SOLOPOS.COM - Helmy Yahya. (Instagram-@helmyyahya)

Solopos.com, JAKARTA — Helmy Yahya yang diberhentikan dari jabatannya sebagai direktur utama (dirut) TVRI memicu karyawan TVRI melayangkan mosi tidak percaya kepada dewan pengawas (dewas). Mosi itu diklaim mendapatkan dukungan 4.000 karyawan TVRI.

Namun, sejumlah unsur karyawan TVRI yang diwakili Bobby Soe, Yoserizal, dan Dhoni Kusmanhadji membantah klaim adanya 4.000 orang yang mendukung Helmy Yahya. Mereka mengatakan dukungan 4.000 karyawan kepada Helmy merupakan kebohongan besar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

"Klaim dukungan 4.000 lebih karyawan untuk mantan Direktur Utama Helmy Yahya adalah kebohongan besar karena mayoritas karyawan tidak mau terlibat dalam permasalahan lembaga secara pribadi dan sebagian besar karyawan malah tidak tahu-menahu tentang penyegelan dan persoalan yang terjadi," kata mereka dalam keterangan tertulis, Minggu (19/1/2020).

Mereka mengungkapkan pemberhentian Helmy sudah sesuai aturan yang berlaku dalam PP 13/2005 tentang LPP TVRI. Sebab, Helmy dinilai gagal dalam menjalankan prinsip transparansi dan good governance kala memimpin TVRI.

"Di antaranya tertib administrasi pembelian hak siar Liga Inggris, ketidaksesuaian pelaksanaan rebranding dengan rencana kerja, dan melanggar sejumlah asas yang diatur dalam UU Administrasi pemerintahan terkait program kuis siapa berani," lanjut mereka.

Bobby CS menjelaskan keputusan Dewas TVRI juga bukan keputusan mendadak. Keputusan itu sudah melalui proses panjang selama satu tahun lebih mengevaluasi kinerja direksi dan sudah diketahui Komisi I DPR RI, Menkominfo, dan Setneg.

"Tidak ada polemik ataupun konflik kepentingan antara Dewan Pengawas dengan mantan Direktur Utama LPP TVRI Helmy Yahya. Permasalahan di TVRI diawali dengan direksi yang gagal menjalankan kewajibannya terhadap hak karyawan dan buruknya pengelolaan keuangan sehingga keresahan karyawan tidak lagi dapat dibendung," tuturnya.

"Tidak hanya karyawan, buruknya pengelolaan keuangan hingga mengakibatkan gagal bayar juga terjadi pada pihak ketiga, perjalanan dinas, dan bayar sewa profesi," imbuh Bobby dan kawan-kawannya.

Mereka juga menuding narasi penzaliman terhadap Helmy yang disampaikan oleh sejumlah pihak merupakan pembohongan publik. Pihak-pihak tersebut, kata Bobby cs, tak lebih dari pendukung Helmy.

"Juru bicara mereka yang bernama Agil Samal yang mengaku perwakilan karyawan yang menjabat sebagai kepala seksi siaran berita TVRI nasional ternyata bermasalah dengan anggaran dan telah diberikannya sanksi tuntutan ganti rugi kepada yang bersangkutan terkait salah satu program yan pernah diperiksa oleh BPK," ujar Bobby CS.

Mereka juga mengatakan bahwa aksi penyegelan setelah SK pemecatan Helmy diberikan bukanlah aksi para karyawan. Menurut mereka, aksi tersebut merupakan aksi para pejabat struktural pendukung Helmy yang dimotori Agil Samal.

Klaim Helmi Yahya dan Direksi melakukan pembenahan dan reformasi birokrasi dianggap tidaklah benar dan direksi dituding telah mengangkat dan mempromosikan sejumlah pejabat dengan rekam jejak yang buruk, bahkan yang duduk di atas tuntutan ganti rugi (TGR) atas mal administrasi terkait anggaran.

"Dalam memilih jajaran pejabat di bawahnya, direksi memilih nama-nama yang mau menjalankan semua perintah direksi sekali pun melanggar aturan, termasuk jubir Helmy Yahya, Agil Samal, yang terlibat maladministrasi, salah satunya atas program jelajah kopi yang di bawah pengawasannya terkena tuntutan ganti rugi (TGR) dan harus mengembalikan jumlah uang cukup besar ke negara. Perlu dilakukan audit investigasi keuangan TVRI untuk paket acara bola, Discovery Channel, kuis Siapa Berani, dan Jelajah Kopi dan dana pemilu," papar Bobby CS.

Mereka menilai kepemimpinan Helmy dan jajaran direksi selama ini telah menciptakan jurang pemisah antarkaryawan, yang tidak sejalan dengan klaim yang menyebut sudah mengubah corporate culture. Helmy juga dinilai membangun opini publik dengan memanfaatkan ketenarannya.

"Upaya Helmi Yahya dalam membangun opini publik dengan memanfaatkan ketenarannya melalui tagar #SaveTVRI dan #SaveHelmi di media sosial memperlihatkan kepentingan pribadi dan bentuk arogansinya. TVRI adalah lembaga negara yang diatur jelas dalam perundang-undangan, bukan lembaga politik atau kontestasi pilkada yang melibatkan aksi pengerahan massa dan membangun opini publik melalui media sosial," tuturnya.

Klaim dukungan itu sebelumnya disampaikan sejumlah karyawan TVRI yang melayangkan mosi tidak percaya kepada dewas. Perwakilan karyawan TVRI, Agil Samal, mengatakan karyawan yang menyatakan sikap itu sekitar 4.000 orang dari berbagai daerah.

"Ada dari stasiun dari Papua, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, NTT, Riau, NTB, dan Sumbar. Kami menyatakan kami kurang lebih sekitar 4.000," ujar Agil Samal di Pulau Dua Resto, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Jumat (17/1/2020).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya