SOLOPOS.COM - Ilustrasi suasana pembahasan Resolusi Jihad di Kantor PB Ansor, Jl. Bubutan, Surabaya. (Capture film Sang Kiai)

Hari Pahlawan tak bisa dipisahkan dengan Resolusi Jihad yang disepakati 20 hari sebelum 10 November 1945 yang kini dikenal dengan Hari Santri Nasional.

Madiunpos.com, SURABAYA — Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof. Akhmad Muzakki menegaskan rangkaian sejarah Hari Pahlawan satu paket dengan Hari Santri. Benang merah yang terentang di antara kedua hari besar nasional itu adalah peran kaum muslimin dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Karena itu, penetapan Hari Santri 22 Oktober yang selang 20 hari dari Hari Pahlawan 10 November bermakna strategis untuk menunjukkan bahwa muslim berperan dalam perjuangan kemerdekaan,” katanya kepada Kantor Berita Antara di Surabaya, Jatim, Selasa (3/11/2015).

Penetapan Hari Santri yang didasari Resolusi Jihad yang mendasari tekad arek-arek Surabaya melawan ultimatum The Netherlands Indies Civil Administration (NICA) untuk menyetorkan senjata itu sempat memicu polemik. Pimpinan Pusat Muhammadiyah menuding penetapan Hari Santri melemahkan integrasi nasional dan membangkitkan kembali sentimen keagamaan.

Akhmad Muzakki bersikukuh pertempuran Surabaya yang melahirkan Hari Pahlawan tidak akan pernah ada jika tidak ada semangat juang dari kalangan santri atau muslim yang didasari oleh Resolusi Jihad 22 Oktober. “Dulu, saat perjuangan Surabaya kata ‘santri’ memang diwakili oleh siswa pesantren beserta para kiai, tapi kini santri itu menunjuk kepada umat Islam secara keseluruhan di negeri ini yang berjuang dalam sejarah kebangsaan,” tuturnya.

Konteksnya, kata pakar Sosiologi Pendidikan UINSA itu, dulu perjuangan melawan penjajahan kaum kolonial, tapi sekarang dari keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpurukan. “Jadi, tanggal 22 Oktober adalah momen heroik yang menandai perjuangan nasional pada 10 November,” ucap Prof Muzakki yang juga Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur itu.

Eksistensi Indonesia
Hal itu dikonfirmasi pemerhati sejarah Resolusi Jihad, H. Choirul Anam. Ia menegaskan bahwa pertempuran 10 November 1945 adalah peristiwa heroik yang menentukan eksistensi negara Indonesia. Pasalnya, jika perlawanan arek-arek Suroboyo terhadap penjajahan kembali NICA melalui pertempuran 10 November 1945 itu tidak ada, maka kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bisa jadi tidak akan pernah menjadi kenyataan.

“Tapi, pertempuran 10 November 1945 itu juga tidak akan pernah ada tanpa ada Resolusi Jihad di Kampung Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945,” ucap mantan Ketua PW GP Ansor Jawa Timur itu yang membuktikan realitas sejarah tak tertulis tentang Resolusi Jihad di Surabaya itu melalui penelusuran sejarah dan saksi mata.

Wartawan senior yang akrab disapa Cak Anam itu mengaku beruntung masih bisa bertemu K.H. Wahab Turchan (pendiri Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial NU Khadijah, Wonokromo, Surabaya) pada tahun 1990-an, karena K.H. Wahab Turchan saat itu menjadi peserta pertemuan Resolusi Jihad itu dari unsur pemuda.

“Kiai Wahab Turchan memberikan sejumlah dokumen tentang peserta pertemuan di Jl. Bubutan, Surabaya yang letaknya tidak jauh dari Tugu Pahlawan Surabaya itu. Ada K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Chasbullah dari Markas Besar PBNU, K.H. Masykur dari Sabilillah, Zainal Arifin selalu Panglima Hizbullah, dan sekitar 200-an ulama dari Jawa dan Madura yang melakukan pertemuan di Bubutan pada 21-22 Oktober 1945,” ungkapnya.

60 Juta Muslim
Mengutip K.H. Wahab Turchan, ia menyebut K.H. Wahab Chasbullah merupakan pendiri Sekolah Kebangsaan Nahdlatul Wathon di Surabaya dan Zainal Arifin merupakan anggota DPR GR yang tertembak saat Salat Idul Adha bersama Bung Karno yang merupakan sasaran sebenarnya dari pelaku penembakan itu.

“Pertemuan ratusan ulama dari Jawa dan Madura itulah yang melahirkan Resolusi Jihad yang menghasilkan keputusan penting bahwa hukum melawan penjajah NICA adalah fardlu ain (kewajiban individu) dan mati dalam perlawanan adalah syahid,” tandasnya.

Cak Anam mengaku keputusan ratusan ulama itulah yang ditulis oleh sebuah surat kabar pada zaman itu telah mendorong 60 juta muslim siap berjihad yang akhirnya dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. “Jadi, Resolusi Jihad yang sekarang disebut Hari Santri itu merupakan urutan pertama dari Hari Pahlawan itu sendiri yang selama ini terpotong,” tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya