SOLOPOS.COM - Sutomo atau Bung Tomo (Istimewa)

Hari Pahlawan diperingati oleh segenap rakyat Indonesia tiap 10 November.

Solopos.com, JAKARTA — Bung Tomo adalah sosok pahlawan Indonesia yang mendedikasikan hidupnya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa, di pertempuran bersenjata di Surabaya, 10 November 1945.

Promosi Desa BRILiaN 2024 Resmi Diluncurkan, Yuk Cek Syarat dan Ketentuannya

Pertempuran bersenjata itu terjadi dalam rangka melawan bangsa penjajah, yaitu Britania Raya dan Belanda. Bung Tomo terkenal sebagai orator andal yang mampu membakar semangat rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Terkait dengan sosok Bung Tomo, ada beberapa fakta menarik di masa hidupnya. Mulai dari tak tamat sekolah hingga sifat romantisnya kepada sang istri.

1. Tak Tamat Ssekolah
Siapa sangka, sosok Bung Tomo ternyata tak tamat sekolah. Hal itu terjadi kala ia berusia 12 tahun.

Sebagaimana Solopos.com kutip dari Liputan6, Selasa (10/11/2015), Bung Tomo yang lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur, dibesarkan dalam keluarga kelas menengah. Dia hidup di keluarga yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi pendidikan.

Ayah Bung Tomo bernama Kartawan Tjiptowidjojo pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.

Bung Tomo mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.

Meski berasal dari keluarga kelas menengah, Bung Tomo tidak berpangku tangan. Dia bekerja keras. Kondisi ini membuatnya terpaksa meninggalkan pendidikan di MULO karena harus melakukan pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.

Belakangan, Bung Tomo dapat menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Hegere Burger School (HBS) merupakan pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa, atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Masa studi HBS berlangsung dalam lima tahun atau setara dengan MULO+AMS (SMP+SMA).

Kala muda, Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Bung Tomo menegaskan filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.

Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.

2. Wartawan
Selain sebagai orator ulung, Bung Tomo juga seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah. Tulisannya kerap menghiasi Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer.

Dia juga menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang, Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

3. Foto Legendaris
Sosok Bung Tomo tengah berpidato dengan sorot mata yang bersemangat kerap muncul dalam momen Hari Pahlawan. Namun, gambar tersebut ternyata bukanlah diambil saat 10 November.

Hal itu diungkapkan Istri Bung Tomo, Sulistina. Dia mengakui keaslian foto tersebut, namun momen yang tergambar dalam foto itu bukan terjadi pada operasi perang 10 November. Bung Tomo, kala itu berpidato di Lapangan Mojokerto pada 1947 dalam rangka mengumpulkan pakaian bagi korban perang Surabaya.

Saat itu, warga Surabaya masih tertahan di pengungsian Mojokerto dan jatuh miskin karena Surabaya masih dikuasai Belanda.

Momen penuh gelora itu direkam dalam kamera fotografer Alexius Mendur dari Indonesia Press Photo Servises (IPPhoS). Sang fotografer kemudian menerbitkannya di majalah dwi bahasa Mandarin-Indonesia Nanjang Post edisi Februari 1947.

Alex sendiri merupakan kawan baik Bung Tomo sekaligus pemotret peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengibaran bendera pusaka di hari itu.

4. Jadi Pejabat
Seusai pertempuran di Surabaya, sejumlah jabatan penting pernah diemban Bung Tomo. Pada periode 1955-1956, ia menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Kemudian, Bung Tomo juga pernah duduk sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. [Baca selanjutnya, klik di sini!]

 

5. Dipenjara Saat Era Orba
Pada awal Orde Baru, Bung Tomo mendukung pemerintahan Soeharto karena tidak berhalauan komunis. Namun sejak 1970, Bung Tomo mulai mengkritik kebijakan Soeharto.

Sikap kritis memang menjadi bagian dari kepribadian Bung Tomo kala melihat ketidakberesan di depan matanya. Hal itu terekam dalam wawancara Bung Tomo dengan judul Bung Tomo Menggugat: Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 Telah Dikhianati di Majalah Panji Masyarakat nomor 855 Tahun XIII .

Dalam artikel itu ditulis kritikan Bung Tomo kepada Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan etnis Tionghoa.

Selain itu, Bung Tomo juga kerap mengkritik adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Orde Baru. Empat tahun setelah putra keduanya, Bambang Sulistomo, ditahan 2 tahun karena diduga terlibat unjuk rasa pada peristiwa 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Malari, giliran Bung Tomo yang ditahan akibat diduga terlibat unjuk rasa mahasiswa yang menentang kebijakan Orde Baru.

Bersamanya ditahan juga jurnalis Mahbub Junaedi dan ahli hukum Ismail Suny. Menurut Bambang,“Sejak keluar dari penjara, bapak tak lagi meledak-ledak meskipun hati, sikap, dan kata-katanya tetap satu, konsisten.”

6. Wafat di Mekkah Dimakamkan di TPU Biasa
Sutomo dikenal sangat religius dan bersungguh-sungguh dalam menerapkan ajaran agama. Dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama.

Hidupnya berakhir kala ia menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981. Ia wafat di Padang Aradah. Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Indonesia dan dimakamkan bukan di Taman Makam Pahlawan. Namun di Pemakaman Umum di Ngagel, Surabaya, sesuai amanahnya.

Kendati Wafat sejak lama, gelar sebagai Pahlawan Nasional baru disematkan kepadanya pada 10 November 2008. Penyematan gelar itu dilakukan pemerintah setelah didesak Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) pada 9 November 2007.

Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008. Pemberian gelar itu disampaikan Menkominfo, Mohammad Nuh, kepada wartawan di Surabaya, Minggu 2 November 2008.

7. Romantis
Dalam hal asmara, Bung Tomo dikenang sebagai sosok pria setia dan romantis. Hal tersebut dikisahkan sang istri yang kini berusia 90 tahu, Sulistina.



Bung Tomo dan Sulistina bertemu ketika situasi negara sedang bergolak. Keduanya sama-sama berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bung Tomo berjuang lewat pidato-pidatonya di radio untuk membakar semangat arek-arek Surabaya melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui tentara NICA.

Sulistina bergabung dalam Palang Merah Indonesia (PMI) yang bertugas menolong para pejuang yang terluka karena perang. Suatu ketika keduanya bertemu dalam sebuah rapat.

Bung Tomo sebagai sosok yang terkenal memiliki banyak pengagum perempuan. Para gadis saling berebut perhatian agar bisa dekat dengan pria yang selalu berpenampilan rapi jali ini.

Namun, Sulistina sangat berbeda dengan para gadis itu. Sulistina muda cenderung cuek ketika Bung Tomo datang. Ia tidak sadar Sang Jenderal Kancil, demikian julukan Bung Tomo, jatuh cinta pada pandangan pertama kepada dirinya. Begitu bertemu Sulistina, Bung Tomo tidak bisa lagi berpaling.

“Saya sering diledekin teman-teman. Lis [panggilan Sulistina], lihat tatapan Bung Tomo. Dia selalu melihat ke arahmu,” cerita Sulistina, sebagaimana dilansir Detik, Minggu (8/11/2015).

“Tapi saya waktu itu masih tidak percaya, sampai kemudian Bung Tomo benar-benar menyatakan cintanya kepada saya,” kenang Sulistina Soetomo.

Bung Tomo juga lihai menyusun kalimat romantis dalam surat cinta kepada calon istrinya. Kisah itu terungkap dalam buku Bung Tomo, Suamiku.

Dalam tulisan Bung Tomo, ia mengisahkan awal perjumpaan dengan sang kekasih. Keduanya merupakan pejuang dan memulai kisah cintanya di medan pertempuran. Di suratnya, Bung Tomo menulis:

“Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu.”



Bung Tomo melanjutkan. “Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku.”





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya