek saja, pulsaku masih apa nggak. Soalnya besok aku mesti telepon Ibu,” jawab Laras beralasan.

“Ya sudah, ayo lekas tidur. Sudah pukul 22.00 WIB lebih sekarang,” tukas Pram seraya membaringkan tubuhnya di ranjang. Dua jenak kemudian mata Pram terkatup, ia siap menjemput mimpi.

“Eh, Mas, jangan tidur dulu! Bacain Alquran dulu pada adik bayi!” pinta Laras manja sambil mengelus perutnya yang buncit. Ia goyang-goyang lengan suaminya hingga Pram terpaksa membuka mata.

“Kapan-kapan saja lah… aku sudah ngantuk banget ini!” pungkas Pram terdengar mangkel. Ia miringkan tubuhnya, membelakangi istrinya.

Laras melipat wajahnya. Bibirnya mengerucut cemberut. Dengan sedikit menghentak ia telentangkan badan. Ia elus-elus perutnya dengan penuh kasih.

Mulutnya komat-kamit membaca surat-surat pendek Alquran. Nasihat kakak laki-lakinya untuk sering-sering membaca surat Al Insyirah pun ia kerjakan. Tak ketinggalan petuah ustaz.

Laras hilang kesadaran terbawa mimpi entah pada surat apa. Ia tertidur pulas dengan mimpi indah. Dalam mimpinya ia terharu menyaksikan Pram kala mengazani bayi yang baru saja ia perjuangkan ke dunia.

Laras tergagap bangun oleh dering alarm ponsel. Dengan kesadaran yang belum sempurna, buru-buru ia matikan bunyi yang menggangu itu. Ia gosok-gosok matanya sejenak. Lalu ia tengok suaminya yang masih tertidur pulas, sebuah kecupan ia daratkan di kening Pram.

“Selamat ulang tahun sayang…!” bisik Laras di telinga Pram. Satu dua detik Laras menunggu reaksi. Tak selang lama, Pram terbangun seperti harapan Laras.

“Ini buat kamu!” kata Laras sembari menyerahkan sebungkus kado yang diambil dari bawah tempat tidur. Kado itulah yang siang kemarin ia beli di toko baju dan toko buku sepulang sekolah.

“Apa ini? Aku buka ya?” timpal Pram, antusias. Semangat Pram tiba-tiba mengendur kala matanya bersitatap dengan kado pemberian Laras. Sebuah baju koko, sarung dan buku berjudul Bersiap Menjadi Ayah.

“Kok reaksinya begitu? Mas tidak suka dengan kado dari Laras?”

“Suka kok! Suka banget. Aku masih agak ngantuk saja. Sekarang kita tidur lagi saja ya?”

“Baik. Tapi bukunya jangan lupa dibaca ya, Mas? Di buku itu banyak tuntutan menjadi ayah yang baik. Aku juga membeli buku untuk diriku sendiri. Judulnya Bersiap Menjadi Ibu.”

“Iya… iya,” pungkas Pram, tanpa minat.

 

***

 

Oktober telah berlalu. November pun tiba. Jika di bulan Oktober Pram merayakan ulang tahunnya maka di bulan November giliran Laras yang merayakannya.



“Kamu minta kado apa, Dik?” tanya Pram di suatu malam. Pram memang bukan tipe romantis yang suka memberi kejutan. Ia lebih suka bertanya ketimbang salah memberi kado yang tidak diharapkan.

“Hmm… sebetulnya Laras ada permintaan. Laras harap Mas bisa mewujudkannya.”

“Akan Mas usahakan.”

“Bener ya, Mas? Kalau begitu Laras tulis dulu permintaan Laras, nanti kalau sudah selesai Mas boleh membacanya,” tukas Laras, dengan wajah harap.

Hlo, kok pakai ditulis segala? Memang banyak permintaanmu?” tanya Pram, heran.

“Hmm… nggak banyak sih. Cuma ada beberapa,” tukas Laras penuh teka-teki. “Aku sungkan bila menyampaikannya langsung jadi… aku tulis saja biar Mas nanti bisa membacanya sendiri.”

Dua hari telah berlalu sejak perbincangan itu. Laras sudah selesai dengan isi suratnya. Harap-harap cemas ia melipat kertas surat. Ia sangat berharap Mas Pram mewujudkan permintaannya. Ia tak lupa berdoa Allah Yang Maha Kuasa mempermudah jalan agar permintaannya menjadi nyata.

Pagi itu Laras sudah menyelesaikan masakan untuk sarapan pagi. Ia sudah rapi berdandan untuk ke sekolah. Sementara Pram masih tertidur pulas. Semalam ia begadang dengan teman-temannya.

Pram bangun kala Laras sudah pergi ke sekolah. Ia temukan sepiring nasi goreng saat membuka tudung saji. Segera saja selera makannya tergugah. Ia baru mengambil sendok kala matanya bersitatap dengan sepucuk kertas terlipat di bawah piring nasi gorengnya. Ini pasti surat dari Laras, pikir Pram cepat. Buru-buru ia buka lipatan surat dan membacanya. Ia urungkan sejenak menyantap nasi goreng spesial masakan istrinya.



 

Dear Mas Pram yang Laras cintai…

 

Mas, Laras nggak ingin barang apa-apa di ulang tahun kali ini. Laras nggak ingin bunga mawar, cokelat atau makan malam romantis. Laras nggak ingin ponsel baru atau gadget lainnya. Yang paling Laras ingin adalah Mas bisa menjadi imam bagi Laras dan anak kita nantinya. Membimbing Laras dan anak-anak kita menuju Surga-Nya.

Laras pun mendamba bisa salat di belakang Mas. Laras makmum sedang Mas imamnya. Atau jika Laras ingin salat ke musala, Mas bisa mendampingi. Kita pergi dan pulang bersama. Seperti tetangga kita Anang dan Santi, Laras sangat iri pada mereka.

Selain itu Laras juga punya permintaan khusus. Laras sangat-sangat berharap Mas sering mengelus perut di mana ada adik bayi di dalamnya. Membacakannya surat Alquran dan doa-doa.

Akhir kata, Laras sangat berharap Mas mengabulkan permintaan Laras.

 

Tertanda



 

Istri Mas yang siang malam berharap dan berdoa

 

Tangan Pram bergetar seusai menuntaskan surat Laras. Tak ia sadari, air matanya berderai ke pipi. Ingatan tentang bagaimana usaha dan perjuangan Laras mengajaknya salat menyembul-nyembul ke permukaan. Betapa gigihnya istrinya itu.

Dulu sebelum bisnis roti yang ditekuni Pram maju dan Laras masih menjadi guru honorer bergaji kecil, Pram selalu rajin salat. Tapi entah sejak kesuksesan menyambangi, Pram justru jauh dari ibadah. Waktunya banyak tersita di pekerjaan.

Mengingat itu, Pram kembali meneteskan air mata. Ia berjanji dalam hati akan memenuhi permintaan Laras dengan sebaik-baiknya.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya