SOLOPOS.COM - Suasana salah satu tempat produksi tahu di Kartasura, Sukoharjo. Kalangan pengrajin tahu dan tempe meminta pemerintah membantu menyubsidi kedelai untuk mengendalikan harga bahan baku tahu dan tempe itu. (JIBI/SOLOPOS/Dian Dewi Purnamasari)

Suasana salah satu tempat produksi tahu di Kartasura, Sukoharjo. Kalangan pengrajin tahu dan tempe meminta pemerintah membantu menyubsidi kedelai untuk mengendalikan harga bahan baku tahu dan tempe itu. (JIBI/SOLOPOS/Dian Dewi Purnamasari)

Suasana salah satu tempat produksi tahu di Kartasura, Sukoharjo. Kalangan pengrajin tahu dan tempe meminta pemerintah membantu menyubsidi kedelai untuk mengendalikan harga bahan baku tahu dan tempe itu. (JIBI/SOLOPOS/Dian Dewi Purnamasari)

Solopos.com, SUKOHARJO — Pengrajin tahu di Kartasura, Sukoharjo menyambut baik turunnya harga kedelai impor di pasaran. Namun, harga kedelai yang beredar masih dirasa mahal.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Salah seorang pengusaha tahu, Mislan, 42, saat ditemui Solopos.com di lokasi usahanya di RT 002/RW 001, Dukuh Kranggan Wetan, Wirogunan, Kartasura, Sukoharjo, Sabtu (28/9/2013), mengatakan saat ini ia bisa membeli kedelai impor di Pasar Legi, Solo dengan harga Rp8.775. Namun, ia masih mengeluhkan harga bahan baku pembuatan tahu yang lebih tinggi dari harga biasanya.

“Harga kedelai impor sempat menyentuh harga Rp9.500/kg. Itu harga tertinggi yang pernah saya alami. Kini harga kedelai impor tinggal Rp8.775/kg,” ujarnya.

Menurutnya, turunnya harga kedelai impor sudah berlangsung selama beberapa hari terakhir. Sebagai pengrajin tahu, ia merasa sedikit lega dengan kenyataan itu.

“Sudah beberapa waktu ini saya menambah kapasitas produksi. Dalam sehari, saya menambahkan setengah kuintal kedelai. Tujuannya agar hasil penjualan bisa digunakan untuk menutup biaya lain-lain seperti pembelian plastik,” terangnya.

Meski harga kedelai melambung tinggi, para pengrajin tahu di wilayahnya tidak ada yang gulung tikar. Hal itu, kata dia, terjadi karena pengrajin telanjur menggantungkan hidup mereka dari berjualan tahu.

“Kalau berhenti jadi pengrajin tahu, mau kerja apa? Apalagi pekerjaan ini sudah turun-temurun. Kalau diminta kerja yang lain, paling enggak mau,” katanya.

Ia menambahkan, untuk menghemat biaya produksi, dirinya sedang mempertimbangkan untuk mencari bahan bakar alternatif. Hingga kini, lanjutnya, ia masih menggunakan bekas penggergajian kayu yang diperolehnya dari daerah Kalioso, Wonorejo, Karanganyar.

“Ini mau coba pakai solar. Kalau dalam penghitungan bisa lebih hemat atau sama dengan biaya pembakaran bekas penggergajian kayu, saya lebih memilih solar. Dengan menggunakan solar, lebih praktis dan bersih. Sementara kalau memakai kayu, pas musim penghujan jadi langka dan mahal,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya