SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Barangkali sedikit di antara pembaca budiman yang kini masih ingat bentuk lisan dalam bahasa Jawa ‘her, gya, gya, her’.

Mungkin juga tidak banyak di antara kita yang masih berkesempatan melihat orang mengendalikan sapi atau kerbau yang lehernya telah dipasungkan pada sebuah ‘pasangan’, lalu dua ekor hewan ternak besar yang sudah dipasangkan itu ditalikan pada ujung kayu atau ujung bambu yang agak panjang, lalu dijalankan untuk menarik ‘luku’ atau mata bajak.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Hewan serupa dapat pula dipakai untuk menarik ‘garu’, yang lazim dipakai untuk melumatkan tanah yang telah ‘diluku’, sebelum sawah itu siap ditanami ‘winih pari’ yang sudah menghijau. Dulu, sapi atau kerbau yang dipasang berpasangan dalam ‘pasangan’ demikian itu lazim pula digunakan untuk menarik gerobak.

Di era 1970-an, gerobak sempat menjadi alat angkut yang sangat andal, sebelum akhirnya digantikan truk-truk bermesin seperti yang kini jamak kita temui. Nah, dalam tiga wahana yang disebutkan itu, ungkapan ‘her, gya, gya, her’ harus diteriakkan keras-keras dan terus-menerus oleh si pembajak sawah.

Demikian pula, sang ‘bajingan’—sebutan yang dulu memang banyak digunakan untuk menunjuk ‘tukang gerobak’ atau ‘tukang pedati’—harus terus-menerus membunyikan ungkapan itu ketika mengendalikan pasangan sapi atau kerbaunya.

Kompas (24/4) mencatat, ungkapan ‘gya’ sebagai ‘jak’, sedangkan bentuk ‘her’ sebagai ‘her’. Bentuk ‘jak’ digunakan untuk membelokkan sapi atau kerbau ke arah kanan, sedangkan ‘her’ untuk membelokkan pasangan hewan itu ke arah kiri.

Nah, uraian di atas ternyata berbeda dengan yang disampaikan dalam buku Trampil Basa Jawa 4, yang ditulis Muharto dkk. yang diterbitkan PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri (2008). Bentuk ‘gya’ justru untuk memerintah kerbau atau sapi belok ke kiri, sedangkan ‘her’ sebagai perintah belok ke arah kanan.

Akan tetapi baiklah,  perbedaan informasi wujud dan makna imperatif seperti disebutkan di atas kita jadikan saja sebagai khasanah.

Lebih dari itu saya hendak mengatakan, bahwa sesungguhnya bahasa-bahasa daerah di Indonesia demikian kaya dengan ungkapan-ungkapan khas dan bentuk-bentuk kebahasaan tertentu, yang niscaya dapat digunakan sebagai salah satu sumber pokok bagi pengayaan dan pengembangan bahasa Indonesia.

Bentuk-bentuk yang berkenaan dengan hewan, baik yang menunjuk pada nama atau sebutannya, atau pada hal-hal lain yang masih berkaitan dengan hewan atau binatang itu, terbukti dapat dijadikan sumber kosakata yang luar biasa kaya.

Bentuk ‘her, gya, gya, her’ atau yang bagi banyak orang dipahami sebagai ‘her, jak, jak, her’ seperti yang disebutkan di depan, jelas sekali merupakan salah satu khasanah bagi pengembangan bahasa.

Masih berkenaan dengan binatang dan/atau hewan pula, saya masih ingat sekali saat masih kanak-kanak dulu, kakek saya yang saat itu banyak memelihara kambing, sering mengawinkan kambing-kambing betinanya  pada  kambing- kambing pejantan yang kuat dan besar.

Sambil memegangi kambing betinanya, dan menunjukkan alat kelamin kambing betina itu dengan mengangkat ekornya, kakek saya menyuarakan ungkapan khas yang ketika itu saya sendiri tidak tahu persis makna harfiahnya, yakni ‘dek, dek, duwek, de, dek duwek’.

Ungkapan khas ‘dek, dek, duwek’ itu ternyata diulang-ulang terus oleh kakek saya itu, sampai kambing pejantan itu berhasil mengawini kambing betina.

Nah, berkenaan dengan bentuk yang terakhir disebutkan ini sesungguhnya juga serupa dengan bentuk yang disampaikan oleh sang petani yang sedang ‘ngluku’ dan ‘nggaru’ seperti yang di atas itu tadi.

Tuturan imperatif
Jadi, kedua-duanya sesungguhnya merupakan tuturan yang bermaksud imperatif, yakni untuk memerintah sapi, kerbau, dan kambing itu melakukan apa yang dikehendaki oleh si empunya.

Saya rasa masih terdapat beberapa ungkapan khas lain, yang sesungguhnya juga dapat terus didata, dideskripsikan, sehingga bentuk-bentuk kebahasaan khas itu bisa diselamatkan, dan dijadikan sumber cukup potensial sebagai peranti pengembangan bahasa.

Asal tahu saja, sebutan-sebutan untuk hewan yang ada di sekeliling kita,  terbukti telah menyumbang banyak terhadap pengembangan bahasa Indonesia. Sebut saja misalnya dari kata dalam bahasa Jawa ‘wedhus’ atau kambing, dalam bahasa Indonesia lalu dapat dilahirkan bentuk ‘wedhus gembel’.

Bentuk itu lazim digunakan untuk menyebut asap sangat tebal yang bercampur dengan material gunung berapi yang keluar bertubi-tubi secara periodik dan dapat mendatangkan kehancuran. Dari kata dalam bahasa Jawa ‘bajing’, bisa dimunculkan bentuk dalam bahasa Indonesia ‘bajing loncat’.

Bentuk dalam bahasa Indonesia ‘otak udang’, untuk menunjuk pada orang yang sangat bodoh, sangat tolol, sepertinya juga tidak bisa dilepaskan dari bentuk dalam bahasa Jawa ‘utek urang’.

Saya rasa pula, bentuk ‘jago kandang’ yang sudah banyak digunakan di dalam bahasa Indonesia sekarang ini, juga sangat dekat dengan bentuk bahasa Jawa ‘jago kandhang’. Bentuk ‘jago’ arti harfiahnya adalah ayam jantan, yang lazim diadu atau disabung dengan ‘jago’ kawakan lain.

Nah, ternyata bukan saja bentuk-bentuk kebahasaan dalam bahasa Jawa yang dapat menyumbang banyak terhadap pengembangan bahasa Indonesia ke depan. Nama-nama hewan yang memang sudah ada di dalam bahasa Indonesia pun banyak menyumbang terhadap pemekaran dan pengembangan bahasa Indonesia itu sendiri.

Coba perhatikan bentuk, ‘ayam kampus’, ‘kutu buku’, ‘kelinci percobaan’, ‘jinak-jinak merpati’, ‘tikus-tikus politik’, ‘kupu-kupu malam’, ‘adu domba’, ‘koruptor kakap’, ‘pencuri kelas teri’, ‘buaya darat’, ‘malu-malu kucing’, ‘akal bulus’, politik dagang sapi’, dll.

Jelas sekali, bentuk-bentuk kebahasaan yang disampaikan di atas itu semuanya memang memerantikan sebutan-sebutan untuk hewan, dan terbukti memang produktif sekali digunakan dalam bahasa Indonesia.



Nah, masih berdekatan dengan yang disampaikan di atas itu, pada akhir-akhir ini siapa orang yang tidak mengenal bentuk ‘flu babi’. Demikian pula, siapa yang dalam setahun-dua tahun terakhir tidak mengenal ‘flu burung’.

Dua jenis wabah penyakit sangat mematikan yang pernah berkembang menjadi pandemi di sejumlah negera di dunia ini, jelas sekali penyebutannya juga memerantikan nama hewan.

Saya rasa ke depan, bentuk-bentuk kebahasaan yang memerantikan nama-nama hewan demikian ini akan menjadi semakin banyak. Tidak tahukan Anda bahwa kebanyakan ungkapan tabu yang digunakan untuk mengumpat, juga memerantikan nama-nama hewan.

Sebut saja misalnya bentuk umpatan dalam bahasa Indonesia, ‘Anjing!’, ‘Monyet!’, ‘Babi!’, ‘Kerbau!’  Saya menduga, bentuk-bentuk umpatan yang cenderung bernuansa tabu demikian ini pun tidak dapat dilepaskan dari bentuk-bentuk imbangannya dalam bahasa Jawa, ‘Asu!’, ‘Munyuk!’, ‘Kebo!’, ‘Kirik!’, ‘Ulo!’, ‘Singo!’

Akhirnya saya hendak menegaskan, potensi pengembangan bentuk-bentuk kebahasaan dalam bahasa Indonesia banyak terdapat dalam kata-kata bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sumber kata-kata dalam bahasa asing tentu saja banyak lantaran bahasa Indonesia memang selalu berkontak dengan bahasa-bahasa asing yang jumlahnya juga semakin banyak di era global ini.

Akan tetapi, sumber-sumber dari bahasa asing itu tentu saja tidak boleh mengalahkan sumber-sumber dari bahasa-bahasa daerah, yang kebetulan di Indonesia jumlahnya juga sangat banyak. Bagi saya sendiri bentuk ‘Her, gya, gya,her!’ jauh lebih bernuansa rasa daripada ‘Kiri, kanan, kiri, kanan!’ atau ‘Left, right, left, right!’

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya