SOLOPOS.COM - Ilustrasi penambangan minyak dan gas bumi (JIBI/Bisnis/Dok)

Harga minyak dunia yang kembali anjlok pertengahan tahun ini mengancam perusahaan-perusahaan minyak, termasuk di Indonesia.

Solopos.com, PONTIANAK — Direktur Pusat Studi Kebijakan Indonesia (Puskepi) Sofyano Zakaria menyatakan turunnya harga minyak dunia bisa menjadi ancaman bagi perekonomian dan perusahaan minyak di Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Turunnya harga minyak dunia pada dasarnya bukanlah berkah bagi bangsa ini, tetapi sekaligus ancaman terhadap perekonomian negeri kita,” kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Rabu (26/8/2015).

Menurut dia, jika harga minyak terus turun dibawah harga pokok produksi, perusahaan minyak di Indonesia akan menghentikan produksinya dan berdampak semakin banyaknya PHK (pemutusan hubungan kerja). Ia menjelaskan, harga pokok produksi minyak di Indonesia di kisaran 25-30 dolar AS/barel, sehingga menjadi ancaman bagi perusahaan minyak dalam negeri.

Ekspedisi Mudik 2024

Harga minyak kemungkinan akan terus turun, apalagi Amerika Serikat (AS) sudah banjir dengan shale oil-nya dan juga shale gas. Biaya produksi shale oil Amerika sangat murah, yakni sekitar 5-10 dolar AS/barel atau jauh lebih murah dari biaya produksi minyak fosil.

“Disisi lain, negara-negara Arab penghasil minyak terbesar di dunia ini juga tetap berambisi untuk tidak mengurangi produksinya. Apalagi biaya pokok produksi mereka lebih murah ketimbang negara-negara lain, yaitu sekitar 5-10 dolar AS/barel,” katanya.

Murahnya biaya lifting di negara-negara Arab, itu disebabkan karena sumur-sumur minyak mereka penuh minyak, hal itu jauh berbeda dibanding dengan sumur minyak di Indonesia yang sudah nyaris “kering” sehingga perlu biaya tinggi untuk mengeluarkan minyaknya.

“Pemerintah sebaiknya menyikapi secara cerdas turunnya harga minyak dunia, dengan menahan besaran harga jual yang ada saat ini, dan mengelola keuntungan dari selisih harga tersebut untuk dipergunakan sebagai dana cadangan untuk dana stabilitasi BBM yang akan dipergunakan ketika harga minyak dunia naik kembali,” ungkapnya.

Menurut dia, pemerintah juga perlu menetapkan formula harga jual BBM. Pemerintah harus bisa menjelaskannya kepada masyarakat sehingga mereka paham berapa keuntungan dan kerugian yang dialami Pertamina ketika harga minyak dunia turun dan ketika harga minyak dunia naik kembali.

“Dengan formula harga tersebut, pemerintah harus tegas dan konsekuen menetapkan margin yang diberikan kepada Pertamina dan kepada mitranya dalam menyalurkan BBM. Margin inilah yang menjadi hak penuh Pertamina namun tidak terhadap keuntungan yang diperoleh dari selisih harga pengadaan, pengilangan dan distribusi dibanding dengan harga beli minyak dunia yang turun itu,” ujarnya.

Keuntungan yang diperoleh karena tidak diturunkannya harga jual BBM tersebut bisa ditetapkan sebagai penerimaan negara. Namun, sebaiknya keuntungan itu ditempatkan sebagai dana stabilitasi harga BBM yang hanya akan dipergunakan untuk menjaga besaran harga jual BBM yang berlaku saat ini.

“Pemerintah juga perlu menjelaskan ke publik apa dampak akibat melemahnya rupiah terhadap harga minyak dunia yang dominan diimpor, sehingga mereka bisa memahami atas sikap dan kebjakan pemerintah terhadap harga BBM,” kata Sofyano.

Dia mengatakan besarnya keuntungan yang diperoleh pemerintah itu harus secara periodik dipublikasikan ke publik. Hal yang sama juga dilakukan ketika Pertamina mengalami kerugian akibat naiknya harga minyak dan semakin melemahnya rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya