SOLOPOS.COM - Kades Jimbar, Pracimantoro, Wonogiri, Sutrisno (kiri), mengecek tanaman kacang panjang yang di lahan yang dikerjakan petani, Jumat (11/9/2020). Sebagian petani di Jimbar masih menjalankan usaha pertanian hortikultura, sebagian lainnya berhenti sementara waktu karena harga jual anjlok. (istimewa)

Solopos.com, WONOGIRI — Petani di Desa Jimbar, Pracimantoro, Wonogiri menyetop usaha pertanian hortikultura untuk sementara waktu setelah merugi karena harga komoditas pertanian anjlok akibat terkena dampak pandemi Covid-19. Mayoritas petani Jimbar Wonogiri itu pun memilih merantau agar tetap bisa bertahan hidup.

Kepala Desa Jimbar, Sutrisno, menyampaikan petani di desanya sedang menghadapi masalah cukup kompleks. Lahan pertanian di Jimbar hanya mendapat pasokan air yang minim dari sumur pantek/dalam selama kemarau ini. Masalah tersebut selalu terulang setiap kemarau karena di Jimbar belum ditemukan sumber air yang memadai untuk pengairan lahan pertanian.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Belum selesai masalah itu petani menghadapi masalah harga komoditas hortikultura yang anjlok. Pasalnya, pasar sedang lesu lantaran tidak ada orang menggelar hajatan dan warung makan banyak yang tutup, akibat terdampak Covid-19.

Ekspedisi Mudik 2024

Rapid Test Massal di Sukoharjo Sasar 500 ASN dan Warga

Saat ini harga cabai merah besar dari petani hanya Rp4.000/kg dari kondisi normal Rp20.000-Rp40.000/kg, cabai rawit Rp6.000-Rp10.000/kg turun drastis dari saat normal Rp15.000-Rp20.000/kg. Harga jual terung dari petani saat ini hanya Rp1.000/kg dari kondisi normal Rp4.000/kg. Hasil penjualan komoditas itu tak mencapai biaya produksi, sehingga petani rugi cukup besar.

“Petani menganggapnya sebagai sedekah saja agar bisa ikhlas menerima kondisi sekarang ini. Kalau tidak begitu malah jadi beban pikiran. Tak sedikit petani yang membagikan hasil pertaniannya kepada warga,” kata Sutrisno saat dihubungi Solopos.com, Jumat (11/9/2020).

Biarkan Mati

Atas kondisi ini petani menghentikan usaha pertanian untuk sementara waktu setelah panen terakhir, yakni panen kedua. Sebenarnya petani masih bisa mendapatkan hasil jika tanaman tetap dirawat. Namun, petani memilih membiarkan tanaman mati.

Hal itu karena petani bisa merugi lebih besar jika melanjutkan usaha mengingat di harus mengeluarkan biaya produksi lagi. Lantaran tak ada pekerjaan di desa, para petani Wonogiri itu merantau ke kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya meski masih Covid-19 masih mewabah.

Judi Darat di Solo Meredup Ganti Perjudian Online, Polisi Siap Berantas

Mayoritas mereka bekerja sebagai buruh bangunan. Pekerjaan itu rela mereka lakoni agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup. “Mereka terpaksa merantau karena yen ora obah ya ora mamah [jika tak bekerja tak bisa makan],” imbuh Kades.

Menurut dia mereka bakal kembali pulang jika sudah penghujan. Jika kondisi memungkinkan mereka sebenarnya ingin selalu bertani karena sudah menyadari menanam komoditas hortikultura menguntungkan. Saat kondisi bagus petani bisa mendapatkan keuntungan lebih dari dua kali lipat dari modal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya