SOLOPOS.COM - Ngadiman menunjukkan ruangan yang pernah dijadikan kamar sandi darurat di Rumah Sandi Negara, Dusun Dukuh, Desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo, Kamis (2/11/2017) pekan lalu. (Rima Sekarani I. N./JIBI/Harian Jogja)

Rumah Sandi Negara, penanda sejarah perjuangan bangsa pada masa Agresi Militer Belanda II.

Harianjogja.com, KULONPROGO — Media ini membuat tiga tulisan tentang renik-renik perjuangan di masa lampau dan kehidupan para veteran untuk menyambut Hari Pahlawan. Rumah Sandi Negara, penanda sejarah perjuangan bangsa pada masa Agresi Militer Belanda II, menjadi fokus di edisi pertama. Berikut laporan wartawan Harian.jogja.com, Rima Sekarani I. N.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Limasan itu lebih pantas disebut vila atau rumah peristirahatan yang nyaman dibandingkan dengan museum mini. Halamannya dihiasi bangku-bangku dari batu alam dan beberapa tiang lampu taman. Terik matahari bahkan tidak cukup menyengat untuk mengurangi kesejukan khas Perbukitan Menoreh.

Kamis (2/11/2017) siang, hanya ada satu orang yang duduk mengaso di dalam rumah yang terletak di Dusun Dukuh, Desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo itu. Ngadiman mulanya tampak kaget ketika tamu datang ke bangunan yang diresmikan sebagai Rumah Sandi Negara pada 29 Januari 2014 lalu itu. Selama hampir empat tahun menjadi pengelola Rumah Sandi Negara, jumlah pelawat yang dia terima masih bisa dihitung dengan jari.

Ngadiman adalah pria serba bisa. Dia bukan hanya petani yang ditugasi menjaga dan merawat Rumah Sandi Negara tetapi juga piawai pemandu wisata dadakan. Meski harus bersusah payah menggali berbagai informasi yang tersimpan di otaknya, Ngadiman berusaha menerangkan setiap kisah di balik perabot, prasasti, maupun foto yang dipajang di dinding anyaman bambu.  “Ini dulu rumah simbah saya, Merto Setomo, yang pernah dijadikan kamar sandi darurat pada masa perang kemerdekaan,” kata dia.

Ngadiman memulai ceritanya dengan menunjukkan replika rumah kakeknya yang ikut tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa Agresi Militer Belanda II 1948. Ketidakstabilan kondisi pemerintahan yang saat itu berpusat di Jogja berpengaruh negatif bagi lali lintas kode atau komunikasi sandi.

Rangkaian kisah yang disampaikan Ngadiman selanjutnya tidak jauh berbeda dengan informasi yang dirangkum Pemkab Kulonprogo dalam Ensiklopedia Budaya Kulonprogo. Pasukan Belanda menyerang Kantor Sandi Negara yang saat ini beralamat di Kotabaru, Jogja. Beberapa personel yang berhasil menyelamatkan diri kemudian mencari tempat lebih aman untuk melanjutkan perjuangan. Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Muda Soedijatmo bergerak menuju Dekso, sebuah desa di barat Sungai Progo. Sekitar lima kilometer dari sana, terdapat markas Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Kolonel TB Simatupang, tepatnya di Banaran, Banjarsari, Samigaluh.

Soemarkidjo dan Soedijatmo bertemu dengan rombongan dr. Roebiono Kertopati, Letnan II Hardjoko, dan Wijonarko di Dekso, Kalibawang. Mereka lantas berbagi tugas untuk menjaga kelangsungan penyampaian kode. Mereka sepakat Soemarkidjo dan Soedijatmo tinggal di Dekso, sedangkan lainnya meneruskan perjalanan ke Jawa Barat.

Selanjutnya, Soemarkidjo berusaha mencari tempat untuk dijadikan check point atau pos kedua hingga tiba di Dusun Dukuh. Saat itulah dia bertemu dengan Merto Setomo, kakek Ngadiman. “Simbah saya cuma warga biasa. Tempatnya dijadikan markas tentara, ya senang. Bukannya takut tetapi malah merasa aman karena karena ada tentara yang menjaga,” ujar Ngadiman.

Memuluskan Perang Gerilya
Ngadiman membuka pintu yang di atasnya ada label bertuliskan “Rumah Sandi”. Rumah Sandi Negara terdiri dari dua bangunan yang dijadikan satu. Kamar sandi darurat merupakan bagian dari bangunan lama di belakang, sedangkan bangunan depan baru menyusul didirikan pada 1970 lalu.

“Ini cuma ada replika meja kerja yang dulu untuk ngrembuk strategi perang. Kalau yang asli dibawa ke Jogja,” kata Ngadiman.
Kali ini dia tidak banyak berbicara, tetapi membiarkan tamunya mengeksplorasi setiap sudut ruangan. Ngadiman cenderung hanya menyebutkan beberapa nama benda lain yang tertata rapi di sana, seperti amben bambu yang bisa dipakai tidur belasan orang sekaligus, alu, dan lumpang yang menjadi pendukung logistik pangan, hingga sampel lantai tanah sebelum akhirnya diberi tegel seperti sekarang.

Kamar Sandi Darurat beroperasi selama sekitar satu tahun. Ngadiman menyebut rumah kakeknya sudah seperti markas militer karena banyaknya tentara yang datang dan pergi saban hari. “Keluarga simbah tetap tinggal di sini, campur dengan tentara. Makanan juga yang menyediakan simbah,” ucap pria kelahiran 1963 itu.

Dalam catatan sejarah, staf penerangan dari markas sandi di Dukuh dan Markas Besar Komando Djawa (MKBD) di Boro, Kalibawang, membuat beberapa pemancar kecil yang disambungkan dengan pemancar radio PHB AURI PC-2 di Banaran, Playen, Gunungkidul. Berbagai komunike perjuangan kemudian dapat diterima sampai Jakarta dan Sumatra. Komunikasi kode itu berjalan sampai Jogja kembali ke pangkuan RI, yaitu setelah pendatanganan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949.

Rumah milik keluarga Merto Setomo menjadi salah satu simbol kegiatan persandian dalam mengawal perjuangan kemerdekaan RI, termasuk saat memuluskan taktik perang gerilya. Setelah sekian lama, rumah limasan itu direnovasi pada 2013 untuk kemudian diresmikan Gubernur DIY Sri Sultan HB X sebagai Rumah Sandi Negara pada tahun berikutnya.
Pengelolaan Rumah Sandi Negara kini menjadi kewenangan Lembaga Sandi Negara.

Setiap tahun, dilakukan napak tilas oleh Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) yang rutenya dimulai dari wilayah Dekso, Kalibawang. Namun, area Rumah Sandi Negara juga bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan. Warga bisa mengadakan rapat atau pertemuan lainnya, syawalan, atau bahkan memakai halamannya untuk acara senam bareng. Semuanya harus tetap sepengetahuan pengelola. “Warga juga wajib ikut menjaga kelestarian bangunan bersejarah,” kata Ngadiman.

Rumah Sandi Negara tentu menjadi kebanggaan warga Dukuh. Bukan cuma anak-cucu Merto Setomo, melainkan juga warga lainnya seperti Daryono. Pria berusia 60 tahun itu mengaku selalu antusias manakala ada kegiatan tertentu yang diadakan di sana. Rumah itu membuatnya tidak pernah lupa dengan dengan perjuangan bangsa Indonesia di masa lalu. “Saya juga senang karena masih bisa dipakai warga juga. Kemarin sempat ada pertunjukan wayang dan macapatan,” ucap dia.  (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya