SOLOPOS.COM - Ilustrasi (britishcouncil.org)

Hasil penelitian berikut mengenai peta konflik di Sleman

Harianjogja.com, SLEMAN — Sebagian besar kecamatan di Sleman memiliki potensi konflik cukup tinggi. Kecamatan Mlati, Depok dan Gamping memiliki potensi konflik paling tinggi dibandingkan 14 kecamatan lainnya.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Data tersebut berdasarkan Indeks Potensi Konflik 2016 yang dikeluarkan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY. Berdasarkan data tersebut, akibat tindakan premanisme potensi konflik di masyarakat meningkat. Di wilayah Sleman selain Mlati, Depok dan Gamping, beberapa kecamatan seperti Ngaglik, Ngemplak, juga menyimpan konflik tinggi akibat premanisme. Hanya di Kecamatan Moyudan, Berbah, Kalasan, Cangkringan dan Prambanan yang potensi konfliknya menurun.

Ekspedisi Mudik 2024

Peneliti PSKK UGM Habib menjelaskan, data tersebut merupakan hasil penelitian perubahan sosial dan potensi konflik 2016 di lima kabupaten/kota se DIY. Hasil dari penelitian yang melibatkan responden sebanyak 8000 orang dari unsur tokoh pemuda, tokoh perempuan, BPD, LKMD, Polsek, dan Koramil.

“Sebagian besar kecamatan di Sleman, Indeks Potensi Konflik akibat tindakan premanisme meningkat, peringkat tertinggi berada di Mlati, Depok, dan Gamping,” katanya di Aula Gedung Unit I Pemkab Sleman, Kamis (26/1/2017).

Untuk konflik ekonomi Kecamatan Mlati, Kalasan, dan Gamping merupakan tiga kecamatan dengan nilai indeks potensi konflik Ekonomi tertinggi. Sedangkan Kecamatan Minggir, Prambanan, dan Ngemplak merupakan tiga kecamatan dengan indeks potensi konflik ekonomi terendah. Sedangkan untuk Indeks Potensi Konflik dimensi politik selama 2016 mengalami peningkatan hampir di semua kecamatan kecuali di Minggir yang mengalami penurunan.

“Indeks Potensi Konflik tertinggi ada di Ngemplak, Kalasan, dan Prambanan dan Indeks Potensi Konflik terendah ada di Minggir, Cangkringan, dan Seyegan”, kata Habib.

Dia menjelaskan, komposisi masyarakat DIY yang multikultur bisa menjadi sebuah kekuatan. Apabila tidak ditopang oleh kekuatan modal sosial (social trust, social inclusion) yang memadai, katanya, hal iyu bisa menimbulkan konflik.

Penelitian tersebut dilakukan, untuk mengkaji perubahan sosial dan potensi konflik yang terjadi di DIY. Termasuk menyusun peta potensi konflik yang berdimensi pemerintahan, politik, sosial ekonomi, sosial budaya (identitas) dan kekerasan kelompok (premanisme) sebagai implikasi dari perubahan sosial yang terjadi.

Sementara itu Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun mengatakan, untuk menciptakan situasi aman dan nyaman bagi masyarakat maka potensi konflik perlu dikelola secara baik dan tepat . Hal itu dikarenakan tingginya tingkat heterogenitas masyarakat. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk menjaga agar kondisi ini tidak dimanfaatkan oleh orang atau golongan yang berniat memecah belah persatuan atas nama perbedaan.

“Semua pihak harus menjaga jangan sampai perbedaan menjadi sumber konflik. Untuk menciptakan kondisi kondusif butuh dukungan semua pihak. Tidak perlu terjadi pengkotak-kotakan suku, agama dan lain-lain,” harapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya