SOLOPOS.COM - Pengrajin mengiris tahu siap jual di Sentra Produksi Tahu Purwogondo, Kartasura, Sukoharjo, Senin (16/3/2015). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat pengrajin tahu waswas harga kedelai impor bakal naik. (Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos)

Harga kebutuhan pokok di pasar sangat dipengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tak terkecuali tahu berbahan baku kedelai impor.

Solopos.com, SOLO — Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dalam beberapa pekan terakhir membuat sejumlah pengrajin tahu di Solo dan sekitarnya waswas. Hal itu karena pengrajin sepenuhnya mengandalkan kedelai impor untuk memproduksi tahu.

Promosi Klaster Usaha Rumput Laut Kampung Pogo, UMKM Binaan BRI di Sulawesi Selatan

Ketua Kelompok Tahu Tempe Mojosongo, Aco Warso Praja Sumitra, mengatakan harga kedelai impor saat ini memang masih stabil pada kisaran Rp7.200/kilogram (kg). Namun demikian, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat pengrajin tahu cemas.

“Sampai saat ini belum ada kenaikan harga yang besar. Biasanya kalau dolar naik memang ada dampak seperti harganya menjadi naik, kalau enggak ya ada masalah dengan stoknya. Tapi sampai saat ini masih seperti biasa,” ujarnya saat ditemui Solopos.com di tempat usahanya di Krajan, Mojosongo, Solo, Senin (16/3/2015).

Aco mengatakan harga kedelai impor paling tinggi pada awal 2015 ini adalah Rp7.400/Kg. Dia khawatir isu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar itu dimanfaatkan oknum tertentu untuk mengerek harga kedelai impor. “Takutnya kalau nanti dimanfaatkan importir dan harganya jadi mahal. Mudah-mudahan jangan [naik],” imbuh dia.

Dalam sehari dia setidaknya membutuhkan enam kuintal kedelai impor. Dengan jumlah bahan baku tersebut dia bisa memproduksi sekitar 320 plat cetakan tahu dalam sehari.

Kekhawatiran serupa juga diungkapkan pengrajin tahu asal Purwogondo, Kartasura, Sukoharjo, Suwardi, 52. Dia tidak ingin harga kedelai impor melambung seperti tahun lalu yang mencapai Rp9.700/kg.

“Kalau naik kami jadi kesulitan. Tidak mungkin untuk menaikkan harga. Kalau ukuran tahu dikecilkan juga malah tidak laku,” ujarnya.

Menurut Suwardi, mengecilkan ukuran tahu adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan pengrajin tahu. Sebab, keuntungan yang diperoleh pengrajin sangat mepet.

Kedelai Lokal Meningkat
Sementara itu, produksi kedelai Tanah Air diklaim mulai membaik kendati belum mampu menggantikan kebutuhan kedelai impor. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Srie Agustina saat ditemui di Kantor Kemendag, Jl. Ridwan Rais, Jakarta, Selasa (17/3/2015), mengatakan produksi kedelai lokal pada 2014 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi kedelai 2014 mencapai 975.000 ton atau naik 14,37%. “Tahun sebelumnya kita produksi 850.000 ton, produksi naik menjadi 975.000 ton,” ungkap dia.

Kenaikan jumlah produksi kedelai nasional diikuti penurunan permintaan kedelai selama 2014. “Kebutuhan kita tadinya 2,4 juta ton hingga 2,5 juta ton menjadi 2,2 juta ton. Turunnya permintaan sedikit,” imbuhnya.

Srie menjelaskan kedelai lokal sebenarnya masih menjadi prioritas para pengrajin tahu di dalam negeri. Sementara permintaan kedelai impor justru banyak dilakukan para pengrajin tempe karena dianggap kualitas kedelai lokal kurang cocok bila dijadikan bahan baku pembuat tempe.

“Bedanya kalau kedelai lokal itu tidak cocok untuk tempe, cocok untuk tahu. Atau dia campur biasanya untuk mendapatkan aroma. Kalau impor itu sudah panen lama kalau kedelai lokal itu segar. Dia ingin mendapatkan aroma sehingga dicampur,” jelasnya. (JIBI/Solopos/Detik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya