SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

AR Luthfia
Aku adalah anak tertua keturunan Tionghoa asal Purbalingga dari keluarga Ibu. Beberapa saudara beragama Islam sehingga perbedaan agama bukanlah hal yang asing di keluarga kami. Kedua orangtuaku sejak dulu memberikan kebebasan kepada anak-anak mengenai agama. Bagi mereka, semua agama adalah sama, yang terpenting adalah moral anak-anak terjaga, tidak mencuri, tidak menipu dan disiplin. Namun tidak bagiku, aku yakin pasti ada yang terbaik. Sejak lulus SMP, aku menemukan Islam sebagai agamaku dan kedua orangtuaku merestuinya. Mereka senang aku bangun pagi untuk menjalankan Salat Subuh setelah itu aku punya banyak semangat untuk menyiapkan toko.
Bagi mereka, sejak itu aku menjadi lebih disiplin dan rajin tetapi bagiku, aku mulai berusaha menjalankan Islam secara khaffah meskipun di depan orangtuaku aku berusaha tetap menjadi anak yang terbuka untuk mereka.
Setelah lulus dari sebuah universitas negeri terkemuka di Bandung, kuputuskan untuk mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar. Aku merasa berutang budi pada negeri di mana sejak kecil aku dibesarkan dan dididik ini. Jalanku pun dimudahkan, tahun ini aku diterima sebagai pengajar di almamaterku. Sedikit mengejutkan mengingat sangat sedikit warga keturunan sepertiku yang menjadi pegawai negeri. Secara normatif memang tidak ada diskriminasi tetapi praktiknya hal itu masih bisa kami rasakan. Rupanya semua mulai berubah sekarang.
***
“Berani sekali kamu memilih pekerjaan itu! Ayah susah-susah menyiapkan segalanya untukmu, menyekolahkanmu, ini balasanmu, Daniel?”
Tidak kusangka ayahku akan semarah ini. Bagi keluargaku, usaha toko ini haruslah diteruskan dan dikembangkan oleh seluruh anggota keluarga. Aku tahu Ayah menaruh harapan besar kepadaku. Aku terdiam menerima kata-kata Ayah. Adikku Carrel yang baru saja lulus SMA memandangiku dari balik pintu. Sejak itu, suasana rumah menjadi tidak bersahabat bagiku.
Matahari meninggi dan aku masih terduduk di depan toko. Azan zuhur terdengar nyaring dari masjid. Kuambil air wudu untuk segera salat. Segarnya air yang menyentuh kulit kurasa menggiringku dari dunia material ke dunia spiritual. Kulupakan sejenak duniaku dan kupasrahkan segalanya yang telah aku usahakan kepada-Nya. Selesai salat, seperti biasa aku melanjutkan pekerjaan di toko.
“Saya tidak tahu mengapa anakku terjangkiti pikiran yang aneh itu. Dia sudah sangat mengecewakan saya,” terdengar suara ibu terisak di belakang toko.
Seorang kerabat menemaninya. Dalam doaku, aku selalu memohon petunjuk dan jalan untuk membuka pintu hati kedua orangtuaku. Bagaimana pun, aku tidak mau menyakiti hati mereka. Hatiku ikut merasa pedih dengan kepedihan mereka karena aku. Kerabat yang menemaninya adalah salah satu dari beberapa orang pengusaha yang menawariku posisi yang menjanjikan penghasilan besar. Aku tahu ayah dan ibuku banyak berharap padaku sebagai anak tertua dalam keluarga kami tetapi tekadku sudah bulat.
***
Sebuah usaha kecil merupakan pengganti terbaik dari alasan. Maka, aku membuat langkah-langkah kecil untuk menunjukkan bahwa aku masih bertanggung jawab dan berbakti kepada kedua orangtua yang melahirkan dan membesarkanku. Setiap hari aku bangun lebih pagi untuk mempersiapkan materi perkuliahan yang baru dimulai dua pekan mendatang. Di rumah, aku tetap membantu ayah dan ibu seperti biasa, lebih rajin mengurus toko untuk memberi contoh pada adikku Carrel. Carrel berbeda denganku. Kulihat dia memiliki minat yang besar pada usaha dagang. Sebisa mungkin aku mengajari Carrel apa yang bisa kuajarkan padanya. Hari demi hari kulewati dengan tidak banyak bicara karena memang seolah tidak ada tempat lagi bagi suaraku di hati orangtuaku. Hanya Carrel yang masih tersenyum dan menghangatkan hariku.
***
Hampir tiga bulan berlalu, suasana menjelang imlek semakin pekat. Atmosfer rumah hari ini pun sedikit berbeda. Keluar kamar, ayah menyambutku dengan senyum. Di depan keluarga besar ayah berkata, “Ini anakku Daniel, sekarang menjadi dosen di universitas terkemuka.”
Hatiku tersentak kaget, bergetar lalu luluh mencair. Air mata meleleh dari sudut mataku.
“Subhanallah,” kuucap syukur dengan hati yang tergetar. Pekerjaan impianku diridai oleh orangtuaku. Ini merupakan anugerah yang begitu besar.
Kupeluk erat tubuh ayahku seraya berterima kasih atas kebesaran hatinya.
“Ayah bangga padamu, semoga di tanganmu tercipta orang-orang hebat. Dan lama kelamaan tidak ada lagi orang yang memberikan label ini-itu pada warga keturunan.”
Kuamini doa ayahku diiringi senyum bahagia di bibir kerabat-kerabatku.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ekspedisi Mudik 2024
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya