SOLOPOS.COM - FOTO/Dok

FOTO/Dok

Suwarmin

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Wartawan SOLOPOS

Mungkin banyak warga negara lain yang terbengong-bengong melihat betapa seriusnya kita mengelola apa yang kita sebut sebagai Ujian Nasional (UN). Pemerintah menyiapkan anggaran senilai Rp600 miliar, Rp50 miliar lebih banyak dari anggaran tahun lalu.
Artinya, tahun depan dan tahun-tahun berikutnya anggaran akan terus bertambah. Dana sebanyak itu mestinya cukup untuk memperbaiki ribuan ruang kelas yang rusak di berbagai daerah, atau membangun sekolah layak guna di berbagai daerah terpencil atau daerah perbatasan.
Polisi dan tentara dengan senjata api di tangan dikerahkan untuk mengamankan naskah UN. Seolah-olah di luar sana ada pasukan teror yang siap mencuri naskah UN. Puluhan ribu dosen dari berbagai perguruan tinggi di negeri ini dilibatkan untuk memperkuat pengawasan UN.
Celakanya, sudah menjadi rasan-rasan di kalangan masyarakat ada daerah dan sekolah yang dengan berbagai cara berupaya agar siswa peserta UN lulus 100% atau mendekati. Mengapa demikian? Ini semua menyangkut prestise. Si kepala daerah kelak bisa menggunakan kesuksesan UN sebagai alat kampanye. Pihak sekolah juga berkepentingan karena jika persentase kelulusan tinggi, akan dibanjiri calon siswa saat tahun ajaran baru.
Anggaran UN sebanyak itu sebenarnya bisa membengkak karena ada sekolah yang menyewa lembaga pelatihan, bimbingan dan konseling untuk membekali para siswa peserta UN secara mental maupun material. Hampir semua sekolah menggunakan berbagai pendekatan untuk menyiapkan muridnya agar benar-benar siap UN.
Pendekatan itu berupa tambahan jam pelajaran hingga yang berkaitan dengan spiritual seperti doa bersama, zikir bersama, istigasah, ziarah ke makam ulama terkenal hingga menghadirkan para orangtua agar para murid melakukan sungkem kepada orangtua masing-masing.
Begitu seriusnya, ada saja siswa yang pingsan setelah menjalani ritual itu. Sangat serius, sangat mendalam, sangat mencekam.
Orangtua yang ikut-ikutan khawatir akhirnya ada yang melakukan hal-hal yang tak kalah dramatis, misalnya salat atau doa bersama setiap malam selama tiga bulan. Ada juga orangtua yang kebablasan, misalnya  bertanya dan mencari bekal ke ”orang pintar”. Jadi anaknya akan mengerjakan ujian dengan bekal batu sakti di saku celananya.
Ada juga di Ponorogo, Jawa Timur, ratusan murid di suatu sekolah memperebutkan air jimat yang ditengarai punya tuah membantu menghadapi UN. Kisah bocah Ponari di Jombang lain lagi. Dia pernah didatangi puluhan siswa yang minta agar alat tulis yang akan digunakan untuk UN dicelupkan ke batu bertuahnya agar bisa mengerjakan UN.
”Adikku yang akan ikut UN SMA diminta oleh gurunya untuk sowan menemui para mantan gurunya semasa SD hingga SMP dan semua guru yang pernah mengajarnya untuk minta doa restu sekaligus mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan,” kata seorang teman.
Dan banyak lagi cerita-cerita mengejutkan seputar persiapan UN. Kawan, ini hebat sekali. Rasanya tak ada negara lain yang menggelar UN seserius seperti negeri kita tercinta ini. Meski banyak yang tidak setuju dengan pelaksanaan UN, toh nyatanya the show must go on.
Kata pemerintah, ini semua dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Logikanya barangkali cukup sederhana, dengan cara seperti ini, kelak generasi muda kita akan terbiasa dengan tantangan seberapa pun kerasnya, karena mereka semua telah menjalani pendadaran dalam bentuk UN yang keramat dan mencekam.

Tidak Percaya
Tentu tidak salah kita berdoa kepada Tuhan agar apa yang kita inginkan tercapai. Sangat baik kalau kita minta doa restu kepada orangtua setiap kita menghadapi hal-hal yang istimewa. Tetapi, seharusnya tidak sedramatis dan sepragmatis ini.  Ketatnya pengawasan UN juga seolah-olah kita tidak percaya kepada murid. Jadi mereka perlu diawasi super ketat agar tidak curang, tidak menyontek, tidak saling bantu dan sebagainya.
Penyakit tidak percaya kepada sistem yang berlaku juga ada di dunia pendidikan kita. Banyak orang tidak percaya kepada anggota DPR, tidak percaya kepada aparat penegak hukum, dan kita lihat banyak orang tidak percaya kepada kejujuran para pelajar kita.
Anehnya, sepertinya pemerintah sendiri juga kurang percaya kepada kredibilitas UN. Buktinya, ada wacana mulai tahun depan perguruan tinggi negeri (PTN) menggelar seleksi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan. Seperti dilansir sejumlah media, jalur ini menyediakan 60% kursi mahasiswa baru, yang diseleksi berdasarkan nilai siswa selama sekolah dari kelas I-III SMA ditambah nilai UN. Sementara 40% sisa kursi menjadi hak PTN untuk melakukan penerimaan jalur mandiri.
Tulisan ini bisa saja hanya akan berakhir di bak sampah, terlupakan. Toh sudah banyak para pakar pendidikan yang terlibat dalam polemik dan pro-kontra seputar UN. Sudah banyak pihak menentang pelaksanaan UN, dari alasan melanggar hak asasi manusia (HAM) hingga ada warga yang menggugat pemerintah melalui Mahkamah Agung (MA).
Bahkan gugatan yang dilayangkan seorang warga, Kristiono, pada 2009 akhirnya dimenangkan MA. MA sempat melarang UN yang digelar Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Kasasi yang diajukan pemerintah melalui Kemdiknas ditolak, yang artinya Kemdiknas harus menghentikan UN. Tetapi, UN tetap ada hingga saat ini.
Akhirnya, mungkinkah kita lebih menata kultur sekolah agar lebih menanamkan kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, sehingga akan menganggap ujian dalam bentuk apa pun semata-mata sebagai proses yang biasa. Rasanya kehebatan seorang siswa, tak bisa dinilai dengan hanya ujian selama tiga hari. Apa pun, selamat berjuang para peserta UN. Apa pun hasilnya kelak, hadapilah dengan tenang, jalan hidup kalian masih panjang membentang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya