SOLOPOS.COM - Ilustrasi menonton televisi (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, SOLO — Hari Televisi Nasional—ada pula yang menyebutnya sebagai Hari Pertelevisian Nasional—mengacu pada hari kelahiran Televisi Republik Indonesia (TVRI), walaupun pada hari yang sama lahir pula Rajawali Citra Televisi (RCTI) dan Surya Citra Televisi (SCTV). Hari itu jatuh pada Minggu (24/8/2014).

Kini TVRI sudah 52 tahun usianya, RCTI 25 tahun, dan SCTV 24 tahun. Setelah bertahun-tahun berkiprah di Indonesia, televisi yang dulu hadir dengan harapan besar mendidik masyarakat, kini malah dibebani anggapan buruk. Televisi masa kini bisa jadi ancaman bagi publik?

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Karena profit oriented, pengelola televisi berupaya bagaimana agar tayangan yang disajikan ditonton banyak orang sehingga pengiklan semakin banyak.”

Seorang dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rianawati, 33, misalnya bahkan mengambil langkah ekstrem. Ia memutuskan untuk tidak memiliki pesawat TV di rumahnya. Keputusan itu ia ambil setelah berdiskusi intensif dengan sang suami, beberapa bulan lalu.

Mereka beranggapan tayangan stasiun-stasiun televisi saat ini lebih banyak sisi hiburannya ketimbang tayangan yang bersifat mendidik. “Menurut kami tayangan televisi saat ini lebih banyak sisi negatifnya daripada sisi positifnya untuk anak kami yang masih berusia balita. Jadi kami putuskan tidak ada televisi di rumah,” terangnya saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Kamis (21/8).

Karena itulah Rianawati dan suaminya tetap butuh berbagai informasi, selama ini mereka lebih sering mengakses informasi dari Internet. Terkadang juga membaca surat kabar. “Kadang baca berita melalui komputer yang terhubung dengan jaringan internet, kadang melalui handphone. Tapi lebih sering akses internet melalui handphone,” terang warga Kadipiro, Solo ini.

Ganggu Belajar
Seorang warga Palur yang bekerja sebagai anggota satpam sebuah sekolah dasar di Solo, Eko Supriono, 37, mengungkapkan televisi di rumahnya hanya dinyalakan pada malam hari mulai pukul 20.00 WIB dan saat anak libur sekolah. Eko dan istrinya sengaja membuat aturan di rumah, televisi bisa dinyalakan ketika anak-anak sudah selesai belajar. Tujuannya agar tidak mengganggu suasana belajar buah hati mereka dan anak tidak terpengaruh dampak negatif si kotak ajaib.

“Tayangan yang boleh ditonton anak-anak juga saya batasi. Kami hanya membolehkan anak menonton berita, film yang mengandung banyak pesan moral seperti Mahabharata dan kartun yang mendidik,” ungkapnya.

Eko sendiri mengaku jarang menonton siaran televisi. Ia beralasan tayangan televisi saat ini lebih bersifat hiburan daripada tayangan edukatif. Oleh karena itu ia mengandalkan surat kabar untuk mendapatkan informasi. “Hampir setiap hari saya baca koran. Bahasannya lebih mendalam,” jelasnya.

Berbeda dengan Surip, 58, seorang warga Mojosongo, Solo, yang mengaku hampir setiap hari menonton televisi. Tayangan yang sering ia pilih adalah berita dan pengajian. Karena Surip tak bisa membaca, ia menjadikan televisi sebagai sumber informasi yang utama. Oleh karena itu tayangan berita sering dipilihnya ketika menonton televisi. “Kalau ada cucu di rumah kami sering rebutan mau nonton apa. Kalau cucu saya sukanya nonton kartun,” katanya.

Profit Oriented
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS, Sri Hastjaryo, mengungkapkan, televisi memiliki peran utama memberikan pendidikan kepada masyarakat, melaporkan peristiwa yang terjadi dan menyajikan hiburan. Namun kenyataannya saat ini, kebanyakan tayangan televisi bersifat hiburan. Hal itu tak lepas dari kondisi pertelevisian di Indonesia yang berorientasi pada kepentingan meraih keuntungan.

“Karena profit oriented, pengelola televisi berupaya bagaimana agar tayangan yang disajikan ditonton banyak orang sehingga pengiklan semakin banyak,” jelasnya.

Bahkan menurutnya, stasiun televisi milik negara (TVRI) belum bisa mengambil peran penuh memberikan pendidikan bagi masyarakat. Selama ini, televisi swasta sangat kuat di sisi hiburan dan pemberitaan. Entah mengapa, kata Hastjaryo, TVRI seolah ingin seperti televisi swasta dengan mengambil peran sebagai media hiburan. Karena keterbatasan modal, hasilnya tidak maksimal.

“Seharusnya, TVRI bisa lebih banyak mengambil peran edukasi. Misalnya membuat film dokumenter berkualitas, tayangan pendidikan yang menarik dan sebagainya. Sehingga ketika orang ingin menonton tayangan edukatif, pilihannya ada TVRI,” ungkapnya.

Hastjaryo juga menyoroti soal media televisi yang sangat kentara berpihak kepada golongan tertentu selama masa Pemilihan Umum Presiden 2014. Hal itu sangat tidak sesuai dengan posisi media sebagai pilar demokrasi. Meski saat ini pilpres sudah berakhir, kondisi pertelevisian Indonesia tidak akan banyak berubah menuju kondisi ideal. Pasalnya dengan kondisi seperti sekarang televisi tetap diminati masyarakat.

“Tidak ada sanksi sosial ketika televisi melakukan kesalahan seperti sekarang. Jadi nanti juga tidak akan banyak berubah. Orang Indonesia juga karakternya mudah lupa dan pemaaf,” ungkapnya.

Ditinjau dari sisi budaya, televisi Indonesia juga dinilai tidak serius menggarap kebudayaan sebagai tayangan yang mendidik, mencerahkan serta bernilai hiburan. “Seharusnya ada keseriusan untuk menggarap materi kebudayaan, dikemas sedemikian rupa secara sinematografis sehingga bisa jadi tontonan menarik,” tutur budayawan Jlitheng Suparman  saat ditemui di rumahnya di Baki, Sukoharjo, Kamis.

Jika digarap secara serius, terangnya, kebudayaan akan menjadi tayangan yang produktif bagi masyarakat dan bagi pemilik media. Menurutnya, liputan media soal kebudayaan lebih banyak karena faktor balas budi atau bersifat titipan. Akibatnya, karya yang ditampilkan tidak maksimal hasilnya. Akibat selanjutnya, hanya sedikit orang yang menonton tayangan kebudayaan di televisi sehingga pihak pengiklan pun tidak tertarik.

“Padahal tidak bisa dimungkiri posisi media saat ini lebih banyak bicara soal menguntungkan atau tidak daripada soal peran media sebagai sarana informasi dan edukasi,” ungkapnya.

Dominan Impor
Budayawan Solo lainnya, Halim HD mengungkapkan media televisi di Indonesia belum berperan kuat dalam upaya pelestarian kebudayaan. Menurutnya, hal itu berawal dari visi penggarapan tema kebudayaan yang belum jelas.

Padahal, negara-negara maju seperti di Jepang dan di negara-negara di Eropa sangat serius menggarap kebudayaan sebagai tayangan televisi. Bahkan di Eropa, ada stasiun televisi khusus yng konsen menayangkan tema kebudayaan dalam arti luas. “Ketika saya ke Jepang dan suatu saat menonton tayangan televisi soal kebudayaan, tayangannya sangat menarik untuk ditonton. Tema kebudayaan juga disampaikan dengan bahasa sederhana sehingga mudah dimengerti,” ungkapnya.

Senada, Sri Hastjaryo PhD menerangkan tema kebudayaan belum mendapatkan tempat yang baik dalam media televisi Indonesia. Terbukti banyak tayangan televisi yang justru mengimpor dari luar negeri. “Media televisi kita banyak yang berkiblat ke Barat. Apa yang sedang diminati di Barat, lalu digarap ala Indonesia. Jadi idenya tidak orisinal dari Indonesia,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya