Solopos.com, JAKARTA–Menjelang Hari Kesehatan Internasional, penanganan Covid-19 dan distribusi vaksin di dunia menghadapi ketimpangan besar. Penanganan pandemi di dunia, termasuk Indonesia, terkendala keterbatasan stok vaksin.
Beberapa negara Asia harus mencari sumber alternatif untuk vaksin Covid-19 karena India menunda pengiriman vaksin AstraZeneca. India memilih memprioritaskan stok vaksin produksi mereka kebutuhan sendiri. Padahal, India adalah salah satu produsen vaksin Covid-19 terbesar di dunia.
Negara itu awalnya menjadi andalan pasokan jutaan dosis vaksin Covid-19 AstraZeneca melalui Covax, skema distribusi untuk negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah serta mencegah ketimpangan. Namun, kekurangan bahan baku memengaruhi produksi. Sebagian karena larangan ekspor dari Amerika Serikat pada komponen utama seperti botol kaca, plastik, dan sumbat.
Pengekangan ekspor memperdalam masalah bagi Covax yang diandalkan oleh 64 negara miskin. Hal itu juga menambah kemunduran sebelumnya yang mencakup gangguan produksi dan kurangnya kontribusi pendanaan dari negara-negara kaya.
Ketimpangan Vaksin Covid-19
Bukan hanya negara miskin yang mengalami ketimpangan vaksin Covid-19. Ekonom Moody’s Analitics, Eric Chiang, mengatakan Korea Selatan, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, termasuk yang terkena dampak penundaan pengiriman vaksin di bawah program Covax. “Kekurangan tersebut dapat membuat negara-negara ini semakin tertinggal dalam hal inokulasi, meningkatkan ketidakadilan vaksin, dan merusak upaya internasional untuk melawan pandemi,” kata Eric dalam keterangan tertulis, Selasa (6/4/2021).
Di tempat lain, Thailand akan menerima tambahan 10 juta dosis vaksin AstraZeneca dan Sinovac. Negara tersebut menggunakan vaksin sebagai upaya memulihkan industri pariwisatanya.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan vaksinasi harus menjangkau sampai 181 juta orang di Indonesia, meskipun pasokan vaksin Covid-19 terbatas dan ada ketimpangan di dunia. Dia mengatakan vaksinasi adalah upaya utama yang ditempuh pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Menurut Wamenkeu, tantangan yang kini dihadapi oleh Indonesia dan global adalah shortage atau terbatasnya produksi vaksin. Karena itu, pemerintah harus memastikan mampu memperoleh vaksin jenis apa pun yang tersedia di luar negeri.
“Ini bukan tugas mudah. Bukan hanya soal membeli vaksinnya dari luar negeri, namun kami berharap nantinya kita bisa produksi vaksin sendiri dan bisa menggunakannya,” kata Suahasil dalam Dies Natalis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Selasa.
Peringatan WHO
Wamenkeu memaparkan pemberian jumlah dosis harian pada awal periode vaksinasi Januari 2021 masih rendah, yakni rata-rata 53.000 dosis per hari. Namun, seiringnya bergulirnya proses vaksinasi, kini rata-rata dosis yang disuntikkan sebanyak 300.000-400.000 dosis per hari. “Bahkan di beberapa hari kita bisa menyuntikkan sampai 600.000-700.000 per hari,” jelasnya.
Tak hanya ketimpangan vaksin Covid-19, World Health Organization (WHO) juga mengingatkan isu ketimpangan kesehatan menjelang peringatan Hari Kesehatan Internasional. Ketimpangan ini tampak kian jelas selama pandemi Covid-19 melanda sejak tahun lalu.
“Saat Covid-19 melanda, sebagian orang mampu hidup lebih sehat dan memiliki akses yang lebih baik terhadap pelayanan kesehatan daripada yang lainnya. Ini karena kondisi tempat mereka lahir, tumbuh, tinggal, bekerja, dan menua,” demikian bunyi keterangan WHO dalam laman who.int.
WHO mencatat di seluruh dunia ada kelompok-kelompok masyarakat yang sulit keluar dari situasi rendahnya pendapatan, buruknya permukiman dan pendidikan, kesempatan kerja yang minim, dan ketimpangan gender. Begitu pula minimnya akses terhadap lingkungan yang aman, air dan udara bersih, makanan, dan pelayanan kesehatan. Hal ini memicu penyakit yang tidak perlu dan kematian dini.
“Ini bukan hanya tidak adil, ini bisa dicegah. Inilah mengapa kami menyerukan para pemimpin dunia untuk memastikan setiap orang memiliki kehidupan dan pekerjaan yang mendukung kesehatan. Pada saat yang sama, kami mendesak para pemimpin negara untuk memonitor ketimpangan kesehatan dan memastikan semua orang mampu mengakses pelayanan kesehatan, kapan pun dan di mana pun.”
Kaum Lansia
Sementara itu, ketimpangan dalam pemberian vaksin Covid-19 juga muncul di Indonesia. Warga lanjut usia (lansia), salah satu yang paling berisiko, menjadi kelompok yang masih tertinggal dalam vaksinasi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui capaian vaksinasi Covid-19 kepada warga lansia masih sangat rendah karena sejumlah kendala.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 untuk Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi mengatakan sampai saat ini penerima vaksin orang lansia dosis pertama baru sekitar 1,73 juta orang atau 8,2% dari target 21,5 juta lansia. Nadia mengatakan beberapa kendala antara lain 36 kabupaten/kota yang belum memulai vaksinasi untuk warga lansia.
“Banyak kabupaten/kota dengan pasokan vaksin yang ada masih memprioritaskan pemberian vaksin ke pemberi pelayanan publik terlebih dulu,” terang Nadia pada dialog Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Selasa.
Kendala lainnya yang membuat ketimpangan distribusi vaksin Covid-19 adalah, beberapa provinsi besar yang seharusnya menjadi pusat penyuntikan vaksin kepada warga lansia belum mencapai target. Di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, angka vaksinasi masih rendah sehingga masih perlu akselerasi.
Dari sisi warga lansia, kata Nadia, juga ada beberapa kendala. Pertama, warga lansia masih merasa takut karena kurangnya informasi bahwa sekarang mereka mendapatkan prioritas vaksinasi.
“Meskipun sudah diberitahukan kalau nanti di sentra vaksin akan tetap patuh protokol kesehatan, masih ada keraguan bagi orang di atas 60 tahun. Karena kita tahu di awal risiko kerentanan lansia tinggi, sehingga mereka harus mengurangi aktivitas di luar rumah,” kata Nadia.
Kedua, ada kemungkinan warga lansia mempunyai keterbatasan fisik untuk datang ke tempat vaksinasi sehingga harus ditemani anak atau keluarga. “Sementara, jadwal yang sudah tersedia tidak pas dengan yang menemani. Atau lansia ini hidupnya sudah terpisah dari keluarga, atau ada keterbatasan finansial sehingga mereka tidak bisa datang ke sentra vaksinasi, ini yang membuat makin sulit,” kata Nadia.
