SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Bernardinus Herry Priyono S.J. adalah seorang romo yang ahli dalam urusan ekonomi, politik, dan ilmu sosial. Ia meninggal dunia pada Senin, 21 Desember 2020. Saya mengenal Romo Herry karena pemikiran kritisnya mengenai globalisasi yang kerap saya baca di kolom opini koran berskala nasional.

Romo Herry berprofesi sebagai dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Romo Herry menyebut globalisasi dengan neoliberalisme. Romo Herry memiliki pemihakan yang jelas bahwa neoliberalisme itu bukan kisah indah, melainkan kisah sedih.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kisah yang merendahkan kedudukan manusia karena hanya dilabeli manusia ekonomi. Romo Herry mencontohkan kisah orang miskin yang sering ditolak berobat di rumah sakit. Sampai-sampai Romo Herry punya pendapat bahwa kesehatan telah menjadi industri dan rumah sakit telah menjadi bisnis.

Sedangkan kita, warga negara biasa, hanya menjadi konsumen yang diukur dengan prinsip siapa yang membayar paling banyak yang diutamakan. Kaum neoliberal muncul karena perkembangan dan keberagaman pendapat kaum libertarian.

Kaum libertarian yang terdiri atas pemikir ekonomi Mazhab Austria seperti Milton Friedman dan Friedrich von Hayek berpatokan bahwa semua tatanan yang baik merupakan tindakan spontan dari prinsip kebebasan sehingga pelaksanaan kebebasan juga merupakan interaksi spontan.

Hal tersebut terwujud dalam ekonomi pasar bebas. Bagi ekonom Austria, perencanaan ekonomi adalah road to serfdom (jalan menuju perbudakan). Ekonomi pasar bebas artinya segala batasan politik, kultural, sosial, hukum, serta peraturan pemerintah harus seminimal mungkin.

Dalam situasi demikin ini Romo Herry berpendapat bahwa dalam ekonomi pasar bebas rumusnya hanya satu: jangan turut campur. Semua manusia memiliki hak hidup. Jika ditelaah dalam logika ekonomi pasar bebas berarti hak hidup adalah hak untuk tidak boleh dibunuh saja, bukan pemenuhan hak-hak lainnya semacam hak atas pendidikan atau hak atas pangan.

Dalam ekonomi pasar bebas entitas manusia yang beragam seperti homo socius, homo ludens, homo politicus menjadi tanggal, yaitu tinggal ciri homo economicus saja. Akhirnya neoliberalisme melampaui lebih jauh pendahulunya, para pemikir libertarian, yaitu prinsip pasar tidak hanya diterapkan dalam alokasi barang dan/atau jasa, tetapi juga pendidikan, kesehatan, politik, dan sebagainya.

Neoliberalisme ingin memurnikan homo economicus, Artinya, segala relasi manusia diatur melalui prinsip-prinsip ekonomi. Dalam jual beli barang, kebebasan di sini bukan hanya kebebasan memilih dan memiliki barang tertentu, melainkan juga berhubungan dengan daya beli manusia sendiri.

Manusia Pengusaha

Homo economicus yang sempurna adalah manusia pengusaha. Manusia yang  bisa mengembangbiakkan modal menjadi laba. Manusia pengusaha ini berbeda dengan manusia petani yang bermodalkan cangkul dan sepetak lahan, yang ingin sawahnya lestari meskipun hasilnya pas-pasan.

Manusia pengusaha yang melihat hijaunya sawah berpikiran lain. Diubahlah sawah yang hijau menjadi tempat wisata penuh dengan lokasi berfoto yang instagramable. Tidak ada dalam benak pengusaha bahwa sawah yang menghijau itu dianggap sebagai modal sosial atau modal kultural. Manusia pengusaha hanya melihat kebebasan gerak modal,  padahal manusia membutuhkan kebebasan-kebebasan lainnya.

Seseorang dianggap bebas jika dia bebas untuk bertindak dan bebas untuk memilih. Bebas tidak hanya diartikan tidak ada gangguan atau pembatasan, tetapi juga harus ada sarana untuk melaksanakan kebebasan. Contohnya bebas berpikir dan berbicara tidak hanya mensyaratkan tidak ada sensor dari pemerintah dan masyarakat, tetapi juga menuntut adanya sarana.

Jika seseorang ingin menyuarakan pendapat melalui telepon seluler, selain punya telepon seluler juga harus punya pulsa dan kuota data. Tanpa adanya itu, dia tidak bisa menyuarakan pendapat. Jadi, untuk mendapatkan kebebasan berbicara, manusia membutuhkan telepon seluler, pulsa, dan kuota.

Jika demikian, kebebasan ekonomi itu menjadi omong kosong bagi manusia yang hidupnya sehari dengan biaya di bawah US$2. Mereka merupakan kelompok miskin yang dalam kepentingan kebebasan ekonomi telah gagal mengubah modal menjadi laba. Dalam subsistem lainnya, mereka hanya menjadi konsumen pengobatan dan bukan menjadi pasien dalam industri kesehatan (baca: industri rumah sakit).

Faktor penentu kebebasan ekonomi adalah daya beli atau daya tukar. Jika manusia tidak memiliki daya tukar atau daya beli, kebebasan hanya sebatas jargon, meskipun kita sama-sama berdiri di ruangan yang sama. Pemikiran Romo Herry menemukan relevansinya pada masa sekarang.

Politik bangsa Indonesia diwarnai daya beli atau daya tukar juga. Suara partai sebanyak 10% ekuivalen dengan dua orang menteri. Dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, pihak yang kalah pun dirangkul. Kondisi ini sama dengan pemikiran Romo Herry, bahwa jika terjadi konflik di antara kebebasan, kekuasaanlah yang menentukan.

Romo Herry mengingatkan kepada kita semua bahwa meskipun sama-sama memakai kebebasan, kebebasan ekonomi berbeda dengan kebebasan berpikir, bahkan kebebasan beragama karena memiliki faktor pembeda yaitu daya beli atau daya tukar. Bahkan homo economicus yang sama-sama disebut pengusaha pun memiliki daya tukar berbeda pula.

Pengusaha swasta yang tumbuh tidak dekat dengan penguasa ketika jatuh bangkrut mesti kerap disalahkan karena tidak memiliki manajerial yang baik. Pengusaha besar yang dekat dengan penguasa negara ketika jatuh bangkrut mengharuskan masyarakat pembayar pajak memikul beban kebangkrutannya.

Walakin, Romo Herry tetap menyarankan kepada warga negara untuk tetap merawat dan menjaga kebebasan dari dominasi kebebasan ekonomi yang meremuk watak sosial hidup bersama. Saya pun ragu dengan saran Romo Herry ini karena masih ada ketidakadilan di tengah masyarakat.

Menyusuri ketidakadilan sepertinya sudah menjadi panggilan Romo Herry yang menurut kesaksian sahabatnya pada misa requiem menyatakan dia menghabiskan banyak waktu mengadvokasi orang-orang terpinggirkan. Romo Herry tampaknya benar-benar mengimani bahwa membela kaum terpinggirkan, tentunya sebagai akibat neoliberalisme dan keganasan manusia ekonomi, sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan. Selamat jalan Romo Herry, selamat menemukan kebebasan yang abadi dan sebenarnya. Requiescat in pace.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya