SOLOPOS.COM - Samdhy.(Ujang Hasanudin/JIBI/Harian Jogja)

Salah satu pahlawan dalam peristiwa Serbuan Kotabaru mengenang perjuangan yang menewaskan puluhan orang pada 1945.

Harianjogja.com, JOGJA— Sejarah penyerbuan markas Jepang di Kotabaru 7 Oktober 1945 masih terekam dalam benak Samdhy. Pria berusia 90 tahun ini ikut bertempur dalam palagan yang menewaskan 21 pejuang Indonesia dan 27 tentara Jepang. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Ujang Hasanudin.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Semangatnya berapi-api saat diingatkan soal Serbuan Kotabaru dan Serangan Umum 1 Maret 1949. Ia langsung menunjukan luka tembak yang masih membekas di bawah lututnya. Saat Harian Jogja menjumpainya, ia ingin menunjukan sejumlah penghargaan atas kiprahnya.

Sayang, Rabu (8/11/2017), Shamdy berada di rumah anaknya di Bausasran, Danurejan, Kota Jogja. Sementara, bukti-bukti atas perjuangannya disimpan di rumah pribadi yang ia tinggali sehari-hari di Juminahan RT 61/ RW 15, Kelurahan Tegalpanggung, Danurejan.

Samdhy selama ini acap diminta menjadi pembicara untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan perjuangan kepada khalayak. Pada 5 Oktober lalu, ia bersama istrinya, Siti Mariyem, diundang Panglima TNI untuk menghadiri Upacara Hari Ulang Tahun (HUT) TNI ke-72 di Cilegon, Banten.

Tahun ini Samdy juga tercatat sebagai satu dari dua veteran pejuang kemerdekaan asal Jogja yang mendapat penghargaan atas peristiwa krusial di Jogja puluhan tahun lampau. Selain dia, veteran yang juga mendapat apresiasi adalah Juwariyah. Meski pendengarannya sedikit berkurang, ingatannya masih tajam.

Samdhy ikut membidas markas Jepang di Kotabaru. Usia Samdhy pada 1945 baru 17 tahun. Ia tergabung dalam barisan Angkatan Muda Seinendan, sebuah organisasi yang dibentuk Jepang kala itu, sebelum Indonesia merdeka. Seinendan ini berisi anak-anak muda berusia sekitar 15-25 tahun.

Ia menjadi anggota Seinendan saat masih menempuh pendidikan di sekolah menengah yang sekarang menjadi SMPN 1 Terban. Itu adalah satu dari dua sekolah yang sudah berdiri kala kemerdekaan Indonesia masih seumur jagung.

Seinendan awalnya dilatih mengokang bedil agar piawai menjadi pasukan cadangan Jepang melawan sekutu kala Perang Dunia II berkecamuk. Namun, kemampuan yang didapat pemuda Indonesia menjadi bumerang kemudian hari bagi Jepang. Para pemuda menggunakan teknik militer yang sudah mereka pelajari untuk melawan Jepang.

Kebencian warga Indonesia terhadap Jepang sudah kadung menghunjam. “Indonesia sudah merdeka, tetapi Jepang masih nekat memasang benderanya. Banyak kelompok pemuda, termasuk anggota Seinendan mendesak agar Jepang segera pergi dan menyerahkan semua persenjataannya,” ucap Samdhy.

Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Polisi Istimewa, bagian dari organisasi perjuangan rakyat yang sudah memiliki persenjataan, kemudian berunding dengan Jepang pada 6 Oktober. “Ribuan warga saat itu sudah berkumpul dan siap menyerbu, tinggal menunggu komando.”

Di tengah perundingan, pemuda yang sudah muak dengan Jepang kehilangan kesabaran. Mereka merangsek markas pasukan musuh di Kotabaru. Perang pun pecah pada pukul 09.00 WIB dekat asrama serdadu Jepang yang saat ini menjadi Rumah Sakit DKT Dr. Soetarto. Penyerangan kembali terjadi sekitar pukul 19.00 WIB.

Puncaknya pukul 03.30 WIB. Kerumunan orang, secara bersama-sama menerobos pintu masuk gudang penyimpanan senjata Jepang di lokasi yang saat ini menjadi Monumen Serbuan Kotabaru di sisi utara. Sebagian lainnya menyerang asrama Jepang yang tidak jauh dari gudang senjata.

Tak dinyana, serbuan pemuda dibalas dengan hujan peluru dari lubang perlindungan yang dibangun Jepang di bawah tanah. Para pejuang Indonesia tidak punya kesempatan untuk berlindung. Momen tersebut sangat mematikan sehingga menewaskan banyak pejuang. “Tidak ada yang menyangka ada magasin dari bawah tanah,” kata dia.
Saat itu, Samdhy menggempur melalui pintu selatan gudang senjata atau dari arah yang saat ini menjadi Jalan Atmo Sukarto. Samdhy tidak hafal berapa pejuang yang tewas.

Belakangan, dia tahu ada 21 pejuang gugur. Nama mereka tertempel di Monumen Serbuan Kotabaru. Beberapa nama patriot disematkan dalam nama-nama jalan di Kotabaru seperti Suroto, I Dewa Nyoman Oka, Ahmad Djajuli, Faridan M Noto, dan Abubakar Ali.

Monumen Senyap
“Saat itu banyak pejuang yang gugur, namun masyarakat tidak takut, justru lebih semangat melawan pasukan pendudukan,” kata Samdhy. Bahkan dia ikut berperang dalam peristiwa yang dikenal dengan Palagan Ambarawa, Jawa Tengah. Saat Agresi Militer Belanda II Desember 1948 yang kemudian melahirkan Serangan Umum 1 Maret, Samdhy tak absen mengangkat senjata.

Dalam kecamuk perang ini, dia bersama ibu dan kakaknya sempat ditahan Belanda di Benteng Vredeburg. “Awalnya ibu dan mbak saya jadi tawanan selama tiga bulan supaya saya menyerahkan diri, akhirnya saya ditahan selama tujuh bulan,” ungkap ayah dari enam anak, kakek 14 cucu, dan buyut dari empat cicit ini.

Sampai sekarang, patriotismenya tidak pernah pudar. Samdhy berharap penyerbuan di Kotabaru 72 tahun silam itu menjadi pelajaran bagi generasi penerus tentang pentingnya mempertahankan NKRI.

Menurut dia, lanskap Kotabaru sudah banyak berubah, namun belum ada petunjuk yang bisa membawa generasi milenial untuk mengingat sejarah wilayah ini.

Ia membayangkan adanya lukisan dan maket di sekitar Monumen Serbuan Kotabaru yang bisa menarasikan pertempuran bersejarah itu. “Saya tahu betul bagaimana kondisi markas dan asrama Jepang dulu yang sekarang sudah banyak perubahan,” ujar Samdhy.

Monumen Serbuan Kotabaru adalah penanda perjalanan bangsa yang senyap. Ketua Legiun Veteran Indonesia (LVRI) Cabang Kota Jogja, Sumarno, yang tinggal lama di sekitar Monumen Serbuan Kotabaru mengakui kompleks tersebut tidak terlalu banyak dikunjungi masyarakat. Namun tiap tahun selalu ada kegiatan untuk memperingati perang yang menjadikan kawasan itu penting.

Camat Gondokusuman, Jalaluddin, mengatakan bantuan pemerintah untuk mengembangkan Monumen Serbuan Kotabaru belum maksimal. Sejak tiga tahun lalu dia mengusulkan agar Serbuan Kotabaru menjadi agenda nasional sehingga perhatiannya lebih besar. Sayangnya, gagasan itu belum ditanggapi. Meski demikian demikian, Pemerintah Kecamatan Gondokusukan tetap berupaya merawat Monumen Serbuan Kotabaru. “Beberapa bangunan di luar monumen sudah dipugar,” kata dia.

Pemerintah bersama TNI, kata dia, juga rutin menggelar peringatan yang melibatkan banyak elemen masyarakat. Saat ini bekas markas Jepang di sekitar monumen menjadi rumah dinas anggota TNI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya