SOLOPOS.COM - Infografis Positif Covid-19 (Solopos/Whisnupaksa)

Solopos.com, SOLO--Seorang penyintas Covid-19 asal Samarinda, Kalimantan Timur, Nia Oktavia Aksara, mengeluhkan masih ada orang-orang yang menjauhinya meski ia sembuh dari Covid-19.

Hal serupa dirasakan keluarga Nia. Akibatnya, mereka harus membatasi aktivitas di luar rumah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Masyarakat di sekitar rumah Nia menganggap terkena Covid-19 adalah aib. Perlakuan warga terhadap Nia dan keluarganya membuatnya tak nyaman berada di luar rumah. Stigma terhadap keluarga Nia terjadi dalam bentuk verbal.

“Meski sembuh, mental saya masih terganggu sampai sekarang. Saya masih bolak-balik ke psikolog karena saya merasa diri saya masih menularkan,” ujar Nia, dalam talkshow virtual yang digelar Satgas Penanganan Covid-19, Senin (28/12/2020).

Menurut Nia, stigma itu terjadi lantaran banyak orang-orang di kampungnya masih awam tentang Covid-19. Pasien Covid-19 seharusnya didukung bukan malah dijauhi. Hal serupa juga berlaku bagi para penyintas Covid-19.

Masih Zona Merah, Penutupan Objek Wisata dan Ruang Publik di Wonogiri Bisa Diperpanjang

Mencegah Stigma

Pengajar KSM Psikiatri FKUI/RSCM Psikiatri Komunitas, Hervita Diatri, berpendapat stigma terhadap pasien dan penyintas Covid-19 terjadi karena orang takut tertular. Saat dirinya tertular, ia akan menuding orang lain sebagai sumber penularan.

Pada level tertentu stigma berdampak pada kemarahan hingga kekerasan fisik. Kondisi ini diperparah dengan adanya persepsi “meng-covid-kan pasien.”

“Kami berupaya memperkenalkan Covid-19 mulai dari gejala. Tapi, gejalanya kan mirip penyakit ringan. Ini bikin enggak percaya,” kata Hervita.

Stigma terjadi baik dari internal atau individu maupun eksternal misalnya dari komunitas. Stigma bisa dicegah dengan mengenali lebih dekat lagi penyakit misalnya Covid-19. Lalu, masyarakat menerapkan protokol kesehatan dengan benar.

“Menghapus stigma memberikan dukungan membuat pemulihan pasien lebih cepat. Stigma bikin depresi, cemas, dan rasa bersalah,” tutur dia.

Komunikasi risiko menjadi salah satu jalan untuk menghapus stigma. Namun, dalam komunikasi ini penting pula memperhatikan gestur. Sebagai contoh, menyampaikan penyakit berbahaya jangan dilakukan sambil tersenyum. Hal ini kurang pas.

Contoh misalnya menyebutkan pasien Covid-19 dengan tersangka juga tidak pas. Sebutan ini bisa diganti dengan “orang dengan Covid-19.” “Jadi fokus orang tetap pada figur bukan Covid. Prinsipnya tetap jujur, terbuka, dan diikuti solusi,” imbuh Hervita.

Stigma juga menghambat penanganan Covid-19 khususnya terkait penelusuran kontak erat dalam 3T yaitu tes, telusur, dan tindak lanjut. Stigma mengakibatkan orang-orang tertutup dan menghindari penelusuran kontak. Aksi tidak kooperatif ini berdampak pada meluasnya penularan.

“Mereka takut dan tidak mengakui kalau terinfeksi dan tidak mau dipantau. Kami tidak mencari tersangka tapi membantu penanganan dan memastikan mendapatkan logistik,” kata anggota Subdidang Tracing Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19, Retno Asti Werdhani.

Bisa Dipantau Lewat Medsos, 17.368 Orang di Karanganyar Telah Jalani Tes Swab

Keterampilan Komunikasi

Stigma ini tidak hanya terjadi di komunitas, tetapi juga di perusahaan, pesantren, dan lainnya. Stigma di perusahaan misalnya seseorang di-PHK setelah tertular Covid-19. Di masyarakat, stigma mengakibatkan pengusiran kepada perawat dari indekosnya.

Hal ini terjadi karena masalah ketersediaan informasi atau ketidaktahuan. Solusinya adalah memberikan informasi yang memadai kepada semua warga. Pendekatan paling bagus adalah melalui tokoh masyarakat dan tokoh agama. Keberadaan penyintas juga penting sebagai bagian dari hero campaigne.

“Menjadi seseorang berdaya mengajarkan kepada masyarakat karena mengalami sendiri. Itu lebih powerful terutama kepada kelompok dewasa,” terang Asti.

Keterampilan berkomunikasi diperlukan untuk menyampaikan informasi ini. Pastikan informasi yang diberikan pasien atau kontak erat dijaga kerahasiaanya. Selain itu perlu menggali dukungan dari masyarakat melalui kader atau desa siaga. Hal ini supaya jangan sampai ada persepsi yang menolak kehadiran petugas tracing di suatu wilayah.

Sedangkan, seseorang yang mengalami stigma disarankan berkonsultasi dengan psikolog atau memanfaatkan layanan konseling di puskesmas dan lembaga lainnya untuk curhat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya