SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Kurniyanto caption foto : Hari Leo AER (atas), saat berkolaborasi dengan grup band Anterock saat tampil di Gedung Societed, Taman Budaya Yogyakarta, pertengahan 2012.

JIBI/Harian Jogja/Kurniyanto
caption foto : Hari Leo AER (atas), saat berkolaborasi dengan grup band Anterock saat tampil di Gedung Societed, Taman Budaya Yogyakarta, pertengahan 2012.

Harian Jogja.com, JOGJA—Kepergian penyair terkemuka Jogja, Hari Leo,Jumat (12/7/2013), meninggalkan rasa duka yang mendalam bagi kerabat dan keluarga. Terlebih, pemilik nama lengkap asli Hari Asterenggo ini meninggal dunia secara mendadak.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Masih segar dalam ingatan Widyaswati Bunaya, keponakan almarhum Hari Leo. Ia sempat diajak makan bersama dua hari sebelum Hari meninggal. Ia dan almarhum sempat menyantap donat di salah satu mall di Jalan Malioboro.

“Waktu itu makannya ramai ramai. Ibu saya sama adik saya juga ikut diajak sama Pakde (Hari Leo),” ujar Widyawasta yang sudah dianggap anak sendiri oleh Hari Leo itu kepada Harian Jogja, di kediaman rumah duka, Notoprajan, Ngampilan, Jogja.

Menurutnya sejak beberapa bulan terakhir Hari Leo semakin royal kepada dirinya. Segala permintaanya selalu saja dipenuhi. Bahkan tatkala Widyaswati Bunaya mengiginkan arloji, Hari Leo pun menyanggupi padahal harga jam tangan itu cukup mahal sampai sampai Widyawasti tidak bisa membeli dengan tabungannya sendiri. “Wis tuku wae to nok. Milih Wae [Sudah, beli saja, Nak. Pilih saja],” ujarnya menirukan perkataan Hari Leo.

Tepat Mei kemarin disaat merayakan ulang tahun, Widyawasta akhirnya mendapat jam tangan idamannya setelah Hari Leo membelikannya seharga Rp600.000.

“Pakde itu memang baik banget. Sama uang enggak pernah sayang. Tapi beberapa bulan terakhir ini semakin jor-joran mungkin karena Pakde pas lagi banyak rezeki,” kenangnya berurai air mata.

Almarhum Hari Leo lahir pada 3 Agustus 1960. Anak ketiga dari empat bersaudara ini meninggalkan dua istri yakni Adriana dan Iis serta dua anak dari hasil pernikahannya dari istri pertama. Semasa hidup, Hari Leo aktif memberikan pelajaran kepada generasi muda untuk membuat puisi.

Hari Leo yang semasa hidupnya merupkan perokok berat ini juga kerap diminta menjadi juri dalam pentas pembacaan puisi sekolah hingga tingkat Universitas. Hari Leo merupakan salah satu penyair Jogja yang memiliki andil besar dalam menghidupkan dunia sastra di Jogja setelah sempat terpuruk.

Hal ini dibuktikannya dengan membentuk komunitas sastra bernama Studio Pertunjukkan Sastra (SPS) pada 2005 lalu. Melalui komunitas ini, tiap bulan ia menggelar pertunjukkan sastra dengan melibatkan penyair Jogja dan diluar Jogja.

“Komunitas ini kami bentuk untuk menghidupkan dunia satra di Jogja yang sempat mati suri,” ucap Hari Leo saat berjumpa Harian Jogja setahun lalu.

Hari Leo juga dikenal memiliki idealisme yang kuat terhadap pertunjukkan puisi. Ia dikenal sebagai penyair yang tanpa kompromi. Disaat banyak acara puisi di Jogja yang diadakan oleh politisi atau pejabat, ia menolak tegas untuk tampil.

“Walaupun mereka kasih duit berapa saja aku tetep enggak mau. Semua itu ada tempatnya masing masing. Pentas puisi hanya untuk penyair,” ucapnya kala itu.

Disaat hendak dipanggil yang maha kuasa, Hari Leo belum lama ini sempat meminta rekannya sesama seniman agar halaman rumahnya bisa dibuatkan panggung untuk pentas baca puisi bagi anak muda. Pesan ini dibenarkan Udik Supriyanta, rekan Hari Leo.

“Suk nak aku wis Mati, tulung ngarepku kui gawe panggung ben dinggo pentas puisi cah enom [Besok kalau aku sudah meninggal, tolong depan rumahku itu dibuat panggung untuk dipakai pentas anak muda],” ujar Udik menirukan Hari Leo.

Sementara itu, Hari Nurhayati, adik kandung Hari Leo mengaku akan mencoba berdialog dengan tetangga sekitar untuk merealisaikan keinginan kakaknya. Maklum, rumah Hari Leo memang terletak di gang sempit yang padat banyak rumah sehingga ditakutkan akan menganggu tetangga sekitar saat tengah beristirahat jika memang nantinya halaman digunakan untuk aktivitas baca puisi. “Ya, nanti coba kami bicarakan dulu dengan tetangga,” ucapnya.

Hari Leo meninggal dunia di usia 53 tahun saat dibawa menuju PKU, Muhammdiyah, JL KH Ahmad Dahlan, Jumat (12/7/2013), dini hari. Hari Leo tiba tiba mengalami sesak napas saat tengah menemani rekannya dari Surabaya di salah satu hotel di Jalan Taman Siswa.

Hari Leo diduga mengalami serangan jantung akibat kelelahan karena belakangan ini disibukkan dengan segudang aktifitas. Almarhum dikebumikan di pemakaman Kuncen lama, Wirobrajan pada Jumat siang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya