SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (31/3/2018). Esai ini karya Hari Wiryawan, Direktur Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta. Alamat e-mail peunulis adalah hari_wiryawan@yahoo.com.<strong><br /></strong></p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO–</strong>Kota Solo tidak dapat dipisahkan dengan sejarah penyiaran nasional. Di kota inilah penyiaran nasional dimulai. Kota Solo telah melahirkan dunia penyiaran nasional dan penyiaran nasional lahir serta tumbuh berkembang di Kota Solo.</p><p><em>Tetenger</em> dari hubungan Kota Solo dan dunia penyiaran nasional adalah lahirnya stasiun radio pertama milik bangsa Indonesia bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1 April di Kota Solo atas prakarsa Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunagoro VII. &nbsp;</p><p>Untuk mengenang peristiwa bersejarah itu warga Kota Solo menyelenggarakan Deklarasi Hari Penyiaran Nasional pada 1 April 2009. Wakil Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudiatmo sebagai salah seorang deklarator.</p><p>Deklarasi Hari Penyiaran Nasional dilakukan lagi pada 1 April 2010 yang diselenggarakan oleh insan penyiaran secara nasional. Deklarasi ini dilakukan di Balai Kota Solo dan disaksikan oleh Wali Kota Solo (saat itu) Joko Widodo.</p><p>Sebelumnya Wali Kota Joko Widodo berkirim surat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika pada 28 Januari 2010 yang mengusulkan hal serupa dengan Deklarasi Hari Penyiaran Nasional, yaitu agar 1 April ditetapkan sebagai Hari Penyiaran Nasional dan Mangkunagoro VII ditetapkan sebagai Bapak Penyiaran Nasional.</p><p>Dengan Deklarasi Hari Penyiaran Nasional tersebut terungkap kepada publik bahwa sejarah penyiaran nasional di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Kota Solo. Artinya, Kota Solo tidak dapat dipisahkan dari sejarah penyiaran nasional di Indonesia.</p><p>Sayangnya, Pemerintah Kota Solo seakan-akanm tidak peduli dengan hal ini. Mengapa tidak peduli? Sebelum saya menjawab pertanyaan ini saya ingin menguraikan &rdquo;keistimewaan&rdquo; Kota Solo dalam hubungannya dengan sejarah penyiaran nasional.</p><p>&rdquo;Keistimewaan&rdquo; itu paling tidak dapat dilihat dari tiga hal berikut ini. <em>Pertama</em>, Kota Solo adalah kota kelahiran stasiun radio ketimuran pertama di Indonesia yaitu Solosche Radio Vereening (SRV) pada 1 April 1933. Sebelum SRV yang lahir di Solo, belum ada radio ketimuran (radio pribumi) di kota lain.</p><p>Dengan munculnya SRV kemudian bermunculanlah radio ketimuran di berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian Solo bisa disebut sebagai kota pelopor penyiaran kebangsaan. <em>Kedua</em>, Kota Solo juga satu-satunya kota yang dalam sejarah memiliki dua stasiun radio ketimuran, yaitu SRV dan Siaran Radio Indonesia (SRI) yang berada di Keraton Kasunanan Surakarta yang berdiri pada Oktober 1934. &nbsp;</p><p>Di kota lain yang terdapat radio ketimuran hanya memiliki satu stasiun seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang, dan Surabaya. <em>Ketiga</em>, dengan adanya dua stasiun radio bersejarah ini meninggalkan banyak situs atau petilasan sejarah penyiaran pula. Hampir semua situs bersejarah sudah ditemukan.</p><p>Peninggalan yang terkait SRV meliputi Prangwedanan Pura Mangkunegaran, Kepatihan Mangkunegaran, Monumen Pers Nasional, Gedung <em>RRI</em> <em>Solo</em>. Di Kabupaten Karanganyar yang merupakan lokasi makam Mangkunagoro VII ada makam ketua SRV Sarsito Mangunkusumo dan situs Balong (masa gerilya <em>RRI Solo</em>). &nbsp;</p><p>Sedangkan peninggalan SRI adalah Pendapa Suryohamijayan di Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo. Di Solo juga terdapat <em>zender</em> atau pemancar peninggalan SRV yang digunakan <em>RRI</em> di Balong, Karanganyar, yang kini tersimpan di Monumen Pers yang dikenal dengan nama&nbsp; Radio Kambing.</p><p>Dengan diketemukannya situs sejarah penyiaran, Kota Solo (sebagian ada di Karanganyar) bisa dikatakan sebagai satu-satunya kota yang masih menyimpan bukti autentik sejarah penyiaran. Di kota lain, seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, dan Surabaya yang memiliki sejarah radio ketimuran sampai kini tidak diketahui atau belum diketahui situs sejarah penyiaran itu.</p><p>Surabaya masih beruntung memiliki situs sejarah stasiun &rdquo;Radio Pemberontakan&rdquo; milik Bung Tomo, begitu pula di Bukit Tinggi atau di Aceh,&nbsp; namun di kota-kota itu umur situs relatif muda (setelah kemerdekaan Indonesia) bila dibandingkan dengan SRV.</p><p><strong>Cagar Budaya Penyiaran</strong></p><p>Dengan demikian Solo bisa dikatakan sebagai kota cagar budaya penyiaran terlengkap di Indonesia. Di samping peninggalan bersejarah, catatan sejarah penyiaran juga relatif lengkap dengan adanya perpustakaan Mangkunegaran dan perpustakaan lain yang telah mencatat dengan baik sejarah penyiaran di Kota Solo.</p><p>Di kota lain catatan sejarah ini masih belum terdokumentasi dengan baik. Sumber sejarah lain yang tidak kalah penting adalah sejumlah pelaku sejarah yang masih bisa dilacak jejaknya, misalnya siapa ahli waris, peninggalan rumah pribadi makam Mangkunagoro VII, Sarsito Mangunkusumo, atau maestro keroncong Gesang.</p><p>Di kota lain, para pelaku sejarah penyiaran sangat sulit untuk dilacak keberaadaannya, makamnya, ahli warisnya, dan peninggalan lainnya. Keistimewaan atau bahkan bisa disebut &rdquo;kemewahan&rdquo; Kota Solo dalam hal sejarah penyiaran nasional terkesan tidak dihiraukan.</p><p>Pemerintah Kota Solo seakan-akan menutup mata dengan segala peninggalan sejarah penyiaran yang merupakan satu-satunya yang terlengkap di Indonesia, bahkan mungkin di Asia Tenggara. Tidak ada kota yang memiliki peninggalan dan catatan sejarah penyiaran selengkap Kota Solo. Sebagian warga atau masyarakat Kota Solo telah mendeklarasikan Hari Penyiaran Nasional pada 1 April 2009.</p><p>Deklarasi ini diulangi pada 2010 di tingkat nasional. Kini berpulang kepada Pemerintah Kota Solo apakah peninggalan sejarah ini akan disia-siakan atau akan dirawat. Wali Kota Joko Widodo telah bersurat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika mengenai hal ini. Wali Kota F.X. Hadi Rudyatmo juga sebagai salah satu deklarator Hari Penyiaran Nasional.</p><p>Sudah delapan tahun deklarasi itu dan Pemerintah Kota Solo tidak juga bertindak nyata, misalnya menjadikan Hari Penyiaran Nasional pada 1 April sebagai agenda kota. Dalam berbagai kesempatan saya menyampaikan hal ini kepada pejabat Pemerintah Kota Solo, mengapa sudah ada deklarasi Hari Penyiaran Nasional tetapi Pemerintah Kota Solo tidak juga bertindak?</p><p>Saya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. Adalah tugas Pemerintah Kota Solo untuk menjaga dan menyebarluaskan sejarah kota, apalagi sejarah ini bernilai nasional yang memiliki makna perjuangan bangsa.</p><p>Kota Solo dikenal sebagai salah satu kota yang warganya setia kepada Bung Karno, tetapi Pemerintah Kota Solo malah mengabaikan ajaran Bung Karno: jangan sekali-kali meninggalk</p>

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya